Tanjung Dewa
Di Tanjung Dewa
Ruh-ruh telah menghabiskan tapa
Setelah angin berputar dari tenggara
Di Tanjung Dewa
Orang-orang laut yang kekar
Dari timur Selat Makassar
Mereka telah terdampar
Mereka menancapkan layar
Yang terus berkibar
Mereka pun bangkit dari putus asa
Mendaratkan jiwa
Menggantikan kaum pertapa
Di Tanjung Dewa
Kini orang-orang leluhurnya dari utara
Kembali memanggil dewa-dewa
Dan para pertapa
Mereka sajikan upeti
Dan tak ingin mati pagi hari
Di Tanjung Dewa
Laut biru menyapu pantainya
Angin dari Selat Makassar
Sesekali memusar
Menghidupkan kepurbaannya
Dan menyeru siapa yang singgah kepadanya
Pulau Laut Utara, 26 April 1992
Sumber: Percakapan Malam (1997)
Analisis Puisi:
Puisi "Tanjung Dewa" karya Hijaz Yamani adalah sebuah karya sastra yang kaya akan nuansa historis, spiritual, dan budaya maritim. Puisi ini menggambarkan sebuah tempat yang bernama Tanjung Dewa, di mana ruh-ruh, orang-orang laut, dan leluhur berkumpul dalam suatu siklus sejarah dan kepercayaan.
Melalui penggunaan metafora, simbolisme, dan repetisi, puisi ini menyajikan gambaran tentang perjalanan spiritual, ketangguhan manusia, serta hubungan erat antara manusia, laut, dan dunia supranatural.
Tema dan Makna Puisi
Puisi Tanjung Dewa memiliki beberapa tema utama, di antaranya:
- Perjalanan spiritual dan pertapaan: Bait pertama menggambarkan bahwa di Tanjung Dewa, ruh-ruh telah menyelesaikan masa pertapaan mereka. Hal ini menandakan bahwa tempat tersebut memiliki makna spiritual yang mendalam, mungkin sebagai tempat peristirahatan jiwa atau tempat suci bagi para pertapa. Angin dari tenggara yang berputar melambangkan perubahan atau siklus kehidupan.
- Sejarah migrasi dan ketangguhan orang-orang laut: Bait kedua menunjukkan keberadaan orang-orang laut yang datang dari timur Selat Makassar. Mereka adalah pelaut tangguh yang pernah terdampar tetapi tetap bangkit dari keputusasaan. Ini mencerminkan kisah migrasi, perdagangan, dan eksplorasi yang telah dilakukan oleh nenek moyang di wilayah maritim Indonesia.
- Kepercayaan kepada dewa-dewa dan roh leluhur: Pada bait ketiga, orang-orang leluhur dari utara kembali ke Tanjung Dewa untuk berdoa dan memberikan upeti kepada dewa-dewa serta pertapa. Mereka berharap mendapatkan berkah dan rezeki, serta menghindari kematian yang mendadak. Ini mencerminkan praktik kepercayaan tradisional yang masih dianut oleh sebagian masyarakat pesisir.
- Hubungan antara alam, laut, dan manusia: Bait terakhir menggambarkan bagaimana laut dan angin dari Selat Makassar terus menghidupkan kepurbaan tempat tersebut. Ini menunjukkan bahwa alam memiliki kekuatan besar dalam membentuk identitas suatu tempat dan masyarakatnya.
Tanjung Dewa sebagai Simbol Sejarah dan Budaya Maritim
Tanjung Dewa dalam puisi ini bukan hanya sekadar tempat geografis, tetapi juga simbol dari peradaban dan sejarah maritim Nusantara. Beberapa poin yang bisa kita tarik dari puisi ini:
- Pelaut dari Timur Selat Makassar: Hal ini merujuk pada peran penting masyarakat Bugis, Makassar, dan suku-suku pesisir lainnya dalam sejarah pelayaran Nusantara. Mereka dikenal sebagai pelaut ulung yang menjelajahi samudera hingga ke Maluku, Australia, bahkan Madagaskar.
- Ritual dan Kepercayaan: Masyarakat pesisir di Indonesia memiliki kepercayaan kuat terhadap roh leluhur dan dewa-dewa laut. Memberikan upeti dan memohon perlindungan merupakan bagian dari tradisi yang diwariskan turun-temurun.
- Angin dan Laut sebagai Elemen Kehidupan: Laut bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga tempat yang memiliki dimensi spiritual. Angin yang berputar dari Selat Makassar melambangkan dinamika kehidupan yang terus berubah.
Gaya Bahasa dalam Puisi
Puisi Tanjung Dewa memiliki beberapa ciri khas gaya bahasa yang memperkuat maknanya:
Metafora
Penyair menggunakan metafora untuk menggambarkan konsep spiritual dan sejarah:
- "Ruh-ruh telah menghabiskan tapa" → Menunjukkan bahwa Tanjung Dewa adalah tempat sakral yang menjadi lokasi pertapaan jiwa-jiwa yang mencari pencerahan.
- "Mereka menancapkan layar yang terus berkibar" → Melambangkan semangat dan ketangguhan para pelaut dalam menghadapi kehidupan.
Repetisi
Frasa "Di Tanjung Dewa" diulang di setiap bait untuk menegaskan pentingnya tempat tersebut sebagai pusat dari cerita yang disampaikan.
Personifikasi
"Angin dari Selat Makassar sesekali memusar, menghidupkan kepurbaannya"
Angin digambarkan memiliki peran aktif dalam membangkitkan kehidupan dan sejarah di Tanjung Dewa.
Simbolisme
- Tanjung Dewa → Melambangkan tempat yang memiliki nilai sejarah dan spiritual yang tinggi.
- Layar yang berkibar → Simbol semangat dan harapan yang terus hidup.
- Laut biru yang menyapu pantainya → Melambangkan keseimbangan antara kehidupan manusia dan alam.
Relevansi Puisi dengan Kehidupan Modern
Puisi "Tanjung Dewa" tidak hanya mengisahkan masa lalu, tetapi juga relevan dengan kehidupan modern. Beberapa hal yang bisa kita pelajari dari puisi ini:
- Pentingnya menjaga warisan budaya: Kisah pelaut dan ritual leluhur mengingatkan kita untuk tetap menghargai sejarah dan tradisi yang telah membentuk identitas bangsa.
- Hubungan manusia dengan alam: Laut dan angin tetap menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat pesisir. Kita harus belajar untuk menjaga keseimbangan antara eksploitasi sumber daya laut dan pelestariannya.
- Ketangguhan dalam menghadapi tantangan: Seperti para pelaut dalam puisi ini yang bangkit dari keputusasaan, kita juga harus memiliki semangat untuk menghadapi tantangan kehidupan dengan keberanian.
Puisi "Tanjung Dewa" karya Hijaz Yamani adalah sebuah refleksi mendalam tentang sejarah, budaya, dan spiritualitas masyarakat maritim. Melalui gambaran tentang ruh-ruh pertapa, pelaut yang bangkit dari keputusasaan, serta ritual kepada dewa-dewa, puisi ini menggambarkan bagaimana manusia selalu berusaha mencari makna dalam kehidupannya.
Dengan penggunaan metafora, repetisi, dan simbolisme yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali hubungan manusia dengan laut, sejarah, dan kepercayaan leluhur.
Lebih dari sekadar puisi, "Tanjung Dewa" adalah pengingat akan pentingnya menjaga warisan budaya dan menghormati perjalanan panjang yang telah ditempuh oleh nenek moyang kita. Laut, angin, dan jiwa yang tak pernah padam akan terus menghidupkan kepurbaan Tanjung Dewa, dan juga semangat kita dalam memahami jati diri.