Puisi: Tamasya ke Desa (Karya Budi Wahyono)

Puisi "Tamasya ke Desa" karya Budi Wahyono adalah gambaran perjalanan waktu yang mengubah wajah desa dari kesengsaraan menjadi kemakmuran.

Tamasya ke Desa


desa yang telah kamu biarkan, bahkan kamu tinggalkan
bukanlah desa yang dulu. Tanah tandus dan puluhan anak beringus
puluhan hewan kurus mengendus
memburu makan dengan segenap perhitungan
subur rumput telah lenyap dan letih mata petani berkedip nanap
itu dulu!

Sekarang: Rindu kalian harus mengembang
ceruk waduk telah memberi harapan
bagi utang-utang keinginan
yang mengendap di relung rasa dan pikiran
tanah telah merekah subur. Di bawah puluhan pohon nyiur
angin semilir membelai desa tambah makmur
desa kita menjadi desa wisata. Mengepulkan pesona setiap harinya
desa yang damai dan sejuk
jauh dari dongeng amuk.

Solo, 2018

Sumber: Surat dari Samudra (2018)

Analisis Puisi:

Puisi "Tamasya ke Desa" karya Budi Wahyono adalah gambaran perjalanan waktu yang mengubah wajah desa dari kesengsaraan menjadi kemakmuran. Puisi ini menggambarkan perubahan sosial dan ekonomi yang dialami desa, dari kondisi yang penuh keterbatasan hingga menjadi desa wisata yang sejuk dan makmur.

Puisi ini tidak hanya berbicara tentang sebuah desa secara fisik, tetapi juga menyentuh aspek emosional dari mereka yang pernah meninggalkannya. Dengan nuansa nostalgia dan harapan, puisi ini mengajak pembaca untuk melihat desa sebagai tempat yang memiliki potensi besar ketika dikelola dengan baik.

Kontras Antara Masa Lalu dan Masa Kini

Puisi ini dibuka dengan gambaran suram tentang keadaan desa di masa lalu:

desa yang telah kamu biarkan, bahkan kamu tinggalkan
bukanlah desa yang dulu. Tanah tandus dan puluhan anak beringus
puluhan hewan kurus mengendus

Dalam bagian ini, penyair menggambarkan desa yang pernah ditinggalkan oleh penduduknya. Keadaan desa tersebut digambarkan dengan tanah tandus, anak beringus, dan hewan kurus, menunjukkan kondisi kemiskinan dan kesulitan yang pernah dihadapi oleh masyarakat desa.

Namun, kondisi ini kemudian berubah secara drastis di bagian berikutnya:

Sekarang: Rindu kalian harus mengembang
ceruk waduk telah memberi harapan

Bagian ini mengindikasikan bahwa desa telah mengalami transformasi besar. Kehadiran waduk melambangkan pembangunan dan perbaikan ekonomi, yang membawa harapan bagi masyarakat yang dulu mengalami kesulitan.

Harapan dan Kemajuan Desa

Puisi ini tidak hanya bernostalgia tentang masa lalu desa, tetapi juga menyoroti bagaimana desa telah berkembang menjadi lebih baik:

tanah telah merekah subur. Di bawah puluhan pohon nyiur
angin semilir membelai desa tambah makmur

Perubahan desa dari tanah tandus menjadi tanah yang merekah subur adalah simbol keberhasilan dalam pertanian dan kehidupan ekonomi. Pohon nyiur yang disebutkan dalam puisi juga merupakan lambang kesejahteraan dan ketenangan.

Kemajuan desa ini semakin ditekankan dengan penggambaran desa sebagai desa wisata:

desa kita menjadi desa wisata. Mengepulkan pesona setiap harinya
desa yang damai dan sejuk
jauh dari dongeng amuk.

Perubahan ini menunjukkan bahwa desa tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang menjadi tujuan wisata yang menarik. Keberhasilan desa dalam menarik wisatawan mencerminkan keberhasilan dalam mengelola sumber daya alam dan budaya secara berkelanjutan.

Kritik Sosial dan Sentuhan Emosional

Puisi ini juga mengandung kritik sosial terhadap orang-orang yang pernah meninggalkan desa mereka:

desa yang telah kamu biarkan, bahkan kamu tinggalkan

Penyair tampaknya menyindir mereka yang meninggalkan desa untuk mencari kehidupan yang lebih baik di kota, tanpa menyadari bahwa desa juga memiliki potensi untuk berkembang. Namun, pada akhirnya, mereka justru merindukan desa ketika melihatnya sudah berubah menjadi tempat yang lebih baik.

Puisi ini menyentuh emosi pembaca dengan menghadirkan perasaan nostalgia, rindu, dan kebanggaan terhadap tanah kelahiran.

Gaya Bahasa dan Diksi

Budi Wahyono menggunakan gaya bahasa yang kaya akan imaji dan kontras, yang membuat puisinya lebih hidup dan menarik. Beberapa ciri khas yang dapat ditemukan dalam puisi ini adalah:
  • Metafora – Penggunaan frasa seperti ceruk waduk telah memberi harapan menggambarkan bagaimana pembangunan infrastruktur membawa perubahan bagi desa.
  • Personifikasi – angin semilir membelai desa tambah makmur memberikan kesan bahwa alam turut mendukung kemajuan desa.
  • Kontras – Puisi ini dengan jelas membandingkan keadaan desa di masa lalu dan masa kini, memberikan efek dramatis yang kuat.
  • Diksi yang Puitis – Penggunaan kata-kata seperti mengendus, merekah, dan membelai memberikan nuansa estetika yang indah dalam puisi.

Pesan Moral dalam Puisi

Puisi "Tamasya ke Desa" mengandung beberapa pesan moral yang penting bagi pembaca:
  • Jangan Meremehkan Desa – Desa yang dulu dianggap tertinggal bisa berkembang dan menjadi makmur dengan pengelolaan yang baik.
  • Pembangunan yang Berkelanjutan Itu Penting – Perubahan desa menjadi lebih baik tidak lepas dari pembangunan seperti pembuatan waduk dan pengembangan sektor wisata.
  • Kembali ke Akar dan Merawat Warisan – Mereka yang pernah meninggalkan desa harus menyadari bahwa desa memiliki potensi besar dan bisa menjadi tempat yang layak untuk kembali.
  • Hargai Perubahan dan Perjuangan Masyarakat Desa – Kemajuan desa bukanlah sesuatu yang instan, tetapi hasil dari kerja keras masyarakatnya.
Puisi "Tamasya ke Desa" karya Budi Wahyono adalah refleksi tentang perubahan sosial yang dialami sebuah desa. Dari kondisi yang penuh keterbatasan hingga menjadi desa wisata yang makmur, puisi ini menggambarkan bagaimana pembangunan dan kerja keras dapat mengubah kehidupan masyarakat desa.

Melalui gaya bahasa yang kuat dan diksi yang penuh imaji, penyair menyajikan puisi yang tidak hanya indah, tetapi juga penuh makna. Puisi ini mengajak kita untuk menghargai desa, tidak hanya sebagai tempat kelahiran, tetapi juga sebagai tempat yang memiliki potensi besar untuk berkembang dan memberikan kehidupan yang lebih baik.

Budi Wahyono
Puisi: Tamasya ke Desa
Karya: Budi Wahyono

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.