Analisis Puisi:
Puisi "Sebuah Menara" karya Dorothea Rosa Herliany merupakan refleksi atas penderitaan, harapan, dan kenyataan yang sering kali tidak sesuai dengan impian manusia. Puisi ini menggambarkan gambaran tragis tentang para pengungsi, bencana, dan keterasingan manusia dalam realitas yang penuh luka.
Tema Puisi
Puisi ini mengangkat tema penderitaan, harapan yang sirna, serta refleksi diri terhadap kehidupan. Melalui penggambaran arak-arakan pengungsi, puisi ini menyiratkan krisis kemanusiaan yang sering terjadi akibat perang, konflik, atau bencana. Selain itu, tema tentang ketidakberdayaan manusia juga hadir dalam bait terakhir yang menyatakan bahwa wajah kita hanyalah bayang-bayang.
Makna Puisi
Puisi ini menggambarkan bagaimana manusia sering kali menjadi saksi atas penderitaan orang lain, tetapi tidak mampu berbuat banyak. Frasa "arak-arakan para pengungsi dan keledai-keledai tanpa beban" mengilustrasikan bagaimana pengungsi harus mengembara tanpa kepastian, sedangkan "harapan berserakan di antara luka-luka" menunjukkan bahwa dalam penderitaan, harapan menjadi sesuatu yang rapuh.
Pada bait kedua, puisi ini menyinggung bagaimana penderitaan manusia telah menjadi bagian dari sejarah yang terus diulang. Frasa "bencana yang terus didongengkan" menyiratkan bahwa kisah tentang penderitaan sering kali hanya menjadi catatan atau cerita tanpa solusi nyata.
Bait terakhir, "wajah kita, cuma bayang-bayang!", menegaskan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi kenyataan. Ada rasa kehilangan jati diri dan refleksi mendalam bahwa kita hanya menjadi saksi bisu atas penderitaan yang terjadi di sekitar kita.
Makna Tersirat
Secara tersirat, puisi ini mengkritik bagaimana manusia sering kali pasif dalam menghadapi penderitaan yang terjadi di dunia. Dorothea Rosa Herliany menggambarkan realitas yang suram, di mana harapan menjadi sesuatu yang mudah hancur, dan sejarah penuh dengan tragedi yang terus berulang.
Selain itu, puisi ini juga menyiratkan betapa manusia terkadang kehilangan esensi dirinya. Frasa "wajah kita, cuma bayang-bayang!" bisa diartikan sebagai hilangnya identitas, harapan, atau bahkan kemanusiaan dalam menghadapi kenyataan yang pahit.
Puisi ini bercerita tentang penderitaan manusia yang terus berulang, terutama dalam konteks pengungsian dan konflik. Penggunaan kata pengungsi, bendera, dan bencana mengisyaratkan situasi krisis kemanusiaan.
Puisi ini juga menggambarkan bagaimana sejarah penuh dengan kisah tragis yang terus diceritakan, tetapi sering kali tidak ada perubahan yang nyata. Pada akhirnya, manusia hanya menjadi saksi dari penderitaan itu tanpa bisa benar-benar mengubah keadaan.
Puisi "Sebuah Menara" adalah puisi yang menggugah kesadaran pembaca untuk merenungkan kembali peran mereka dalam menghadapi penderitaan dunia. Apakah kita hanya akan menjadi saksi yang pasif, ataukah kita akan mengambil tindakan?

Puisi: Sebuah Menara
Karya: Dorothea Rosa Herliany
Biodata Dorothea Rosa Herliany:
- Dorothea Rosa Herliany lahir pada tanggal 20 Oktober 1963 di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Ia adalah seorang penulis (puisi, cerita pendek, esai, dan novel) yang produktif.
- Dorothea sudah menulis sejak tahun 1985 dan mengirim tulisannya ke berbagai majalah dan surat kabar, antaranya: Horison, Basis, Kompas, Media Indonesia, Sarinah, Suara Pembaharuan, Mutiara, Citra Yogya, Dewan Sastra (Malaysia), Kalam, Republika, Pelita, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos, dan lain sebagainya.