Puisi: Sajak Kamar (Karya Agit Yogi Subandi)

Puisi "Sajak Kamar" karya Agit Yogi Subandi adalah sebuah refleksi mendalam tentang kehilangan, kenangan, dan kesepian. Dengan bahasa yang puitis ...
Sajak Kamar

Masih kuingat namamu
dari puluhan tahun lalu
yang bereingkarnasi
menjelma guci

Guci yang tak mengucap selamat datang
atau berkata selamat malam
meski kautahu, tubuhku kuyup oleh perjalanan
yang tak menuntaskan rindu bagimu yang pualam

Lalu meja, ranjang, dan langit kamar
sibuk membicarakan engkau
juga pena dan kertas yang jembar:
iklas menerima sengau galau dari dadaku

Kamar melahirkan seribu desis ular
mata cemas menangkap tubuhmu yang tak lagi bersandar
ratusan peristiwa beterbangan:
seperti iblis yang hendak menikam

Muntahlah segala umpat dan laknat
bagi tubuhmu yang tak terengkuh oleh tangan:
betapa engkau sediam batu di tepian sungai coklat
yang menyaksikan ranting ngambang menuju pengasingan

O, masih kuingat namamu dari kamarku
tapi kautak kan kembali
hanya namamu yang utuh dibenakku
karena jasad melebur di bawah tanah sepi:

yang mungkin,

hanya engkau yang berani

menghuni.

2008

Analisis Puisi:

Puisi "Sajak Kamar" karya Agit Yogi Subandi adalah karya yang penuh dengan nuansa kesedihan, kehilangan, dan refleksi mendalam. Dengan penggunaan metafora yang kuat, puisi ini menggambarkan perasaan rindu yang tak terbalaskan dan kesunyian yang menyelimuti seseorang yang telah pergi.

Tema

Puisi ini mengangkat tema kehilangan, kesedihan, dan kenangan yang abadi. Penyair mengenang seseorang dari masa lalu yang telah tiada, sementara kamar menjadi saksi dari kesepiannya.

Makna Tersirat

Puisi ini memiliki makna tersirat tentang kerinduan yang tak terjawab dan keterikatan emosional terhadap seseorang yang telah meninggal.

Beberapa baris dalam puisi mengisyaratkan bahwa tokoh dalam puisi ini telah pergi untuk selamanya:

"hanya namamu yang utuh dibenakku karena jasad melebur di bawah tanah sepi"
"yang mungkin, hanya engkau yang berani menghuni."

Dari penggalan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sosok yang dikenang telah meninggal dan hanya meninggalkan namanya dalam ingatan sang penyair.

Selain itu, puisi ini juga bisa dimaknai sebagai perjuangan seseorang dalam menerima kehilangan. Ruangan atau kamar yang digambarkan dalam puisi bukan hanya tempat fisik, tetapi juga lambang dari ruang batin yang dipenuhi kenangan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengenang sosok yang telah tiada dan merasakan kesepian di dalam kamar yang dipenuhi bayangan masa lalu.

Tokoh dalam puisi ini mengingat nama seseorang yang ia rindukan, tetapi hanya namanya yang tersisa dalam ingatan. Kamar menjadi ruang tempat perenungan dan kesedihan, sementara benda-benda di dalamnya, seperti meja, ranjang, pena, dan kertas, seakan ikut menjadi saksi bisu dari kehilangan yang dialami.

Ketidakmampuan untuk meraih kembali sosok yang dirindukan semakin ditekankan dalam bait:

"betapa engkau sediam batu di tepian sungai coklat yang menyaksikan ranting ngambang menuju pengasingan."

Imaji ini menggambarkan sosok yang telah pergi sebagai sesuatu yang tak terjangkau lagi, seperti batu yang tak bergerak, hanya bisa menyaksikan waktu yang berlalu.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini memiliki suasana melankolis, sunyi, dan penuh kesedihan.

Sejak awal, pembaca dibawa masuk ke dalam kenangan sang penyair yang mengenang seseorang yang telah lama pergi. Suasana kamar yang digambarkan penuh desisan ular dan ratusan peristiwa yang beterbangan menambah nuansa kelam dan kegelisahan batin.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kehilangan adalah bagian dari kehidupan, tetapi kenangan akan tetap abadi dalam ingatan.

Meskipun seseorang telah pergi, jejaknya masih tertinggal di hati mereka yang mencintainya. Kesedihan memang menyakitkan, tetapi menerima kenyataan dan merelakan adalah bagian dari perjalanan hidup.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang memperkuat makna dan suasana yang ingin disampaikan:
  • Imaji penglihatan (visual): "guci yang tak mengucap selamat datang atau berkata selamat malam" – menggambarkan benda mati yang tetap diam, melambangkan kehilangan yang tak tergantikan. "betapa engkau sediam batu di tepian sungai coklat" – melukiskan ketidakmampuan seseorang untuk kembali.
  • Imaji pendengaran (auditori): "seribu desis ular" – menggambarkan kecemasan dan ketakutan yang menyelimuti kamar, seolah-olah ada suara mengancam.
  • Imaji perasaan (kinestetik): "muntahlah segala umpat dan laknat" – menunjukkan luapan emosi yang tidak terbendung.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperkuat efek emosionalnya:
  • Metafora: "kamar melahirkan seribu desis ular" – menggambarkan suasana hati yang gelisah dan penuh ketakutan. "engkau sediam batu di tepian sungai coklat" – melambangkan seseorang yang telah tiada dan tak lagi bisa berinteraksi.
  • Personifikasi: "meja, ranjang, dan langit kamar sibuk membicarakan engkau" – memberikan sifat manusiawi kepada benda mati untuk menegaskan bagaimana ruangan itu masih menyimpan kenangan akan sosok yang telah pergi.
  • Hiperbola: "ratusan peristiwa beterbangan seperti iblis yang hendak menikam" – menggambarkan betapa kuatnya kenangan yang datang bertubi-tubi hingga terasa menyakitkan.
Puisi "Sajak Kamar" karya Agit Yogi Subandi adalah sebuah refleksi mendalam tentang kehilangan, kenangan, dan kesepian. Dengan bahasa yang puitis dan penuh metafora, puisi ini membawa pembaca ke dalam ruang batin seseorang yang masih terjebak dalam kenangan akan orang yang telah tiada.

Melalui imaji yang kuat dan majas yang tajam, puisi ini tidak hanya menggambarkan rasa duka, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungi bagaimana kenangan akan seseorang tetap hidup meskipun ia telah pergi.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Sajak Kamar
Karya: Agit Yogi Subandi

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.