Sajak Cinta
kekasih,
kupilih sebuah granat
untuk cinta kasih
yang sejati
logam yang hitam dan dingin ini,
berkotak-kotak lewat gurat garit
kusaksikan jutaan bunga api
di langit, dalam guruh batin
erat tergenggam, erat digenggam
lidah besi yang panjang dan kaku
kucabut
erat digenggam, erat tergenggam
buatmu, kubawa berlari
(kurindukan ledakan-ledakan)
buatmu. Kuingin menghadiahkannya
(sempurnakanlah dalam dekapan)
bunyi krisik yang manis
yang gemuruh merendah. Logam-logam
yang lunak berterbangan
mancur, berhamburan
: ingin kulihat hatimu
ingin kulihat jiwamu
yang lunak, yang hangat
o, cintaku
kekasih,
cintaku menancap sangat dalam
berngiang-ngiang
tak terhapuskan
kekal, dan hidup berdenyut
segar, merah memberangsang
(sebuah granat meledak
dalam selangkang
bergaung, berngiang-ngiang
debu dan kerikil berkrisik
lalu harum daging punggung
: paha?
kekasih,
telah kujalani jutaan peperangan
telah terbiasa dalam bebunyian
telah kebal dalam curiga
sedangkan para perempuan
hanya pantas buat diperkosa
kekasih,
cintaku telah matang
kupilih sebuah granat
buat cinta kasih yang sejati
buatmu
sempurnakanlah dalam dekapan
1981/1982
Sumber: Horison (Maret, 1983)
Analisis Puisi:
Tema utama puisi "Sajak Cinta" karya Beni Setia adalah cinta yang destruktif dan penuh kekerasan. Penyair menampilkan cinta yang tidak lembut atau romantis seperti pada umumnya, melainkan cinta yang dibungkus dengan kekerasan, obsesi, dan agresi.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan bahwa cinta tidak selalu hadir dalam bentuk yang indah dan manis, tetapi bisa hadir dalam bentuk yang liar, brutal, bahkan destruktif. Penyair menggambarkan cinta yang begitu obsesif hingga mengarah pada kepemilikan mutlak, di mana kekasih dipandang bukan sebagai individu bebas, melainkan sebagai objek yang bisa dikuasai—bahkan dihancurkan—dalam ledakan cinta yang ekstrem.
Puisi ini juga menyiratkan relasi kuasa yang timpang, di mana cinta bisa berujung menjadi bentuk kekerasan, kepemilikan sepihak, dan dehumanisasi terhadap perempuan. Kalimat "para perempuan hanya pantas buat diperkosa" mencerminkan pandangan misoginis yang menyedihkan, sebagai kritik terhadap bagaimana cinta dan hasrat sering dipelintir menjadi bentuk dominasi dan kekerasan seksual.
Puisi ini bercerita tentang seorang kekasih yang mencintai dengan cara yang brutal. Cintanya diibaratkan seperti granat, benda peledak yang membawa kehancuran. Penyair menggambarkan bagaimana ia ingin menghadiahkan granat itu kepada kekasihnya, sebagai simbol cinta yang penuh hasrat, agresi, dan kepemilikan total.
Ada juga kesan bahwa cinta di sini bercampur dengan trauma perang—sebuah cinta yang lahir di tengah suasana kekerasan, ketidakpercayaan, dan kebencian. Penyair bukan sekadar mencintai, tetapi ingin menghancurkan sekaligus memiliki dalam satu tarikan napas.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat gelap, mencekam, dan penuh kekerasan. Alih-alih romantis atau melankolis, puisi ini menghadirkan suasana brutal dan kasar, mencampurkan cinta dengan ledakan, logam, daging yang hancur, dan aroma peperangan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Puisi ini menyampaikan bahwa cinta yang tidak sehat, penuh obsesi, dan kekerasan hanya akan membawa kehancuran—bukan hanya bagi objek cinta, tapi juga bagi pencinta itu sendiri.
Beni Setia seolah ingin mengingatkan bahwa cinta sejati seharusnya tumbuh dari rasa hormat, bukan hasrat menguasai atau menghancurkan. Lewat metafora granat, puisi ini menyentil bahwa cinta yang dipenuhi dendam, trauma, dan egoisme hanya akan meledak menjadi bencana.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji yang keras, brutal, dan penuh kekerasan fisik:
- Imaji visual: granat hitam, ledakan, logam-logam berterbangan, debu dan kerikil.
- Imaji auditori: krisik logam, gemuruh ledakan, suara granat meledak.
- Imaji taktil: logam dingin tergenggam erat.
- Imaji penciuman: harum daging punggung.
Semua imaji ini memperkuat kesan bahwa cinta dalam puisi ini tidaklah lembut atau romantis, tetapi liar, obsesif, dan berdarah.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini meliputi:
- Metafora: cinta diibaratkan sebagai granat, simbol dari kekerasan dan kehancuran.
- Hiperbola: penggambaran cinta yang begitu ekstrem, sampai menghadiahkan granat sebagai bentuk kasih.
- Personifikasi: granat seolah memiliki emosi dan kehendak, menjadi simbol cinta yang hidup.
- Paradoks: cinta yang diharapkan menyatukan, justru diwujudkan dalam bentuk penghancuran.
- Ironi: menyebut granat sebagai hadiah cinta yang sejati, menunjukkan kontradiksi antara kasih sayang dan kekerasan.
Puisi "Sajak Cinta" karya Beni Setia adalah puisi cinta yang tidak biasa. Ia tidak menampilkan kelembutan dan romantisme, melainkan cinta yang keras, penuh obsesi, bahkan cenderung sadis. Melalui simbol granat dan imaji kekerasan, Beni Setia mengajak pembaca merenungkan bahwa cinta yang tidak sehat—cinta yang lahir dari trauma, dendam, dan obsesi—tidak akan membawa kebahagiaan, melainkan hanya kehancuran bagi semua pihak.
Puisi ini juga menyelipkan kritik sosial, tentang bagaimana perempuan kerap menjadi objek kekerasan dan pelampiasan hasrat, di mana cinta yang sejati pun akhirnya terdistorsi menjadi ajang dominasi dan perendahan.
Profil Beni Setia:
- Beni Setia lahir pada tanggal 1 Januari 1954 di Soreang, Bandung Selatan, Jawa Barat, Indonesia.