Puisi: Pohon Purba (Karya Frans Nadjira)

Puisi "Pohon Purba" karya Frans Nadjira merupakan refleksi mendalam tentang eksistensi manusia, sejarah, ketakutan, dan pencarian makna.
Pohon Purba

Kita milik kisah pohon purba
Telanjang meringkuk di dinding batu.
Wajah kita
gambar-gambar sederhana
                               di gua-gua gelap.
Takut pada petir
Kecemerlangan matahari
Mempertajam pendengaran di malam hari.

Kini kita berjemur di pantai
Telanjang di bawah lengkung langit.            
Berlari seperti penari
di pasir hangat.
Memandang matahari mengundurkan diri
Wajah kita
Membiru di gambar-gambar rumit
di tubuh yang tidak kita kenal
Inilah cara kita melayani rasa takut pada maut.

Kau bilang kita tidak punya alasan untuk cemas
Kau bilang melepas pakaian
sesuatu yang menyenangkan.
Sebuah pembebasan. Kau senang cahaya remang.
Melihat bayangan mengintai di balik suara malam.

Bagaimana dengan murai batu itu?
Kau tahu cara menyederhanakan sejarah takut
Kau tahu cara merintih.   
Sepanjang malam kita dengar suara-suara aneh
Dari lilin yang meretas di atas meja.
Kautuntun aku memasuki dirimu
Jari-jariku mencari tempat berteduh di bibirmu
Pohon purba tersesat di hutan sekitar gua
Ketika malam menarik garis pertama di rahimmu.

Analisis Puisi:

Puisi "Pohon Purba" karya Frans Nadjira merupakan refleksi mendalam tentang eksistensi manusia, sejarah, ketakutan, dan pencarian makna. Dengan menggunakan metafora pohon purba, penyair menggambarkan evolusi manusia dari masa lalu hingga masa kini, serta bagaimana kita menghadapi ketakutan akan kematian dan ketidakpastian.

Pohon Purba sebagai Simbol Sejarah Manusia

Puisi ini diawali dengan gambaran tentang pohon purba yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang manusia:

Kita milik kisah pohon purba
Telanjang meringkuk di dinding batu.
Wajah kita
gambar-gambar sederhana
di gua-gua gelap.

Bagian ini menggambarkan manusia prasejarah yang hidup di dalam gua, menggambar di dinding batu, dan masih dalam ketakutan terhadap alam. Pohon purba menjadi metafora bagi kehidupan manusia yang telah ada sejak zaman kuno, melambangkan kekuatan, ketahanan, dan kesinambungan sejarah.

Takut pada petir
Kecemerlangan matahari
Mempertajam pendengaran di malam hari.

Ketakutan terhadap alam menggambarkan keterbatasan manusia yang masih bergantung pada insting dan kewaspadaan untuk bertahan hidup. Ini mencerminkan bagaimana manusia di masa lalu sangat dipengaruhi oleh elemen alam dan harus terus beradaptasi.

Perubahan Zaman: Dari Gua ke Pantai

Seiring waktu, manusia berkembang dan mulai keluar dari gua, menjalani kehidupan yang lebih bebas:

Kini kita berjemur di pantai
Telanjang di bawah lengkung langit.
Berlari seperti penari di pasir hangat.

Bagian ini menggambarkan manusia modern yang telah beradaptasi dan menikmati kebebasan. Peralihan dari kegelapan gua ke cahaya pantai menunjukkan perubahan dalam cara manusia melihat dunia—dari rasa takut menjadi keberanian dan kebebasan.

Memandang matahari mengundurkan diri
Wajah kita
Membiru di gambar-gambar rumit
di tubuh yang tidak kita kenal

Meskipun telah berkembang, manusia tetap menghadapi ketidakpastian dan kompleksitas hidup. "Gambar-gambar rumit" menggambarkan perasaan asing terhadap tubuh dan eksistensi kita sendiri. Ini mencerminkan bagaimana manusia modern masih mencari jati diri di tengah kehidupan yang semakin kompleks.

Takut pada Kematian dan Upaya Pembebasan

Dalam puisi ini, ketakutan terhadap kematian menjadi tema utama. Manusia terus mencari cara untuk menghadapi kefanaan hidup:

Inilah cara kita melayani rasa takut pada maut.

Baris ini menunjukkan bahwa manusia, meskipun telah mengalami kemajuan, tetap tidak bisa menghindari ketakutan akan kematian. Kita berusaha mencari makna melalui berbagai cara, termasuk kebebasan, kenikmatan, dan refleksi terhadap sejarah kita sendiri.

Kau bilang kita tidak punya alasan untuk cemas
Kau bilang melepas pakaian sesuatu yang menyenangkan.
Sebuah pembebasan. Kau senang cahaya remang.

Di sini, penyair membahas bagaimana manusia mencoba menenangkan diri dari ketakutan eksistensial. "Melepas pakaian" dapat dimaknai sebagai simbol kebebasan dari batasan sosial dan ketakutan terhadap kematian.

Misteri dan Keanehan Malam

Bagian selanjutnya dari puisi ini menggambarkan malam yang penuh dengan suara-suara misterius:

Bagaimana dengan murai batu itu?
Kau tahu cara menyederhanakan sejarah takut
Kau tahu cara merintih.

Murai batu bisa menjadi simbol suara alam yang mengingatkan manusia akan siklus kehidupan. Penyair juga menyinggung tentang bagaimana seseorang bisa menghadapi ketakutan dengan cara yang berbeda—ada yang menerimanya, ada yang mencoba menyederhanakannya.

Sepanjang malam kita dengar suara-suara aneh
Dari lilin yang meretas di atas meja.

Suara-suara aneh di malam hari menciptakan suasana misterius, yang mungkin menggambarkan kecemasan yang muncul saat manusia merenungkan makna hidup dan kematian.

Simbolisme Pohon Purba dan Rahim

Bagian terakhir dari puisi ini membawa kita kembali ke metafora pohon purba, tetapi kali ini dikaitkan dengan rahim:

Kautuntun aku memasuki dirimu
Jari-jariku mencari tempat berteduh di bibirmu
Pohon purba tersesat di hutan sekitar gua
Ketika malam menarik garis pertama di rahimmu.

Metafora ini bisa dimaknai sebagai perjalanan kembali ke asal-usul kehidupan—rahim sebagai tempat awal eksistensi manusia. Pohon purba yang "tersesat" mungkin menggambarkan bagaimana manusia terus mencari makna dalam kehidupan dan kematian.

Puisi "Pohon Purba" karya Frans Nadjira adalah refleksi mendalam tentang perjalanan manusia dari masa lalu hingga masa kini. Dengan menggunakan simbol pohon purba, gua, pantai, dan rahim, penyair menggambarkan evolusi manusia, ketakutan terhadap maut, dan pencarian makna hidup.

Puisi ini menunjukkan bahwa meskipun manusia telah berkembang dan menemukan cara untuk menikmati kebebasan, ketakutan akan kematian tetap ada. Melalui berbagai simbol, Frans Nadjira mengajak pembaca untuk merenungkan tentang eksistensi, sejarah, dan cara kita menghadapi ketidakpastian hidup.

Frans Nadjira
Puisi: Pohon Purba
Karya: Frans Nadjira

Biodata Frans Nadjira
  1. Frans Nadjira lahir pada tanggal 3 September 1942 di Makassar, Sulawesi Selatan.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.