Puisi: Pemancing (Karya Agit Yogi Subandi)

Puisi "Pemancing" tidak sekadar bercerita tentang aktivitas memancing, tetapi juga mengandung makna yang lebih dalam mengenai perjuangan, harapan, ...
Pemancing

Dengan kail kecil, dan umpan cacing,
kunanti kau makan umpanku,
pada jam pertama, aku belum gelisah.
karena memburumu, mesti paham waktu.

Tapi ketika matahari memancar dengan kebencian,
sebatang pohon mungkin adalah dewa. dewa dengan
payung hijau dan kembang rekah di tangannya,
menguar sejuk dan semerbak aroma.

Di situlah, segala harap tak genap bermunculan.
tapi sedengung lebah dapat mengusirku.
tapi tidak! aku harus memburumu hingga senja
tertoreh bagai luka yang membusuk di pipi kiriku.

Jam kedua, mungkin aku terbiasa.
jika kau bukan milikku, aku pulang.
jika kau milikku, aku tetap pulang dengan menggenggammu,
melewati setapak penuh bambu yang gemetar oleh angin pilu.

2008

Analisis Puisi:

Puisi "Pemancing" tidak sekadar bercerita tentang aktivitas memancing, tetapi juga mengandung makna yang lebih dalam mengenai perjuangan, harapan, dan ketabahan dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam bait-baitnya, penyair menggambarkan seorang pemancing yang menanti ikan dengan penuh kesabaran, sebagaimana manusia yang berjuang meraih sesuatu yang diinginkan dalam hidup.

Diksi dan Imaji

Agit Yogi Subandi menggunakan diksi yang sederhana namun kuat dalam membangun suasana. Misalnya, "Dengan kail kecil, dan umpan cacing, kunanti kau makan umpanku" adalah gambaran dari kesabaran seorang pemancing yang menanti hasil dari usahanya. Imaji visual juga tampak dalam penggambaran suasana alam, seperti "sebatang pohon mungkin adalah dewa" dan "payung hijau dan kembang rekah di tangannya" yang memberikan kesan keteduhan serta harapan.

Personifikasi dan Metafora

Penyair memperkaya puisinya dengan penggunaan majas personifikasi, seperti pada bait "matahari memancar dengan kebencian" yang menggambarkan teriknya sinar matahari yang seakan memusuhi pemancing. Penggunaan metafora juga terlihat dalam penggambaran senja sebagai "luka yang membusuk di pipi kiriku," yang menambah kedalaman emosional pada puisi ini.

Struktur dan Irama

Puisi ini tersusun dalam empat bait dengan panjang empat baris per bait. Ritme puisi ini mengalir dengan tenang, mencerminkan kesabaran dan ketekunan yang menjadi inti dari isi puisi. Perubahan emosi dari awal hingga akhir juga dapat dirasakan melalui pemilihan kata dan nada yang semakin tegas seiring waktu berjalan.

Filosofi Hidup dalam Puisi "Pemancing"

Melalui puisi ini, Agit Yogi Subandi menyampaikan pesan tentang pentingnya kesabaran dan menerima kenyataan hidup. Dalam dunia nyata, seseorang tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, seperti pemancing yang belum tentu berhasil mendapatkan ikan. Namun, apapun hasilnya, ada pelajaran yang dapat diambil: keikhlasan dalam menerima takdir dan keberanian untuk terus berusaha.

Puisi "Pemancing" adalah refleksi dari perjalanan hidup manusia yang penuh dengan harapan, ketekunan, dan ketabahan. Dengan gaya bahasa yang indah dan makna yang mendalam, puisi ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi kehidupan, manusia harus memiliki kesabaran layaknya seorang pemancing yang menanti hasil dengan penuh keteguhan hati. Dengan demikian, puisi ini tidak hanya menyampaikan keindahan kata-kata, tetapi juga memberikan pelajaran hidup yang bermakna bagi para pembacanya.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Pemancing
Karya: Agit Yogi Subandi

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.