Analisis Puisi:
Puisi "Patah Bingkai, Sabai" karya Esha Tegar Putra merupakan sebuah karya yang sarat dengan simbol dan makna mendalam. Dengan penggunaan bahasa yang khas serta nuansa tradisi yang kental, puisi ini menghadirkan refleksi tentang perjuangan, kegagalan, dan keteguhan dalam menghadapi hidup.
Makna Betung dalam Simbolisme Tradisional
Betung (bambu besar) dalam puisi ini memiliki makna simbolis yang kuat. Penyair mengawali puisinya dengan gambaran betung yang dibenamkan dalam-dalam ke dalam lubuk larangan, tempat yang sakral dan dihormati dalam tradisi masyarakat. Di sana, seribu telur ikan puyu menetas dalam semalam, melambangkan kelahiran atau harapan baru.
Namun, meskipun betung telah diperam dan diangkat kembali setelah dua puluh tujuh malam, harapan yang digambarkan melalui layangan tetap patah bingkainya. Ini menunjukkan bahwa usaha keras belum tentu membuahkan hasil yang diinginkan, sebuah realitas yang sering dihadapi dalam kehidupan.
Layang-Layang sebagai Simbol Harapan dan Kegagalan
Layang-layang dalam puisi ini menjadi metafora bagi cita-cita atau usaha yang terus dilakukan meskipun mengalami kegagalan.
"Patah bingkai, Sabai. Layanganku tetap patah bingkai. Ia terbang tenang di angin sedikit kibaran ekornya seakan terus berseru ‘Benang jangan dipuntal!’"
Bingkai yang patah mengisyaratkan sesuatu yang tidak sempurna, rapuh, atau tidak dapat terbang tinggi sebagaimana yang diharapkan. Namun, layang-layang itu tetap berusaha terbang, meski dalam keadaan yang tidak ideal.
Seruan "Benang jangan dipuntal!" dapat dimaknai sebagai ajakan untuk tidak terlalu mengikat diri pada satu cara atau harapan yang kaku. Mungkin ada cara lain untuk menghadapi kehidupan yang lebih fleksibel daripada terus mempertahankan sesuatu yang sudah tidak lagi memungkinkan.
Unsur Magis dan Tradisi dalam Puisi
Esha Tegar Putra memasukkan unsur tradisi dengan menyebutkan mantra dan mambang (makhluk halus dalam kepercayaan Melayu). Penyebutan tiga mantra dan tiga mambang mengacu pada praktik spiritual dalam masyarakat tradisional yang sering menggunakan angka tiga sebagai simbol keseimbangan.
Penyair juga menggambarkan tindakan simbolis seperti membelah betung, merautnya dengan pelan, hingga membaca mantra. Ini bisa dimaknai sebagai upaya seseorang yang mencoba berbagai cara untuk mengatasi masalahnya, baik secara fisik maupun spiritual.
Puisi "Patah Bingkai, Sabai" adalah refleksi tentang perjuangan dalam kehidupan yang sering kali dihadapkan pada kegagalan. Melalui simbol betung, layangan, dan unsur tradisional, puisi ini menyampaikan pesan bahwa meskipun telah berusaha keras, hasil yang diinginkan tidak selalu bisa diraih. Namun, tetap ada pelajaran yang bisa dipetik—bahwa kehidupan menuntut kita untuk terus mencoba, meskipun dalam keadaan yang tidak sempurna.
Puisi ini juga memberi pesan tersirat agar kita tidak terlalu terpaku pada satu harapan atau metode tertentu. Terkadang, solusi terbaik adalah dengan merelakan, mengubah perspektif, atau mencari jalan lain dalam menghadapi tantangan hidup.
Karya: Esha Tegar Putra
Biodata Esha Tegar Putra:
- Esha Tegar Putra lahir pada tanggal 29 April 1985 di Saniang Baka, Kabupaten Solok, Indonesia.