Panorama Satu Asyura Parangkusuma
Laut menghempaskan gelombang raksasa. Pantai menghamparkan samudera manusia. "Orang begitu banyak! Siapakah mereka?" tanyamu lugas, orang kota besar terpingit alam modern. Kau pangling melihat bangsamu, di balik blangkon-surjan-dupa-kemenyan.
Pria gendut itu, kau lihat? Dia usahawan besar kotamu, hartanya tiada habis tujuh keturunan, meskipun anak-cucunya menolak Keluarga Berencana. Ayo tengok! Di laut kidul pria tambun itu menyembah Nyai Rara Kidul, mengupetikan segunung syirik dan selangit tahayul. Padahal dia sarjana lho.
"Dan itu siapa?" tanyamu terbelalak. Ah, kau lupa jua? Dia sering muncul di radio, suratkabar, televisi. Pidatonya dipuji khalayak-ramai. Betul, maqalahnya lahir dalam seminar-simposium-diskusi. Wawancaranya jadi rebutan reporter. Lihatlah dia! Dia mencium bumi, menabur bunga, membakar setanggi, menyembah Watu Gilang, memohon rizki pada Ruh Panembahan Senapati. Dia minder dan lemah pribadi. Maka menambal diri pakai klenik, dukun dan keris.
Laut gemuruh. Lautan manusia dibisingkan mobil dan sepeda-motor, bergolak dalam nafsu. Pesisir jadi pasar-malam. Orang-orang berjualan. Jual makanan-minuman. Jual asmara atau syahwat eceran. Lalu di manakah Tuhan? Sssttt, Allah digusur Nyai Ratu Kidul, di balik asap kemenyan. Engkau heran?
Panorama ini abadi tiap Jumat Kaliwon dan satu Asyura. Kau begitu modern, namun lupa Kejawen. Begitu mudah kau apriori atau antipati. Kan rugi? Padahal segalanya ini adalah akar-budayamu sendiri.
"Dalam duapuluh-dua usiaku, baru sekali ini kulihat lautan klenik!" keluhmu menyesali. Ah, di kampus kau terhanyut buku atau ilmu muluk. Di rumah kau terpenjara kemewahan membius. Di rumah Allah kau terpingit khotbah dan Kitab-Sucimu. Padahal di sini, buktikan sendiri, Kitab-Suci tidak laku, bahkan Tuhanmu pun tergusur oleh syirik purbakala: laut-kidul, watu-gilang, makam-kramat, benda- gaib, mantera, dupa, dukun dan mistik. Ayo, panggillah khotib, datangkan mubaligh, ujilah apa mereka berdaya di tengah ribuan manusia di pesona klenik? Malahan setiap bulan Maulud, khotbah Masjid Agung Kraton Yogya tenggelam, diterkam "Pasar Malam Sekaten" saat agama ditelan raungan bisnis.
"Apakah yang mereka ingini, di sini? tanyamu bloon. Mestinya, kau ajak Biro Pusat Statistik agar meneliti dan menghasilkan data akurat. BPS boleh membuat klasifikasi dari motif mereka datang dari puluhan kota seluruh Jawa. Minta harta. Minta jodoh. Minta pangkat. Mohon pekerjaan. Minta kebahagiaan. Mohon nomor-buntutan. Minta anak-keturunan. Dan masih 1.001 keinginan. Sebaiknya kau jadi wartawan, mewawancarai mereka itu per seorang, jika perlu dipotret, dan direkam.
"Mereka tidak beragama? Tidak ber-Tuhan?" gumammu bengong. Sudah tentu, di KTP mereka itu Islam, Kristen, Katholik, atau Kebatinan, atau yang lain. Mulut mereka fasih menyeru-nyeru: Gusti Allah, Tuhan, Pangeran, dalam 1.001 nama Maha Elok. Tapi mereka juga doyan syirik. Panembahan Senapati, Rara Kidul. Maulana Maghribi. Siluman. Dhukun. Mereka taat pada Pancasila dan UUD 1945. Mau apa?
"Duh, apakah yang layak kuperbuat?" gerutumu di puncak gelisah. Ah, kau tidak usah berbuat apa pun, selain mengurus dirimu sendiri akurat. Coba, bersabar melihat. Saksama mendengar. Arif menyimak. Bijaksana merenung. Kau lihat kau muda sebayamu berduyun-duyun, berduaan atau berkelompok itu? Mereka bercinta, mungkin berzinah, iseng atau mencari pelipur. Kau lihat ibu-ibu duduk, antri buat menyembah batu? Dari ibu-ibu pemuja kemenyan takhayul, jangan harap lahir generasi baru yang amat ilmiah-religius-nasional bermutu. Kau lihat bapak dan lelaki tua menyembah laut? Dari ayah pembudak syirik, jangan mimpi lahir generasi penerus, yang tangguh dan serius. Kemelut kera (kenakalan remaja) itu lahir dari kentut (kenakalan orang-tuaan) maka jadilah dekadensi turun-temurun. Guru sekolah mengeluh: mutu anak-muda menurun! Jangan murka atau kikuk. Karena ibu produser dan bapak sponsor, kelahiran anak-muda itu, mutunya pun rapuh betul!
"Jadi aku cuma pasif? Apatis? Skeptik?" protesmu. Jangan gitu! Pasif itu salah. Apatis keliru. Skeptik pun ngawur. Kau perlu paham realitas, asal-usul, dan tradisi bangsamu. Parangkusuma ini tidaklah sendirian. Pusat takhayul-klenik-syirik, di tanah Jawa pada satu Asyura ada ratusan, ribuan. Itulah Jawa. Itulah Kejawen. Itulah Indonesia. Pada tiap loncatan paling modern ke depan niscaya muncul ekor: takhayul-klenik-mistik. Pada teknologi canggih, begitu di-Jawa-kan, selalu jadilah mistik. Indonesia punya 1.000 doktor, tetap butuh 1.000.000 dukun. Insyafi bangsamu. Sadari akarmu! Agama Tauhidmu bagaimana? Pelajari lagi Wali Sanga!
Parangtritis, 1988
Sumber: Salam Penyair (2002)
Analisis Puisi:
Puisi "Panorama Satu Asyura Parangkusuma" karya Ragil Suwarna Pragolapati merupakan refleksi tajam terhadap budaya klenik yang masih mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Melalui gaya naratif yang lugas dan kritis, penyair menyoroti kontradiksi antara modernitas dan tradisi, agama dan mistik, serta rasionalitas dan takhayul dalam kehidupan masyarakat.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini berbentuk naratif dengan gaya penceritaan yang penuh dialog dan pertanyaan retoris. Penyair menggunakan teknik stream of consciousness, yaitu aliran pemikiran yang terus mengalir tanpa jeda, menciptakan efek perenungan yang mendalam bagi pembaca.
Diksi yang digunakan sangat lugas, bahkan cenderung sarkastik, untuk mengkritik perilaku masyarakat yang masih bergantung pada praktik mistik. Penggunaan istilah seperti "segunung syirik", "selangit tahayul", dan "kenakalan orang-tuaan" memperjelas kecaman penyair terhadap fenomena ini.
Kritik terhadap Budaya Klenik dan Sinkretisme
"Pria gendut itu, kau lihat? Dia usahawan besar kotamu, hartanya tiada habis tujuh keturunan... Di laut kidul pria tambun itu menyembah Nyai Rara Kidul, mengupetikan segunung syirik dan selangit tahayul. Padahal dia sarjana lho."
Di bagian ini, penyair menyoroti ketidakkonsistenan antara pendidikan tinggi dan kepercayaan pada takhayul. Meskipun seseorang memiliki gelar sarjana dan dianggap modern, ia tetap terikat pada praktik mistik.
"Lihatlah dia! Dia mencium bumi, menabur bunga, membakar setanggi, menyembah Watu Gilang, memohon rizki pada Ruh Panembahan Senapati."
Puisi ini juga menampilkan ironi bahwa bahkan orang-orang yang dihormati di masyarakat, seperti pemimpin dan intelektual, masih bergantung pada praktik mistik. Penyair menyoroti bahwa dalam kehidupan sehari-hari, agama formal sering kali bercampur dengan kepercayaan lama yang bertentangan dengan ajaran tauhid.
Kapitalisme dan Hilangnya Esensi Keagamaan
"Pesisir jadi pasar-malam. Orang-orang berjualan. Jual makanan-minuman. Jual asmara atau syahwat eceran. Lalu di manakah Tuhan? Sssttt, Allah digusur Nyai Ratu Kidul, di balik asap kemenyan."
Penyair mengkritik bagaimana acara keagamaan atau ritual tradisional telah bergeser menjadi ajang komersialisasi. Pasar malam yang seharusnya menjadi tempat berkumpulnya masyarakat untuk beribadah malah berubah menjadi pusat transaksi ekonomi dan kesenangan duniawi.
"Malahan setiap bulan Maulud, khotbah Masjid Agung Kraton Yogya tenggelam, diterkam 'Pasar Malam Sekaten' saat agama ditelan raungan bisnis."
Di sini, penyair menyinggung bagaimana ajaran agama sering kali kalah oleh industri hiburan dan ekonomi. Nilai-nilai spiritual yang seharusnya menjadi inti dari peringatan keagamaan justru ditutupi oleh kepentingan duniawi.
Ketidakpedulian terhadap Realitas Sosial
"Mereka tidak beragama? Tidak ber-Tuhan?" gumammu bengong. Sudah tentu, di KTP mereka itu Islam, Kristen, Katholik, atau Kebatinan, atau yang lain. Mulut mereka fasih menyeru-nyeru: Gusti Allah, Tuhan, Pangeran, dalam 1.001 nama Maha Elok. Tapi mereka juga doyan syirik."
Penyair mengkritik kontradiksi antara identitas agama seseorang dan perilaku yang mereka lakukan. Meskipun secara administratif mereka memiliki agama, namun praktik yang mereka jalankan bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri.
"Kau lihat ibu-ibu duduk, antri buat menyembah batu? Dari ibu-ibu pemuja kemenyan takhayul, jangan harap lahir generasi baru yang amat ilmiah-religius-nasional bermutu."
Di bagian ini, penyair mengingatkan bahwa generasi penerus tidak akan berkembang jika mereka lahir dari lingkungan yang masih percaya pada mistik dan takhayul. Pendidikan dan pola pikir rasional sangat diperlukan untuk membangun bangsa yang maju.
Ajakan untuk Memahami Realitas dan Identitas Bangsa
"Pasif itu salah. Apatis keliru. Skeptik pun ngawur. Kau perlu paham realitas, asal-usul, dan tradisi bangsamu."
Puisi ini tidak hanya mengkritik tetapi juga memberikan ajakan untuk memahami budaya dan tradisi bangsa. Penyair mengingatkan bahwa sikap ekstrem, baik terlalu mengagungkan modernitas maupun membenci tradisi tanpa memahami akar budayanya, adalah hal yang keliru.
"Indonesia punya 1.000 doktor, tetap butuh 1.000.000 dukun. Insyafi bangsamu. Sadari akarmu! Agama Tauhidmu bagaimana? Pelajari lagi Wali Sanga!"
Penyair menutup puisinya dengan refleksi mendalam: bahwa modernitas di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari budaya mistik yang mengakar. Untuk keluar dari permasalahan ini, masyarakat harus kembali memahami ajaran agama secara lebih murni, sebagaimana yang diajarkan oleh para Wali Sanga.
Puisi "Panorama Satu Asyura Parangkusuma" bukan sekadar kritik terhadap fenomena budaya klenik, tetapi juga refleksi mendalam tentang bagaimana masyarakat modern masih terjebak dalam praktik tradisional yang bertentangan dengan logika dan ajaran agama.
Karya: Ragil Suwarna Pragolapati
Biodata Ragil Suwarna Pragolapati:
- Ragil Suwarna Pragolapati lahir di Pati, pada tanggal 22 Januari 1948.
- Ragil Suwarna Pragolapati dinyatakan menghilang di Parangtritis, Yogyakarta, pada tanggal 15 Oktober 1990.
- Ragil Suwarna Pragolapati menghilang saat pergi bersemadi ke Gunung Semar. Dalam perjalanan pulang dari kaki Gunung Semar menuju Gua Langse (beliau berjalan di belakang murid-muridnya) tiba-tiba menghilang. Awalnya murid-muridnya menganggap hal tersebut sebagai kejadian biasa karena orang sakti lumrah bisa menghilang. Namun, setelah tiga hari tiga malam tidak kunjung pulang dan dicari ke mana-mana tidak diketemukan. Tidak jelas keberadaannya sampai sekarang, apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal.
- Dikutip dari Leksikon Susastra Indonesia (2000), pada masa awal Orde Baru, Ragil Suwarna Pragolapati pernah ditahan tanpa proses pengadilan karena melakukan demonstrasi.
- Ragil Suwarna Pragolapati sering terlibat dalam aksi protes. Berikut beberapa aksi yang pernah diikuti: Menggugat Mashuri, S.H., Menteri PK, 1968. Memprotes Pemda Yogya, kasus Judi, 1968. Menggugat manipulasi dan korupsi, 1970-1971. Aksi memprotes Golkarisasi, 1970-1972. Memprotes Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 1971-1972. Aksi menggugat SPP, 1971-1972. Aksi menolak televisi warna, 1971-1973. Aksi menolak komoditas Jepang, 1971-1974. Protes breidel pers 1977-1978.