Orang-Orang Batik Usia Senja
Belakang Keraton Yogyakarta
Masih dengan hati ia memainkan canting
malam yang bening. Meniupnya sesekali
menusuknya dengan ijuk, membuang karat daki
begitu khusyuk. Kadang bersila, atau bersimpuh
seperti luluh (menitiskan ruh)
janji sehidup semati lirik sidamukti
merawat kawung, kiblat tak pernah suwung
Masih dengan sabar ia melukis prasasti
stupa candi, mawar teratai, sampai kijang
dalam dongeng bahari. "Biarlah jika uban
dan keriput sudah mengunci. Akan kusambung
guratan pujangga, kisah suci Mahabharata
menjadi sari sutera, permadani tanah Jawa."
Maka, ia tersenyum (kendati leher tanpa kalung)
santun dengan nasib yang terus mengapung
Masih dengan bijak ia merangkak
dari hari ke hari, mori demi mori
tanpa sangsi. “Nanti selimuti tubuhku
dengan kain panjang. Ikat daguku dengan selendang
seperti dulu ketika ditimang
lahir ke bumi
dengan telanjang.”
Kini, aku menunduk. Ngapurancang dan takluk.
Disini masih ada cinta. Masih ada jari
meracik pernik cantik, membatik wajah Srikandi
menatahnya sebagai wasiat di atas kening sendiri
1997
Analisis Puisi:
Puisi "Orang-Orang Batik Usia Senja" karya Iman Budhi Santosa menggambarkan kehidupan para pembatik tua yang tetap berkarya dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Puisi ini menghadirkan gambaran yang puitis tentang perjalanan hidup, dedikasi, dan filosofi mendalam yang terkandung dalam seni membatik.
Tema Puisi
Puisi ini memiliki beberapa tema utama, di antaranya:
- Ketekunan dan Kesabaran – Pembatik usia senja tetap berkarya dengan penuh dedikasi meskipun usia telah lanjut.
- Warisan Budaya dan Tradisi – Seni membatik bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga merupakan bentuk warisan budaya yang mengandung nilai filosofis dan spiritual.
- Kehidupan dan Kematian – Puisi ini menggambarkan perjalanan hidup, dari kelahiran hingga kematian, yang diibaratkan seperti sehelai kain batik yang terus digoreskan motifnya.
- Ketulusan dan Kepasrahan – Para pembatik menerima nasib mereka dengan ketenangan dan tetap menghargai proses hidup.
Puisi ini berbicara tentang dedikasi dan ketulusan para pembatik dalam menjalani kehidupan mereka.
Makna Tersirat
Di balik keindahan kata-kata dalam puisi ini, terdapat beberapa makna tersirat:
- Batik sebagai Simbol Kehidupan – Proses membatik diibaratkan seperti perjalanan hidup manusia. Setiap goresan memiliki makna dan setiap motif adalah bagian dari kisah panjang yang terus berlanjut.
- Kebijaksanaan dalam Usia Senja – Para pembatik tua dalam puisi ini digambarkan sebagai sosok yang penuh kebijaksanaan, menerima hidup dengan ketulusan, dan tetap menjaga tradisi dengan sepenuh hati.
- Seni Batik sebagai Wasiat Budaya – Membatik bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga bentuk wasiat budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
- Refleksi atas Kehidupan dan Kematian – Ada pesan tentang keterhubungan antara hidup dan mati, seperti yang tersirat dalam baris "Nanti selimuti tubuhku dengan kain panjang. Ikat daguku dengan selendang." yang menggambarkan kain batik sebagai bagian dari prosesi kematian, mengingatkan bahwa manusia lahir dengan telanjang dan akhirnya kembali dengan kain pembungkus.
Puisi ini bercerita tentang kehidupan para pembatik tua yang tetap berkarya dengan kesabaran dan ketulusan, meskipun usia telah lanjut. Mereka tidak hanya menciptakan motif-motif indah, tetapi juga menyulam sejarah dan filosofi kehidupan ke dalam kain yang mereka buat.
Puisi ini juga menjadi refleksi tentang bagaimana manusia menjalani hidup, menerima nasib, dan mewariskan nilai-nilai kepada generasi berikutnya. Dengan bahasa yang indah dan penuh makna, Iman Budhi Santosa mengajak pembaca untuk menghargai seni batik sebagai bagian dari perjalanan hidup yang sarat dengan filosofi dan kebijaksanaan.