Puisi: Nadi (Karya Arif Bagus Prasetyo)

Puisi "Nadi" karya Arif Bagus Prasetyo menghadirkan gambaran yang mendalam tentang tubuh, perasaan, dan pengalaman batin yang berkaitan dengan ...
Nadi

Kausebut nadi darah. Tapi ia sungai-sungai yang dikutuk untuk sesat dalam daging. Ia suka mengganggumu malam-malam mengajakmu bersetubuh lewat rintih ricik-ricik yang membersit dari mimpi dan memaksa kau tersedu di tepinya yang kemarau. Ia tahu kau tak tahan mendengarkan suara air menjerit-jerit mencari hulu menyesali akar-akar yang terjungkal di arusnya.

Kausebut ia urat. Tapi sulur-sulur itu penuh batu dengan sayap kehijauan yang terusir dari benak pucat-pasi. Kau menggigil membacai kaligrafi nama-nama hilang-timbul dalam riak. Peluh dingin menerobos sisik pinggang terpeleset pada pinggul berhamburan menciumi kuntum bunga matahari yang terjerat jaring-jaring bayanganmu menggeriap menantikan musim tamat riwayatnya.

Kilau demam bergemuruh dalam jantung tapi hujan tak kausebut dan kau takut halilintar. Tak tahu dalam gelap sungai-sungai leluasa menjulurkan belalainya membelitmu waktu tidur.

1997

Analisis Puisi:

Puisi "Nadi" karya Arif Bagus Prasetyo merupakan karya yang sarat dengan metafora dan imaji kuat. Melalui eksplorasi bahasa yang kompleks, puisi ini menghadirkan gambaran yang mendalam tentang tubuh, perasaan, dan pengalaman batin yang berkaitan dengan eksistensi manusia.

Dalam puisi ini, nadi tidak sekadar dimaknai sebagai bagian dari tubuh yang mengalirkan darah, tetapi juga sebagai simbol perjalanan, takdir, dan keterasingan. Ada nuansa gelap dan penuh kegelisahan yang membangun suasana mencekam serta misterius.

Nadi sebagai Simbol Takdir dan Keterasingan

Pada bagian awal, penyair menggambarkan nadi sebagai sungai-sungai yang dikutuk untuk sesat dalam daging:

Kausebut nadi darah. Tapi ia sungai-sungai yang dikutuk untuk sesat dalam daging.

Perumpamaan ini menunjukkan bahwa nadi, yang secara biologis berfungsi mengalirkan darah ke seluruh tubuh, memiliki dimensi metaforis sebagai aliran takdir yang tidak bisa dikendalikan. Ada nuansa keterasingan dan kehilangan arah, seolah-olah manusia tak memiliki kendali atas perjalanan hidupnya.

Kemudian, terdapat gambaran bagaimana nadi menjadi pengganggu di malam hari:

Ia suka mengganggumu malam-malam mengajakmu bersetubuh lewat rintih ricik-ricik yang membersit dari mimpi dan memaksa kau tersedu di tepinya yang kemarau.

Bagian ini memperlihatkan sisi gelap dari kesadaran manusia. Nadi yang terus berdetak mengingatkan kita akan keberadaan diri, kerinduan, dan mungkin penyesalan. Dalam suasana yang intim dan sunyi, sang aku lirik mengalami pergulatan batin yang mendalam.

Urat sebagai Metafora Luka dan Kenangan

Pada bagian selanjutnya, nadi disebut sebagai urat, tetapi dijelaskan lebih jauh dalam metafora yang mencerminkan kesakitan dan trauma:

Tapi sulur-sulur itu penuh batu dengan sayap kehijauan yang terusir dari benak pucat-pasi.

Sulur yang penuh batu menggambarkan jalan yang sulit, penuh hambatan dan luka. Sementara itu, sayap kehijauan bisa melambangkan harapan atau kenangan yang tercerabut dari benak, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang telah hilang dan sulit untuk dikembalikan.

Peluh dingin menerobos sisik pinggang terpeleset pada pinggul berhamburan menciumi kuntum bunga matahari yang terjerat jaring-jaring bayanganmu menggeriap menantikan musim tamat riwayatnya.

Baris ini membangun imaji yang sensual sekaligus tragis. Peluh dingin menggambarkan kecemasan, sedangkan bunga matahari yang terjerat jaring-jaring bayangan bisa menunjukkan harapan yang terhalang oleh ketakutan atau masa lalu yang menghantui.

Ketakutan terhadap Takdir dan Ketidakberdayaan

Pada bagian terakhir, suasana semakin mencekam dengan kehadiran kilau demam dan kegelapan:

Kilau demam bergemuruh dalam jantung tapi hujan tak kausebut dan kau takut halilintar.

Demam di sini bisa dimaknai sebagai kecemasan atau gejolak batin yang menggebu-gebu. Namun, meskipun ada kegelisahan, sang aku lirik tampaknya menghindari sesuatu yang bisa membebaskannya, seperti hujan yang tidak disebutkan. Ini bisa diartikan sebagai ketakutan untuk menghadapi perubahan atau kenyataan.

Tak tahu dalam gelap sungai-sungai leluasa menjulurkan belalainya membelitmu waktu tidur.

Baris terakhir menghadirkan gambaran mimpi buruk, di mana sungai yang sebelumnya diibaratkan sebagai nadi kini menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan, membelit seperti ular atau monster yang mengancam eksistensi manusia.

Pesan dan Interpretasi Puisi

Puisi "Nadi" menghadirkan refleksi tentang eksistensi manusia yang penuh kegelisahan, keterasingan, dan ketidakberdayaan. Beberapa pesan yang bisa diambil dari puisi ini adalah:
  • Takdir yang Tak Terelakkan – Nadi sebagai aliran darah melambangkan perjalanan hidup yang tidak selalu bisa dikendalikan.
  • Ketakutan dan Trauma – Ada unsur ketidakpastian dan ketakutan yang menghambat seseorang dalam menghadapi realitas hidup.
  • Keterasingan Diri – Metafora sungai dan urat menggambarkan bagaimana seseorang bisa merasa tersesat dalam tubuhnya sendiri, seolah-olah terperangkap dalam arus kehidupan yang tak menentu.
  • Kegelapan yang Mengancam – Imaji kegelapan, bayangan, dan sungai yang membelit menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terus menghantui, baik dalam bentuk kenangan, dosa, atau ketakutan terhadap masa depan.
Puisi "Nadi" karya Arif Bagus Prasetyo adalah puisi yang kaya akan metafora dan simbolisme. Dengan bahasa yang puitis dan imaji yang kuat, puisi ini menggambarkan perjalanan batin manusia dalam menghadapi ketidakpastian hidup.

Melalui simbol nadi, urat, sungai, dan kegelapan, puisi ini menghadirkan suasana yang suram dan penuh pergulatan batin. Ia mengajak pembaca untuk merenungkan tentang perjalanan hidup, keterasingan, serta ketakutan yang sering kali menyertai eksistensi manusia.

Pada akhirnya, Nadi bukan sekadar puisi tentang bagian tubuh, tetapi juga tentang pergulatan diri dalam menghadapi takdir dan realitas yang tak selalu bisa dipahami atau dikendalikan.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Nadi
Karya: Arif Bagus Prasetyo

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.