Puisi: Menunggu (Karya Agit Yogi Subandi)

Puisi "Menunggu" karya Agit Yogi Subandi menggambarkan penantian yang bukan hanya tentang waktu, tetapi juga tentang perjalanan batin yang penuh ...
Menunggu

menunggumu, kudengar keluh bangku taman
di dekat kembang pagar perdu;
suaranya, retak daun musim gugur
dan angin yang menumbur daun retak itu.

menunggumu, dinda,
mawar menggugurkan kelopaknya.
kumbang-kumbang menghisap duri-duri;
madu, merah kirmizi.

menunggumu, aku paham percakapan serangga
yang sembunyi di balik semak malam hari.
sepanjang malam, kudengar kisah gadisnya
yang tersesat di belantara pepohonan setiap hari.

menunggumu, adinda,
aku dibenci arloji
sebab ruangnya kujarah
dan tubuhnya padat caci maki.

menunggumu, seperti menghadapi malam
meruang dengan sebatang lilin putih mengelam.
dan masjid hanya takbir, suaranya adalah suaraku;
yang direkam angin dari kamarku.

dan dalam penantianku, adinda, aku telah berbicara
kepada ratusan wali-wali pilihanmu.
langit menyempit di mataku,
kau melebar di dadaku.

2009

Analisis Puisi:

Puisi "Menunggu" Karya Agit Yogi Subandi mengangkat tema tentang penantian yang penuh perasaan dan makna mendalam. Penantian dalam puisi ini tidak sekadar menunggu seseorang secara fisik, tetapi juga menggambarkan perjalanan batin seorang yang menantikan sesuatu yang belum pasti.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini berkaitan dengan kesabaran, harapan, dan perasaan kerinduan yang mendalam. Penantian yang digambarkan dalam puisi ini tidak hanya tentang seseorang yang menunggu kekasihnya, tetapi juga mencerminkan perjuangan seseorang dalam menghadapi waktu dan kehidupan yang terus berjalan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang menunggu dengan penuh harapan. Ia menggambarkan suasana di sekitarnya, seperti bangku taman yang "mengeluh", daun yang "retak", serta perubahan yang terjadi di alam saat ia terus menanti. Penantian ini semakin kuat terasa dengan gambaran waktu yang terus berlalu, hingga ia merasa bahwa arloji pun membencinya karena ia telah "menjarah" ruang waktu.

Selain itu, terdapat perasaan kesepian dan keterasingan dalam penantian ini, yang tergambar melalui simbol-simbol seperti lilin dalam kegelapan serta suara takbir dari masjid yang menggambarkan refleksi diri dalam kesunyian malam.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa melankolis, sendu, dan penuh perasaan mendalam. Keheningan dan kesunyian mendominasi, seiring dengan penantian yang terasa semakin lama dan penuh emosi. Keadaan alam yang digambarkan, seperti daun yang retak, bunga mawar yang gugur, dan angin yang menerpa, semakin menambah kesan kesepian dan kepasrahan dalam menunggu.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini mengajarkan bahwa menunggu bukan sekadar soal waktu, tetapi juga perjalanan batin yang bisa penuh perjuangan. Kadang, dalam penantian, seseorang bisa mengalami berbagai emosi, mulai dari harapan, kesedihan, hingga kekecewaan. Namun, puisi ini juga menunjukkan bahwa penantian memiliki makna tersendiri dan bisa menjadi refleksi atas perjalanan hidup dan keteguhan hati.

Imaji dalam Puisi

Puisi ini kaya akan imaji yang melibatkan berbagai indera, seperti:
  • Imaji visual: "mawar menggugurkan kelopaknya", "bangku taman di dekat kembang pagar perdu", dan "sebatang lilin putih mengelam" menggambarkan suasana yang terlihat dalam penantian.
  • Imaji auditori: "suaranya, retak daun musim gugur", "dan masjid hanya takbir, suaranya adalah suaraku" menciptakan efek suara yang memperkuat kesan sunyi dan reflektif dalam penantian.
  • Imaji taktil: "angin yang menumbur daun retak itu" memberi kesan sentuhan yang menggambarkan perubahan dan perasaan yang ikut terombang-ambing oleh suasana sekitar.

Majas dalam Puisi

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: "kumbang-kumbang menghisap duri-duri" menggambarkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan secara harfiah oleh kumbang, namun digunakan sebagai simbol yang lebih dalam.
  • Metafora: "aku dibenci arloji" melambangkan perasaan seseorang terhadap waktu yang terasa begitu lambat atau bahkan menjadi musuh dalam penantian.
  • Hiperbola: "aku telah berbicara kepada ratusan wali-wali pilihanmu" menggambarkan betapa panjang dan mendalamnya penantian tersebut, hingga terasa seperti melibatkan banyak wali atau orang suci dalam doa dan harapan.
  • Simile: "menunggumu, seperti menghadapi malam meruang dengan sebatang lilin putih mengelam" menggambarkan perasaan penantian yang terasa sepi dan gelap, hanya diterangi oleh sedikit harapan.
Puisi "Menunggu" karya Agit Yogi Subandi menggambarkan penantian yang bukan hanya tentang waktu, tetapi juga tentang perjalanan batin yang penuh perasaan dan makna. Dengan suasana melankolis dan imaji yang kuat, puisi ini berhasil menyampaikan pesan tentang kesabaran, harapan, dan refleksi diri dalam penantian. Majas yang digunakan semakin memperkuat makna dan menghadirkan pengalaman membaca yang mendalam bagi pembaca.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Menunggu
Karya: Agit Yogi Subandi

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.