Puisi: Makan Pagi dan Bersambung (Karya Yuswadi Saliya)

Puisi “Makan Pagi dan Bersambung” karya Yuswadi Saliya menggambarkan sebuah perjalanan batin, eksistensi, dan refleksi pribadi tentang Jakarta, ...
Makan Pagi dan Bersambung

1.
rasa turun di kota dari Bandung
masih pagi, melompati rel, terlihat sebatang rokok
masih mengasap, lebih dari separuh;
dengan ini saya telah melihat Jakarta!

2.
Sisa yang berlebihan berhamburan bagai suara
manusia bertapa di mana-mana di sela-sela padas
di tengah-tengah lelap panas
mereka pun masih menyala, penduduk yang setia.
Tapi belum semua pernah melihat Jakarta!
Jakarta seperti merpati seorang yang sulit didekati
takpernah mengerti akan makna perkenalan apalagi harapan
ia rakus, geragas dan takpernah merasa puas
melahap dan memuntahkan kembali setiap sajian.

3.
Pagi ini saya disajikan sebagai makan pagi;
saya ini apa, sebenarnya? Bukan apa-apa,
terjun ke dalam periuk Jakarta, sebagai apa?
                        (Tapi sudahlah, ini soal lain).
Jakarta baik hati, sebenarnya,
tapi terlalu masa bodoh, ya demi istana!
                            betapa masa bodohnya.

Ia takpernah berpura-pura apalagi marah
tapi bukan main pendiamnya seperti lemari besi.
Pagi ini dia makan pagi sesudah membuang rokok panjangnya.

4.
Di tepi laut seperti dalam perut
ombak cokelat bergumul sama sendiri
nelayan itu mengucup daki usus Jakarta;
betapa putus asanya! ya langit yang perkasa!
sebutir-sebutir batu di pantai bergilir diungkit,
takada udang, tentu saja, hanya air parit
Siapakah yang telah makan pagi?
Ya, demi tugu marmar yang berjambul!
Siapakah yang telah makan pagi?
Ya, demi kebun binatang yang rimbun dan buai!
Siapakah yang telah makan pagi
hari ini?

5.
Bulan terang seperti benderangnya Bina Ria.
Lihat, kaki yang memijat punggung Jakarta,
sekarang lagi mencari teman untuk saling memijat;
teman ini sesulit teman nasi mencarinya!
Betapa kakunya Jakarta. Ya, demi lampu! betapa kakunya.
Betapa sepinya suara di sini
takadakah rempah dalam periuk ini?
Demi sisa yang berhamburan! takadakah teman di sini?
Mungkinkah Jakarta lupa menyediakan seorang teman?
Demi by pass! mungkinkah itu? Ya, Jakarta!

6.
Jakarta telah melahap sajian lebih dari separuh:
Selamat datang, silahkan sibuk sendiri!
                    (Saya telah melihat Jakarta kini
bagaimana rasanya menjadi santapan Jakarta,
makanan pagi, kemudian menghayati
buang airnya Jakarta sore hari, kembali
menjelang tidur, menebah bantal dan kain kasar,
di sini).

7.
Takada oleh-oleh, istriku yang mengerti
hasilnya hanya cukup untuk makan pagi.
Pahlawanku, cukup dengan hadirmu kembali.
hari ini hari ulang tahun kemerdekaan keluarga kita,
lihat, demi proklamasi kita,
kemarin kutahan makan demi hari ini!
                    Aduh, istriku yang setia...

8.
                    (bersambung)

1972-1973

Sumber: Horison (Maret, 1975)

Analisis Puisi:

Puisi “Makan Pagi dan Bersambung” karya Yuswadi Saliya menggambarkan sebuah perjalanan batin, eksistensi, dan refleksi pribadi tentang Jakarta, kota yang penuh kontras dan dinamika. Dalam puisi ini, Saliya tidak hanya menggambarkan Jakarta sebagai kota metropolitan yang penuh aktivitas, tetapi juga menciptakan gambaran tentang perasaan terasing dan cemas yang sering menyertai kedatangan atau kehidupan di kota besar. Melalui sejumlah bagian puisi yang bersambung, Saliya mengajak pembaca untuk menggali makna dan refleksi yang terkandung di dalamnya, seolah-olah seperti makan pagi yang penuh rasa namun bersifat sementara.

Bagian 1: Awal Pagi yang Menggugah

Pada bagian pertama, puisi dimulai dengan suasana pagi di kota Bandung yang terasa penuh makna. Dari Bandung, pembaca diajak untuk melompat menuju Jakarta, sebuah kota yang menyimpan berbagai kesan dan ketegangan dalam diri para pendatang. Penggunaan "sebatang rokok" yang mengasap, yang lebih dari separuhnya, memberikan kesan bahwa kota ini sudah siap dengan segala kesibukannya, bahkan sebelum matahari terbit sepenuhnya. Jakarta dipandang sebagai sebuah entitas yang sudah siap menyambut siapapun dengan hiruk-pikuk yang tak dapat dihentikan.

Bagian 2: Kontras dan Pencarian Makna

Pada bagian kedua, puisi mulai beralih ke gambaran manusia yang bertapa di sela-sela panas Jakarta, sebuah simbol dari perjuangan hidup dan keterasingan di tengah hiruk-pikuk kota besar. Jakarta digambarkan sebagai sebuah kota yang sulit didekati, rakus, dan tidak pernah puas. “Ia melahap dan memuntahkan kembali setiap sajian,” menyiratkan bahwa kota ini tidak peduli dengan siapa pun, terus mengunyah dan membuang begitu saja apa yang diberikan kepadanya. Puisi ini dengan tajam menyentil sifat kota yang tak pernah berhenti mengejar kemajuan dan kesenangan.

Bagian 3: Pencarian Jati Diri di Tengah Ketidakpastian

Bagian ketiga mencerminkan refleksi pribadi yang lebih mendalam. “Pagi ini saya disajikan sebagai makan pagi; saya ini apa, sebenarnya?” adalah kalimat yang menyiratkan pertanyaan tentang siapa diri saya dalam konteks Jakarta. Perasaan terasing yang muncul menunjukkan kesadaran bahwa seseorang bisa merasa seperti benda yang hanya "disajikan" dan digunakan oleh kota besar tanpa ada pengertian akan jati diri yang sesungguhnya. Kota ini tak punya waktu untuk memahami siapa kita, sementara kita terus terbuai oleh apa yang disajikan.

Bagian 4: Kontras Alam dan Perasaan

Pada bagian keempat, Saliya menggambarkan Jakarta dengan latar alam yang penuh dengan ketidakpuasan. Di tepi laut, ombak cokelat menggulung sendirian, nelayan hanya bisa menyerah dengan daki usus Jakarta yang tak kunjung habis. Saliya menggambarkan betapa keras dan rapuhnya Jakarta, dengan segala harapan yang tak terwujud, di mana manusia berjuang tanpa bisa mendapatkan hasil yang diinginkan. Penggunaan gambaran alam memberikan kesan bahwa Jakarta adalah sebuah kota yang tidak hanya keras tetapi juga penuh dengan ketidakpastian.

Bagian 5: Perasaan Terasing dan Kehilangan

Pada bagian kelima, bulan yang terang menggambarkan kegelapan Jakarta yang tersembunyi. Saliya menggambarkan ketegangan antara harapan dan kenyataan di mana Jakarta terlihat gemerlap namun penuh ketegangan. "Betapa kakunya Jakarta" dan "betapa sepinya suara di sini" adalah kalimat yang menggambarkan kesunyian dalam keramaian, di mana manusia saling melompati satu sama lain, namun tak pernah benar-benar bertemu atau saling mengerti.

Bagian 6: Jakarta yang Tidak Pernah Kenal Kepuasan

Bagian keenam menjadi klimaks dari keseluruhan puisi ini. “Selamat datang, silahkan sibuk sendiri!” adalah kalimat yang berbicara tentang Jakarta sebagai kota yang menerima orang-orang, tetapi pada akhirnya mereka hanya menjadi bagian dari rutinitas yang tak pernah berakhir. Puisi ini menyoroti bagaimana Jakarta terus melahap kehidupan dengan cepat dan efisien, namun tidak pernah memberikan kesempatan untuk berhenti dan merenung.

Bagian 7: Perenungan Keluarga dan Kehidupan Pribadi

Di bagian ketujuh, ada perubahan nada yang lebih pribadi dan emosional. Pembaca diperkenalkan dengan hubungan intim antara pembicara dan keluarganya, khususnya dengan sang istri. Dalam konteks ini, Jakarta tidak lagi hanya menjadi kota besar yang keras, tetapi juga tempat untuk mencari penghiburan dalam keluarga, dalam kehadiran orang yang kita sayangi. Saliya merenungkan bagaimana kehidupan sehari-hari dan kebersamaan dalam keluarga menjadi hal yang lebih berarti daripada rutinitas kehidupan kota yang tak pernah selesai.

Bagian 8: Penyambung yang Terbuka

Akhir puisi ini, yang ditandai dengan kata "bersambung," membuka ruang bagi pembaca untuk meneruskan cerita atau refleksi mereka sendiri. Puisi ini tidak menawarkan jawaban pasti mengenai Jakarta atau kehidupan di kota besar, tetapi justru menggugah pembaca untuk merenung dan melanjutkan pencarian makna.

Puisi “Makan Pagi dan Bersambung” karya Yuswadi Saliya bukan hanya sebuah deskripsi tentang Jakarta, tetapi juga sebuah renungan tentang eksistensi manusia, ketegangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kota, serta perasaan terasing yang seringkali datang dengan kehidupan urban. Melalui simbolisme yang kaya dan gaya bahasa yang puitis, Saliya berhasil menyampaikan kedalaman perasaan manusia yang sering kali tersembunyi di balik hiruk-pikuk dan kemegahan kota besar. Puisi ini mengajak kita untuk mempertanyakan makna kehidupan dan mencari keseimbangan di antara kebisingan dan kesunyian yang ada dalam setiap sudut kota.

Yuswadi Saliya
Puisi: Makan Pagi dan Bersambung
Karya: Yuswadi Saliya

Biodata Yuswadi Saliya:
Juswadi Saliya lahir pada tanggal 15 Juni 1938 di Bandung. Sejak SMA ia sudah mulai menulis, mula-mula pada lembaran-lembaran remaja lalu pada majalah-majalah kebudayaan seperti Basis.

Ia tamat sebagai sarjana arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1966 dan direkrut sebagai staff di ITB pada saat itu. Kemudian mengajar Sejarah Arsitektur dan Ilmu-Ilmu Sosial. Ia mendapat gelar master dari University of Hawaii pada tahun 1975.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.