Puisi: Kereta Api Terakhir (Karya Mochtar Pabottingi)

Puisi "Kereta Api Terakhir" karya Mochtar Pabottingi menggambarkan sebuah perjalanan eksistensial yang mendalam, yang membawa pembaca pada refleksi ..
Kereta Api Terakhir

Tak dihitung lagi matahari
Ketika kereta itu bergerak. Ke dunia yang lain
Cakrawala kehilangan ufuk. Orang-orang terpaku
    di tempatnya
Belum pernah seribu musim turun begitu
    dalam polka
    dalam Pakanjara
    dalam tamburnya sendiri-sendiri

Tiba-tiba tak ada lagi yang tersembunyi
Semua jadi teraba. Telanjang
Segala jadi bersuara. Bangkit
Menggusur jasad dan pikiran-pikiran kita
Konsep-konsep dan mimpi-mimpi kita
Dalam intensitas yang semakin tinggi. Dalam otomasi
    yang sempurna

Maka hening pun tercabik-cabik
Maka eksistensi pun menyerpih-nyerpih


Jakarta, 1986

Sumber: Dalam Rimba Bayang-Bayang (2003)

Analisis Puisi:

Puisi "Kereta Api Terakhir" karya Mochtar Pabottingi menggambarkan sebuah perjalanan eksistensial yang mendalam, yang membawa pembaca pada refleksi tentang waktu, kehilangan, dan perubahan yang tak terhindarkan. Puisi ini memanfaatkan kereta api sebagai metafora untuk sebuah perjalanan spiritual dan fisik menuju dimensi lain, di mana konsep-konsep kehidupan, waktu, dan eksistensi menjadi kabur dan terus bergeser.

Kereta Api sebagai Metafora Perjalanan Hidup

Puisi ini dibuka dengan baris "Tak dihitung lagi matahari / Ketika kereta itu bergerak." Kalimat ini menggambarkan sebuah momen transisi yang penting, di mana kereta—sebagai simbol dari perjalanan—bergerak menuju "dunia yang lain." Dalam perjalanan ini, waktu seperti berhenti atau kehilangan makna. Ketika matahari tidak lagi dihitung, kita dapat merasakan betapa kehidupan dan waktu menjadi sesuatu yang tidak terukur lagi, sebuah penggambaran tentang bagaimana perjalanan hidup membawa kita melewati batas-batas yang kita kenal, bahkan mungkin melampaui pemahaman kita tentang waktu itu sendiri.

Cakrawala yang kehilangan ufuk menandakan hilangnya pandangan dan orientasi. Kereta api bergerak tanpa arah yang jelas, membawa penumpangnya dalam perjalanan yang tak terdefinisi. Orang-orang "terpaku di tempatnya," menggambarkan bahwa dalam perjalanan ini, mereka tak bisa menghindar atau melarikan diri. Mereka terjebak dalam ritme yang sama, dalam pola yang sama, yang mengarah pada penghapusan batasan antara dunia nyata dan dunia yang lebih besar, misterius, dan tak terjangkau.

Musim yang Tak Pernah Turun Begitu Dalam

"Belum pernah seribu musim turun begitu / dalam polka / dalam Pakanjara / dalam tamburnya sendiri-sendiri." Dalam baris ini, Pabottingi menggambarkan musim-musim sebagai simbol perubahan dan waktu yang terus berjalan, tetapi kali ini musim-musim tersebut tidak hanya mengalir seperti biasa. Mereka "turun begitu dalam," mengindikasikan sebuah perubahan yang mendalam, yang menembus hingga ke inti eksistensi kita. Kata "Pakanjara," yang bisa merujuk pada tempat penahanan atau penderitaan, menambah nuansa gelap dan penuh ketegangan dalam perjalanan ini. Musim-musim yang turun begitu dalam ini menggambarkan kekuatan perubahan yang tak terhindarkan dan tak bisa dihindari.

Pakanjara juga bisa dipahami sebagai simbol dari jeratan atau batasan yang membelenggu kita, sementara "tamburnya sendiri-sendiri" mengisyaratkan keberagaman dan kesendirian dalam perjalanan setiap individu. Meskipun kita berjalan dalam satu kereta, setiap orang tetap membawa beban dan perjalanan batinnya sendiri-sendiri. Ini adalah pengalaman yang mendalam, meskipun kita berada dalam konteks yang lebih besar.

Penghilangan Segala yang Tersembunyi: Terbuka dan Teraba

Pabottingi melanjutkan dengan pernyataan yang kuat: "Tiba-tiba tak ada lagi yang tersembunyi / Semua jadi teraba. Telanjang." Ini adalah momen pencerahan atau mungkin juga keterbukaan yang mendalam, di mana segala sesuatu yang tersembunyi atau tak terlihat kini menjadi jelas dan nyata. Semua yang sebelumnya terkubur dalam lapisan-lapisan kehidupan kita, baik itu ketakutan, keraguan, atau harapan, kini teraba dan terbuka. Telanjang di sini bisa berarti tanpa penutup, tanpa topeng, mengungkapkan segala yang ada di dalam diri manusia.

Penggunaan kata "teraba" menandakan suatu intensitas perasaan dan pemahaman yang lebih dalam, seolah-olah kita merasakan segala sesuatu secara langsung, tanpa jarak. Dunia yang tadinya penuh dengan ilusi dan kebohongan kini disingkapkan, dan kita dipaksa untuk melihatnya dengan mata telanjang, menerima kenyataan yang mungkin tidak pernah ingin kita hadapi.

Kekuatan Perubahan yang Menggusur Pikiran dan Konsep

"Segala jadi bersuara. Bangkit / Menggusur jasad dan pikiran-pikiran kita / Konsep-konsep dan mimpi-mimpi kita." Dalam perjalanan ini, semua hal yang sebelumnya tampak sepi, tidak terdengar, dan tidak terjangkau kini menjadi "bersuara." Bangkitnya suara ini melambangkan sebuah perubahan besar yang datang dari dalam diri maupun dunia luar. Suara-suara ini mengusik ketenangan yang ada, mengguncang pemikiran dan konsep-konsep yang selama ini kita anggap sebagai kebenaran.

Kekuatan perubahan ini tidak hanya mengusik fisik atau jasad kita, tetapi juga mengguncang pemikiran kita. Konsep-konsep yang kita anut dan mimpi-mimpi yang kita miliki mulai bergeser, tergantikan oleh realitas yang lebih besar dan lebih kompleks. Ini menggambarkan bagaimana eksistensi kita bisa terguncang dan berubah oleh kekuatan yang tak terduga, seiring dengan berjalannya kereta yang menuju "dunia yang lain."

Eksistensi yang Tercabik dan Terpancar

Momen puncak puisi ini terjadi dalam baris "Maka hening pun tercabik-cabik / Maka eksistensi pun menyerpih-nyerpih." Keheningan yang sebelumnya mendalam kini tercabik-cabik, mengindikasikan bahwa kedamaian atau ketenangan itu tidak lagi ada. Kehidupan dan eksistensi kita menjadi lebih rapuh, terkoyak oleh perubahan yang datang begitu cepat dan tak terduga.

Kehilangan ini diwakili oleh eksistensi yang "menyerpih-nyerpih," sebuah gambaran yang menggambarkan bagaimana segala sesuatu yang kita anggap sebagai dasar hidup mulai hancur dan terpecah-pecah. Dunia yang kita kenal sebelumnya kini seakan tercerai-berai, dan kita harus menghadapi realitas baru yang terbentang di depan kita.

Perjalanan Menuju Kehilangan dan Pembebasan

Puisi "Kereta Api Terakhir" karya Mochtar Pabottingi adalah sebuah karya yang memukau tentang perjalanan eksistensial menuju perubahan dan kehilangan. Dalam perjalanan ini, kereta menjadi simbol dari transisi, di mana waktu, ruang, dan eksistensi kita dipertanyakan dan diguncang. Keheningan yang tercabik-cabik dan eksistensi yang hancur menggambarkan realitas bahwa perubahan, meskipun menakutkan dan penuh ketidakpastian, adalah bagian dari perjalanan hidup yang tidak bisa dihindari.

Puisi ini menggambarkan bahwa dalam perjalanan hidup, kita akan menghadapi kehilangan, perubahan, dan bahkan kehancuran. Namun, di balik itu semua, ada sebuah pencerahan yang membawa kita untuk melihat dunia ini dengan cara yang lebih jujur dan tanpa penutup. Sebuah perjalanan menuju kebebasan, meskipun datang dengan harga yang mahal: kehilangan konsep-konsep yang kita yakini selama ini.

Melalui bahasa yang intens dan puitis, Pabottingi berhasil membawa kita ke dalam perjalanan yang memaksa kita untuk menghadapi kenyataan yang ada, dan menerima eksistensi kita dalam ketidakpastian dan perubahan yang terus berlangsung.

Mochtar Pabottingi
Puisi: Kereta Api Terakhir
Karya: Mochtar Pabottingi

Biodata Mochtar Pabottingi:
  • Mochtar Pabottingi lahir pada tanggal 17 Juli 1945 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.