Kemerdekaan Saya Bandingkan dengan Perkawinan
Kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan
ada yang berani kawin, lekas berani kawin
ada yang takut kawin. Ada yang berkata:
Ah, saya belum berani kawin
tunggu dulu gaji F 500
Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung
sudah ada permadani
sudah ada lampu listrik,
sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul,
sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset,
sudah mempunyai ini dan itu,
bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet
barulah saya berani kawin
Ada orang lain yang berkata:
Saya sudah berani kawin
kalau saya sudah mempunyai satu meja
kursi empat, “meja makan”
lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur
Ada yang lebih berani dari itu
yaitu saudara-saudara Marhaen!
Kalau dia sudah mempunyai gubuk saja
dengan satu tikar
dengan satu periuk
dia kawin
Marhaen dengan satu tikar, satu gubuk: kawin
Lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur: kawin
Sang nDara yang mempunyai rumah gedung
Electrische kookplaat, tempat tidur,
uang bertimbun-timbun kawin
Belum tentu mana yang lebih gelukkig
belum tentu mana yang lebih bahagia
Sang nDara dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul
atau Sarinem dengan Samiun yang mempunyai
satu tikar satu periuk, saudara-saudara!
Tekad hatinya yang perlu
tekad hatinya Samiun kawin
dengan satu tiker dan satu periuk
dan hati Sang nDara yang baru berani kawin
kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset
plus kinderuitzet – buta 3 tahun lamanya
Sumber: Puisi-Puisi Revolusi Bung Karno (2002)
Catatan:
Buku Puisi-Puisi Revolusi Bung Karno (2002) dihimpun oleh Maman S. Tegeg. Maman merangkai tulisan-tulisan (termasuk pidato) karya Bung Karno (yang dikutip dari berbagai sumber) menjadi bentuk sajak/puisi.
Analisis Puisi:
Puisi "Kemerdekaan Saya Bandingkan dengan Perkawinan" karya Bung Karno menggambarkan bagaimana keberanian dalam meraih kemerdekaan dapat dianalogikan dengan keberanian seseorang dalam menikah. Puisi ini menyoroti bahwa kemerdekaan bukanlah sesuatu yang harus ditunda hanya karena belum ada kondisi yang sempurna, melainkan harus diperjuangkan dengan tekad yang kuat.
Tema Puisi
Puisi ini mengangkat beberapa tema utama, yaitu:
- Kemerdekaan dan Keberanian – Bung Karno mengibaratkan kemerdekaan seperti pernikahan, yang membutuhkan keberanian untuk melangkah tanpa harus menunggu segalanya sempurna.
- Tekad dan Perjuangan – Dalam puisi ini, ia menekankan bahwa kemerdekaan (seperti pernikahan) harus diraih dengan tekad yang kuat, bukan dengan menunggu situasi ideal.
- Perbedaan Kelas Sosial – Bung Karno membandingkan keberanian rakyat kecil (Marhaen) yang berani menikah dengan kondisi sederhana, dengan kaum elite (Sang nDara) yang menunda pernikahan demi kemapanan.
- Relativitas Kebahagiaan – Bahagia tidak selalu datang dari kekayaan atau kemapanan, tetapi dari keberanian mengambil langkah hidup.
Makna Puisi
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kemerdekaan bukanlah sesuatu yang harus ditunggu hingga segala kondisi ideal terpenuhi, tetapi harus diperjuangkan dengan keberanian, seperti halnya pernikahan yang dilakukan dengan tekad, bukan hanya dengan materi.
- Kemerdekaan adalah keberanian untuk bertindak → Tidak seperti Sang nDara yang menunggu segalanya sempurna sebelum menikah, Bung Karno menegaskan bahwa kemerdekaan harus diraih dengan keberanian, seperti rakyat kecil yang menikah meskipun hanya memiliki tikar dan periuk.
- Tidak ada jaminan bahwa kemapanan membawa kebahagiaan → Kebahagiaan tidak hanya bergantung pada kekayaan, tetapi pada keteguhan hati dalam menjalani hidup.
- Sindiran terhadap mereka yang menunda perjuangan → Bung Karno menyindir mereka yang menunggu kondisi ideal sebelum bertindak, baik dalam kemerdekaan maupun dalam kehidupan pribadi.
Makna Tersirat
Di balik makna yang tersurat, puisi ini juga mengandung makna tersirat yang mendalam:
- Kemerdekaan adalah Perjuangan, Bukan Pemberian – Tidak ada negara yang merdeka hanya karena menunggu kondisi yang sempurna. Kemerdekaan harus diperjuangkan dengan segala keterbatasan yang ada.
- Ketimpangan Sosial dalam Masyarakat – Perbedaan antara Sang nDara yang menunggu kemapanan dan Samiun-Sarinem yang berani menikah meski sederhana menggambarkan realitas ketimpangan sosial di Indonesia.
- Kritik terhadap Mentalitas Ketergantungan – Bung Karno mengkritik mereka yang terlalu bergantung pada faktor eksternal (seperti kekayaan atau bantuan luar) sebelum berani mengambil keputusan.
- Ajakan untuk Bertindak dan Tidak Menunda-nunda – Puisi ini mengajak masyarakat untuk tidak menunda perjuangan hanya karena merasa belum siap. Seperti halnya pernikahan yang dapat dijalani dengan sederhana, kemerdekaan pun harus diperjuangkan meskipun dengan segala keterbatasan.
Puisi ini bercerita tentang bagaimana kemerdekaan harus diperjuangkan dengan tekad yang kuat, seperti halnya seseorang yang menikah tanpa menunggu kondisi sempurna.
Bung Karno menggunakan analogi pernikahan untuk menjelaskan bahwa kemerdekaan tidak harus menunggu kesiapan materi, tetapi membutuhkan keberanian untuk bertindak. Ia juga menyoroti bagaimana rakyat kecil memiliki mental baja dalam menjalani hidup, sementara kaum elite sering kali terjebak dalam mentalitas menunda.
Dengan gaya bahasa yang lugas dan penuh semangat, puisi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan dan keberanian adalah kunci dalam mencapai kemerdekaan sejati.
Karya: Bung Karno
Biodata Bung Karno/Ir. Soekarno:
- Ir. Soekarno (EYD: Sukarno) merupakan Presiden Indonesia (1945-1967).
- Ir. Soekarno, sering disapa Bung Karno, lahir pada tanggal 6 Juni 1901 di Soerabaja, Oost Java, Hindia Belanda.
- Ir. Soekarno meninggal dunia karena gangguan ginjal pada tanggal 21 Juni 1970 di Jakarta, Indonesia.