Puisi: Keluarga Hilang (Karya Mansur Samin)

Puisi "Keluarga Hilang" karya Mansur Samin merupakan sebuah kritik sosial terhadap individu yang menyimpang dari norma-norma masyarakat.
Keluarga Hilang

Entah suratan nasib
telah tercipta risalah Japidoli
beranak tunggal Si Parluhutan
berparas tampan mirip pendekar
sijuru suling, pandai menari
jadi banggaan senegeri

Tengah musimnya bulan berpesta
harinya habis di balaidesa
meniup suling ditingkah rebana
jika dara-dara turun ke sawah
tiada aral singgahlah mata
Himbauan suling siapa peniupnya?

Melihat Parluhutan kluyuran seharian
si bunda menasihati:
Tidakkah timbul di hati ananda
mengurus harta milik pusaka
sesekali menyiangi kebun cengkeh kita
sesekali memetik buahnya?

Parluhutan menekur diam
menjentik suling lari keluar

Tika pribumi turun berbondong
sebab musimnya gotongroyong
membendung air telaga sawah
dicari Perluhutan tak tampak lagi
tiba-tiba dari puncak bukit
jeritan suling menyiga langit
mendebar hati

Mupakat siorangtua
mencari jalan bijaksana
agar sianak lebih berharga
baik di kirim ke tanah Mekah
jika pulang mengenal agama
memahami hidup adalah kerja

Di bulan jemaah berangkat haji
diantar si Parluhutan
menuju ke tanah suci:
Semoga sadar suruhan Tuhan

Telah tunai hutang siorangtua
telah pergi sianakmanja
damailah dara-dara sedesa
damailah nasib pusaka
kan datang penyuluh agama
Parluhutan dengan serbannya

Sebuah pagi yang bersih
tibalah Parluhutan
bergelar Haji Saparin

Di tengah ruang tamu berkumpul
atas mupakat pejabat kampung:
Haji Saparin baiklah mengajar
sebuah surau cepat didirikan
tempat sembahyang tempat beramal

Rencana tengah berjalan
entah suatu kealpaan
Haji Saparin seharian bersunyi diri
sering dijumpai di puncak bukit

Setelah berbulan
Haji Saparin menghilang
terbetik kabar
Kluyuran malam

Sedang mencari apa sebabnya
tibalah bencana kedua:
Haji Saparin tak pernah ke Mekah
Serban dibeli di Singapura

Bencana menyusul pula
dari laporan pejabat desa:
Haji Saparin sering bersembunyi
mengocok karu di balai judi

Maka dari mulut ke mulut
tersebar oceh dan kutuk:
Haji Saparin Haji Singapura
kluyuran malam mencari apa?

Sedang pribumi sembahyang magrib
opal berlari mencari polisi:
Di pojok kampung terprogok
Saparin menggocoh gadis

Berhamburan golok dan gada
mencari Saparin dimana-mana
tapi lenyap tak ada bekasnya

Malu segunung menimpa Japidoli
dengan topan amarah
disumpah anak durhaka -
diputus tali keluarga
kutuklah baginya
anak jahanam apa gunanya
biar hilang mengakhiri hidupnya

Merataplah bunda sepanjang malam
mengenang sianakhilang
kemana disembunyikan malu sedesa
anak yang tak tahu diri
anak yang lupa kasih
ke arah mana perginya kini?

Setelah bertahun di suatu pagi
karena seharian mengunci diri
penyakit menimpa Japidoli
dari batuknya mencurat darah
paginya berangkat ke alam baqa

Tersebut sianakhilang
dibawa arus nasib bagian
jadi pendekar desa selatan
penguasa balai judi
ditakuti polisi

Sampai berita ke kuping bunda
ditulis surat:
Ananda lekas bertobat!

Sebelum balasan datang
sang bunda telah berpulang

Sebuah malam musim penghujan
berlotak sianakhilang
tanahtuju kampung halaman
akan menjual harta pusaka
akan jauh pergi mengembara
melupakan segala duka

Sampai di pintu kampung
sebuah kilat belati
merobek perut
tak ampun lagi

Dendam kerabat sedesa
telah bertahun menunggu mangsa
dosa memperkosa
kini belati membayarnya

Di atas kecipak air ke hilir
tubuh sihilang kini terapung
tiada orang menangisi
mayatnya jauh dibawa arus

Demikian risalah keluarga hilang
orang terkaya di Sigalangan
Japidoli perantau pengembara
Japidoli perantauan dari Jawa.

Batangtoru, 1959

Sumber: Horison (Mei, 1971)

Analisis Puisi:

Puisi "Keluarga Hilang" karya Mansur Samin adalah sebuah narasi puitis yang menggambarkan tragedi dalam sebuah keluarga akibat perbuatan seorang anak yang menyimpang dari harapan orang tuanya dan masyarakat. Melalui alur yang dramatik dan penggunaan bahasa yang khas, puisi ini mengisahkan kehidupan Parluhutan yang awalnya menjadi kebanggaan desanya, tetapi kemudian jatuh ke dalam keburukan moral hingga berakhir tragis.

Tema dan Makna Puisi

Puisi ini membawa tema besar tentang kehancuran moral, harapan orang tua, dan dampak sosial dari perbuatan buruk seseorang. Beberapa makna utama yang dapat diambil dari puisi ini antara lain:
  1. Harapan Orang Tua dan Kenyataan Pahit: Parluhutan, sebagai anak tunggal Japidoli, diharapkan menjadi kebanggaan desa. Keahliannya dalam meniup suling dan menari menjadikannya figur yang disegani dan dicintai. Namun, harapan orang tua terhadapnya berubah menjadi kekecewaan ketika ia lebih memilih kehidupan bebas daripada bertanggung jawab atas warisan keluarga.
  2. Pendidikan dan Agama Sebagai Jalan Perbaikan: Untuk mengubah Parluhutan, orang tuanya mengirimnya ke Mekah agar ia belajar agama dan menjadi penyuluh masyarakat. Namun, ternyata ia tidak pernah benar-benar pergi ke Mekah, hanya membeli serban di Singapura, menunjukkan kepalsuan dalam citra religiusnya.
  3. Kemerosotan Moral dan Dosa Sosial: Parluhutan, yang kini bergelar Haji Saparin, justru menjadi tokoh yang menipu masyarakat dengan berpura-pura sebagai penyuluh agama. Ia malah sering ditemukan di tempat perjudian dan akhirnya terbukti melakukan perbuatan asusila. Akibatnya, ia dikucilkan, dihujat, dan bahkan diusir dari desa.
  4. Karma dan Pembalasan Sosial: Setelah bertahun-tahun, Parluhutan kembali ke kampung halaman dengan niat menjual warisan keluarga untuk mengembara lebih jauh. Namun, ia akhirnya tewas dibunuh oleh penduduk desa yang menyimpan dendam atas kejahatannya. Tubuhnya terapung tanpa ada yang menangisi, menandakan bagaimana masyarakat telah benar-benar membuangnya dari ingatan mereka.

Gaya Bahasa dan Struktur Puisi

Puisi ini memiliki gaya bahasa yang khas dengan beberapa ciri menonjol:

Diksi yang Dramatis
  • Penggunaan kata-kata seperti "jeritan suling menyiga langit", "Malu segunung menimpa Japidoli", dan "tubuh sihilang kini terapung" memberikan efek dramatis dan tragis dalam cerita.
Alur yang Naratif
  • Puisi ini lebih menyerupai cerita pendek yang diceritakan dalam bentuk puitis. Alur yang disusun secara kronologis dari masa kecil Parluhutan hingga kematiannya membuatnya terasa seperti sebuah kisah tragis.
Penggunaan Simbol dan Metafora
  • Suling dan tari melambangkan kepolosan dan kegembiraan masa muda.
  • Serban dari Singapura menjadi simbol kemunafikan dan kepalsuan dalam agama.
  • Belati yang merobek perut merupakan simbol dari karma atau pembalasan atas segala perbuatannya.

Pesan Moral dalam Puisi

Puisi "Keluarga Hilang" mengandung banyak pesan moral, di antaranya:
  • Pentingnya kejujuran dan integritas dalam kehidupan.
  • Harta dan status tidak menjamin kebahagiaan jika moralitas diabaikan.
  • Orang yang menipu masyarakat dan agama akan menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.
  • Dosa sosial bisa berujung pada pengucilan dan kehancuran diri sendiri.
Puisi "Keluarga Hilang" karya Mansur Samin merupakan sebuah kritik sosial terhadap individu yang menyimpang dari norma-norma masyarakat. Dengan alur cerita yang kuat, diksi yang puitis, serta pesan moral yang mendalam, puisi ini memberikan gambaran tragis tentang kehancuran moral dan akibat dari tindakan yang tidak bertanggung jawab. Kisah Parluhutan menjadi pengingat bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi, dan bahwa kemunafikan dalam agama serta kehidupan sosial tidak akan bertahan lama sebelum akhirnya terbongkar dan mendatangkan hukuman.

Mansur Samin - Horison
Puisi: Keluarga Hilang
Karya: Mansur Samin

Biodata Mansur Samin:
  • Mansur Samin mempunyai nama lengkap Haji Mansur Samin Siregar;
  • Mansur Samin lahir di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada tanggal 29 April 1930;
  • Mansur Samin meninggal dunia di Jakarta, 31 Mei 2003;
  • Mansur Samin adalah anak keenam dari dua belas bersaudara dari pasangan Haji Muhammad Samin Siregar dan Hajjah Nurhayati Nasution;
  • Mansur Samin adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Dresdenprajurit, bertahanlahsampai jengkal penghabisan!lalu dresden rata dengan tanah        dalam satu malamprajurit, hentam palu angkat batuprajurit, kini rak…
  • Dari Kelahiran kepada Kelahiranuntuk sastrawan-sastrawan Kuangsi(I)Nanning! Kuiling!Dua permata Kuangsimenatahi mahkota kemenangan juang.Perlawanan dimulai di ladang dan sawahkemud…
  • Basteimanusia pun kadangbagai basteirambut makin hilangkepala makin gadangdan lewat liku-liku karang batu kapurmengalirlah elba sisa terakirdihantam hujan dan anginnamun bastei ber…
  • Sahabat dua kali dimamah maut oleh cinta hidup tertambat baru berarti mereguk hidup jika derita duka sahabat. Berlin, April 1959Sumber: Sa…
  • Buchenwaldmereka gali lobangdan mati bersamamulut terkatup diambiar apapun siksamengerang seorang di kamar mautjangan harap dia kianatsebab di jantung internasionale mendegupwalau …
  • Kongressudah lama kita tak bertemusekali bertemu melepas rindubagi rakyat tercintasudah lama kita tak bersuasekali bersua bedah deritabagi rakyat tercintasudah lama kita bersatusek…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.