Puisi: Kamar 1105 (Karya Joko Pinurbo)

Puisi "Kamar 1105" karya Joko Pinurbo menawarkan refleksi mendalam tentang kehidupan, kematian, dan proses kreatif yang tidak selalu berjalan mulus.
Kamar 1105

Pada akhir pekan saya menyepi di sebuah hotel tua
di pinggiran kota. Petugas hotel mengantar saya
ke kamar nomor 1105. "Sudah lama kamar ini
tidak dihuni. Tak ada yang berani menginap di sini."

Kamar itu lumayan besar, dilengkapi empat
meja bundar. Saya bersiap lembur,
menunaikan kerja menggambar.

Di meja-1 jokpin-1 menyulut sebatang rokok,
melamun sebentar, kemudian mulai menggambar
mobil jenazah. Supaya tidak tampak seram,
mobil jenazah itu diberi warna biru langit
dan dikasih tulisan "Mati untuk Hidup Abadi".

Di meja-2 jokpin-2 sibuk menggambar sopir
mobil jenazah sambil dengan khidmat
menyedot rokok. Sopir mobil jenazah itu berusia
sekitar 55 tahun, kulitnya hitam manis, berkopiah,
berbaju batik, dan bersepatu sendal. Ia sopir
yang lugu dan sopan. Ia punya cara khas
untuk menghormat jenazah yang diantar masuk
ke dalam mobilnya: membungkuk, terpejam,
menempelkan telapak tangan kanan ke dada.

Di meja-3 jokpin-3 suntuk menggambar peti jenazah
sambil sesekali mempermainkan asap rokok.
Peti jenazah bikinannya sederhana saja,
tanpa ukiran dan hiasan. Ia tidak ingin
peti jenazah itu tampak lebih mewah
dari jenazah yang akan ditidurkan di dalamnya.

Di meja-4 jokpin-4 bertugas menggambar jenazah.
Ia tampak sangat gelisah sampai-sampai tanpa sadar
dimatikannya rokok yang baru separuh dihisapnya.
Berkali-kali ia membuat sketsa, tak ada satu pun
yang jadi. Ia ingin jenazah buatannya terlihat
tenang dan riang seperti orang habis mandi.
Lebih bagus lagi jika jenazah itu terbaring
damai sambil mendekap sebuah buku puisi.

Menjelang dinihari saya dikagetkan suara
kecipak air di kamar mandi. Dengan waspada
saya buka pintu kamar mandi. Kulihat jokpin kecil
sedang mandiri (mandi sendiri) sambil bermain
telepon genggam. Telepon genggam mainan.

Jokpin-1, jokpin-2, dan jokpin-3 tertidur di kursi,
sementara jokpin-4 masih terlihat bingung
dan pusing, jidatnya seperti puisi setengah jadi.

Pagi-pagi petugas hotel mengetuk pintu,
memberitahukan ada seorang tamu berkopiah,
berbaju batik, bersepatu sendal menunggu saya
di lobi. "Dia bilang mobil jenazahnya sudah siap."

Jokpin-4 bangkit berdiri: "Katakan kepada sopir
mobil jenazah itu bahwa jenazahnya belum jadi.
Tolong persilakan dia pergi."

Suatu malam saya diundang pesta puisi
di balai kota. Di halaman gedung pertunjukan
saya melihat mobil jenazah berwarna biru langit
terparkir di antara mobil-mobil lain yang tentu saja
bukan mobil jenazah namun bila diamati
dengan mata ketiga sebenarnya mirip
mobil jenazah juga. Sopir mobil jenazah
tahu-tahu sudah berdiri di hadapan saya.

Dengan hormat ia membungkuk, terpejam
sambil menempelkan telapak tangan kanan di dada.
Saya tarik lengannya: "Hai, aku masih hidup, tahu?"
Ia cuma tersenyum: "Maaf, tuan, maaf, tuan."

Di lorong remang menuju kamar mandi
saya dihadang seorang wartawan: "Seperti apa
rasanya menulis puisi?" Saya teringat jokpin-4
yang menggambar jenazah tak jadi-jadi.

Saat saya menunggu taksi untuk pulang,
sopir mobil jenazah mendekati saya lagi.
"Taksinya mogok. Mari ikut mobil saya saja."
Dengan halus saya menolak tawarannya
dan mempersilakannya pergi. Saya tak ingin
melihat mobil jenazahnya lagi. Biarlah
saya dengar jerit sirenenya saja di malam sunyi.

Puisi ini belum jadi mesti diakhiri sebab saya
harus segera menerima telepon dari sopir
mobil jenazah itu. Ia mengabarkan dirinya
baru saja dapat lotere. Nomornya tembus.

"Memang kamu pasang nomor berapa?" tanya saya.
Dari seberang ia menjawab riang, "Nomor 1105."

2010

Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016)

Analisis Puisi:

Puisi "Kamar 1105" karya Joko Pinurbo menampilkan gambaran suram namun penuh ironi dan humor tentang pengalaman seseorang yang menginap di sebuah hotel tua, kamar yang sepi, dan berurusan dengan bayangan kematian yang sepertinya tak pernah lepas dari hidupnya. Melalui puisi ini, Joko Pinurbo mengajak pembaca untuk merenung tentang eksistensi, kematian, dan kreativitas, dengan menggunakan simbol-simbol yang memadukan dunia nyata dan dunia simbolis. Penyair mengolaborasikan gambar-gambar jenazah, mobil jenazah, dan peti jenazah dengan suasana yang agak absurd namun penuh makna tersirat tentang hidup dan mati.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kematian, eksistensi, dan proses kreatif dalam menulis. Puisi ini bercerita tentang pengalaman seorang penyair yang menyepi di sebuah hotel tua dan mulai menggambar mobil jenazah dan elemen-elemen terkait dengan kematian. Namun, melalui gambaran yang absurd ini, puisi ini juga menyampaikan bahwa kehidupan terus berlanjut meski kita berada dalam bayang-bayang kematian. Penyair juga mencerminkan ketegangan antara kehidupan dan kematian, serta bagaimana proses penciptaan—baik itu dalam seni ataupun kehidupan—sering kali terhambat oleh ketidakpastian dan kebingungan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini mengungkapkan sebuah keterasingan dalam kehidupan yang seringkali tidak pasti, ditandai dengan banyaknya simbol-simbol kematian yang hadir dalam proses kreatif sang penyair. Kamar 1105 sendiri bisa menjadi simbol dari ruang terbatas tempat orang merenung tentang hidup dan mati. Ketika penyair menciptakan gambar-gambar tentang jenazah, mobil jenazah, dan peti jenazah, ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menyambut kematian dengan cara yang lebih santai dan penuh humor, atau mungkin mencoba menghadapinya dengan cara yang lebih bersahaja. Kegelisahan dan kebingungan yang dialami oleh "jokpin-4", sang karakter yang menggambar jenazah, menjadi metafora dari ketidakpastian dalam penciptaan dan pencarian makna hidup itu sendiri.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman seorang penyair yang menyepi di sebuah hotel tua untuk bekerja, menggambar, dan berkreativitas. Namun, kamar yang dia pilih—kamar 1105—ternyata membawa nuansa yang aneh dan penuh dengan simbol kematian. Penyair menggambarkan beberapa sosok yang bekerja di meja berbeda, masing-masing mengerjakan bagian yang berhubungan dengan kematian, mulai dari gambar mobil jenazah, sopir mobil jenazah, hingga jenazah itu sendiri. Keempat meja ini diwakili oleh karakter yang disebut sebagai "jokpin", yang masing-masing memiliki peran yang berbeda dalam menggambarkan kematian, tetapi tetap terhubung oleh proses penciptaan yang belum selesai atau belum mencapai kesempurnaan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa gelap, suram, namun ada juga sentuhan humor yang absurd. Walaupun tema yang diangkat berkisar pada kematian, puisi ini tidak terasa serius sepenuhnya. Penyair memberikan gambaran kamar yang sunyi, petugas hotel yang misterius, dan keheningan di dalam kamar yang mempertegas suasana hampa dan terkadang membingungkan. Namun, ada juga ironi yang tercipta, terutama pada bagian-bagian yang menggambarkan sosok-sosok yang berhubungan dengan jenazah. Dalam puisi ini, kematian tidak hanya digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan, tetapi juga bisa menjadi objek kreativitas yang penuh kebingungannya sendiri.

Imaji

Puisi ini menggunakan beberapa imaji yang kuat untuk membangun suasana dan menggambarkan tema kematian dan proses penciptaan. Beberapa imaji yang muncul antara lain:
  • Imaji hotel tua: "Pada akhir pekan saya menyepi di sebuah hotel tua di pinggiran kota."—Ini menciptakan gambaran tempat yang suram dan terisolasi, mengatur nada untuk perenungan yang lebih dalam.
  • Imaji meja dan gambar-gambar jenazah: "Saya bersiap lembur, menunaikan kerja menggambar."—Gambar-gambar yang diciptakan, mulai dari mobil jenazah, sopir jenazah, hingga jenazah itu sendiri, menekankan pada tema kematian dan bagaimana setiap elemen ini dikerjakan dengan detail meskipun masih terhenti atau belum selesai.
  • Imaji kecipak air di kamar mandi: "Menjelang dinihari saya dikagetkan suara kecipak air di kamar mandi."—Imaji ini memberi kesan bahwa meskipun dalam suasana sunyi, kehidupan tetap berlanjut. Kecipak air ini juga bisa menandakan bahwa sesuatu yang lebih kecil dan sepele pun memiliki dampak dalam hidup, begitu juga dengan penciptaan yang terus berlanjut meskipun ada hambatan.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperkaya makna dan pengalaman pembaca:
  • Ironi: Puisi ini penuh dengan ironi, salah satunya adalah penggambaran seorang sopir mobil jenazah yang secara tidak langsung menunjukkan sikap melayani dengan penuh penghormatan, meskipun ia berurusan dengan kematian. Keberadaan sopir yang terus muncul dalam puisi juga menambah kesan bahwa kematian adalah bagian dari rutinitas kehidupan.
  • Metafora: "Saya teringat jokpin-4 yang menggambar jenazah tak jadi-jadi."—Menggambarkan bahwa proses penciptaan (dalam hal ini, menggambar jenazah) kadang tidak pernah selesai, seperti halnya dengan pencarian makna dalam kehidupan yang tak pernah benar-benar bisa diselesaikan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini memberikan pesan tentang ketidakpastian dalam hidup dan kematian. Proses penciptaan seni, seperti halnya dalam puisi ini, penuh dengan kegelisahan dan kebingungan, bahkan dalam menggambar sesuatu yang seharusnya final seperti kematian. Dengan cara yang lebih santai dan humoris, Joko Pinurbo menunjukkan bahwa kematian tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan bisa dihadapi dengan cara yang lebih ringan. Penyair juga mengajak pembaca untuk merenung tentang kehidupan dan proses penciptaan yang tidak selalu harus tuntas atau selesai, karena di dalam kekosongan atau ketidakpastian itulah proses itu berlangsung.

Puisi "Kamar 1105" karya Joko Pinurbo menawarkan refleksi mendalam tentang kehidupan, kematian, dan proses kreatif yang tidak selalu berjalan mulus. Melalui gambaran suram dan absurd tentang jenazah, mobil jenazah, dan peti jenazah, puisi ini mengajak pembaca untuk melihat kematian dengan cara yang lebih ringan dan menyadari bahwa proses penciptaan itu sendiri penuh dengan kegelisahan dan ketidakpastian. Melalui humor dan ironi, penyair memperlihatkan bahwa kehidupan tetap berlangsung meski kita sering terjebak dalam pertanyaan dan kegelisahan tentang makna dan akhir dari semuanya.

Puisi Kamar 1105
Puisi: Kamar 1105
Karya: Joko Pinurbo

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.