Sketsa:
Jakarta Juli 1966
— hallo, saudara, ini sudah jam berapa mau kemana
mimpi kecil orang pedalaman, tersentak
terbunuh di pinggir jalanan, di sini, jakarta
suara menyergap entah dari mana saja, selaksa pengeras suara
suara yang tanpa suara, suara yang dipadatkan dalam sorot-mata
di sini, udara yang bermuatan poster-poster berwarna
yang tanpa warna
debu yang menguap dari slogan-slogan
selaksa slogan yang bermula dan berakhir pada debu
nyanyi kecil orang pedalaman, terjerat
terlindas di bawah roda-roda; menjeritlah, wahai, Ketentraman
bagai puntung rokok di bawah sepatu tua
anak-anak dalam truk-truk terbuka
turun dari matahari
setiap jengkal pinggir senayan tentara menyiapkan senjata
seorang wanita tua menyeka keringat di dahinya
memimpikan bus-kota
— hallo, ini jam berapa saudara mencari apa
kemudian tembok-tembok yang kotor, tulisan-tulisan tangan
di sebelah sana beton-beton bertulang, monumen-monumen dan menara-menara
cakar-cakar yang akan menaklukan kerendah-hatian manusia
matahari mengeras di atas kepala
berjuta mata lapar berkedip-kedip di balik kaca-mata
barangkali memang kehendak yang tak-putusnya tertunda
menjelma nyanyian sepanjang jalan, melambungkan kepalan-kepalan tangan
di sini, jakarta yang tak pernah mengejapkan matanya
letih dalam mainan ajaib suara, warna dan cahaya
dan berkabunglah duapuluh lima orang nabi, berjalan tunduk di jalanan
menghantarkan bangkai yang membusuk, yang tertembak kemarin siang
yang bernama Kebenaran
— hallo, ini sudah jam berapa saudara mau apa
di sini ada yang saling membidikkan senjata
agak ke sana orang-orang sedang berdansa
kemudian berjuta tangan yang melambai sepanjang jalan raya
lalu moncong-moncong pestol; dan semakin keras juga tercium
bau keringat abang beca
mimpi kecil orang pedalaman, terbunuh
bangkai yang berbau busuk kiranya
dihantarkan para nabi, perjalanan tanpa mula
tanpa berhenti
di sini, jakarta, semakin kelabu pula rambutnya
yang berjuntai dari selaksa menara, yang sudah dibangunkan
sedang dibangunkan, akan dibangunkan
yang terseret di kampung-kampung, dan menjerat
anak-anaknya sendiri yang paling setia
Analisis Puisi:
Puisi "Jakarta Juli 1966" karya Sapardi Djoko Damono merupakan sebuah karya sastra yang menggambarkan suasana Jakarta pada masa itu, dengan latar belakang peristiwa sejarah yang mengguncang. Puisi ini tidak hanya menjadi dokumentasi visual atas keadaan Jakarta pada bulan Juli tahun 1966, tetapi juga mengandung pesan-pesan yang mendalam tentang kehidupan, kekerasan, dan kehilangan.
Latar Belakang Sejarah
Puisi ini ditulis pada masa puncak ketegangan politik dan sosial di Indonesia, terutama setelah peristiwa G30S/PKI yang berujung pada peristiwa sejarah penting seperti Gerakan 1 Oktober dan pengambilalihan kekuasaan oleh Jenderal Soeharto. "Jakarta Juli 1966" merekam suasana kota Jakarta yang dipenuhi dengan ketegangan, kekerasan, dan perasaan kehilangan.
Gambaran Visual dan Atmosfer
Sapardi menggunakan bahasa yang kuat dan gambaran yang tajam untuk menggambarkan situasi di Jakarta saat itu. Dia menyoroti penggunaan poster-poster berwarna yang "tanpa warna" dan debu dari slogan-slogan politik yang bertebaran di udara, menciptakan suasana kota yang berubah menjadi medan konflik dan kebingungan.
Kritik Sosial dan Politik
Puisi ini tidak hanya sekadar deskripsi fisik kota, tetapi juga menyelipkan kritik sosial terhadap keadaan politik saat itu. Sapardi menunjukkan bagaimana kehidupan sehari-hari warga Jakarta tercermin dalam kekacauan politik yang melingkupi mereka, dengan gambaran anak-anak yang bermain di truk-truk terbuka sementara tentara bersiap-siap dengan senjata.
Simbolisme dan Metafora
Dalam puisi ini, terdapat penggunaan simbolisme yang kuat, seperti matahari yang "mengeras di atas kepala" yang mungkin melambangkan tekanan dan kepanikan yang dirasakan oleh penduduk Jakarta saat itu. Selain itu, monumen-monumen dan menara-menara yang "akan dibangunkan" dapat diinterpretasikan sebagai simbol ambisi dan kekuasaan yang terus tumbuh di tengah ketidakpastian.
Emosi dan Kesaksian Personal
Meskipun puisi ini mencakup gambaran yang luas tentang Jakarta pada masa itu, ia juga menyelipkan emosi personal dan kesaksian tentang kehidupan sehari-hari. Melalui penuturan tentang mimpi kecil orang pedalaman yang terbunuh dan bangkai yang membusuk, Sapardi menghadirkan gambaran tentang kehidupan yang hancur dan kehilangan yang mendalam.
Puisi "Jakarta Juli 1966" karya Sapardi Djoko Damono adalah sebuah karya sastra yang tidak hanya menggambarkan sebuah masa dan tempat, tetapi juga menjadi cerminan yang menggugah tentang ketegangan politik, kehidupan sehari-hari, dan refleksi kehilangan. Dengan bahasa yang padat dan gambaran yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kompleksitas dan tragedi di balik sejarah yang pernah terjadi.
Karya: Sapardi Djoko Damono
Biodata Sapardi Djoko Damono:
- Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
- Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.