Hikayat Ramadhan
Setiap senja merah menjelang
suara langit berbilang bilang
Rapal doa mengangkasa
jiwaku sedang berpuasa
Ini bukan sebuah metafora
tentang musafir berteman lara
Aku bersijingkat meniti sirat
dari api yang menjilat
Kutatap kaki langit di deru kota
bulan pun belum menjelma jadi kata
Aku bertanya pada kitab
mampukah aku menyusun hisab
Keadilan serupa sabda panglima
Sedang riwayat penuh luka
Ketika takdir terasa getir
perih berpaling dari hilir
Biarlah biar ombak air mata
mencuci luka bersama mantra
Aku berbisik di telinga Ramadhan
sampaikah harum surga di haribaan
Duhai, hidup alangkah panjang
setiap lembar kuhitung ulang
Sedang ciumku tak pernah lekat
di kitab syair darwis penuh makrifat
Tuhanku, sampaikan aku
pada sungai madu
Nafasku bersimbah keluh
Pada Ramadhan penuh
2015
Analisis Puisi:
Puisi "Hikayat Ramadhan" karya Weni Suryandari menggambarkan perjalanan spiritual dan kesadaran akan kehadiran bulan suci Ramadhan.
Ritme Senja dan Suara Langit: Puisi dimulai dengan deskripsi senja yang merah menjelang dan suara langit yang berbilang. Ritme senja menciptakan atmosfer yang tenang dan religius, sementara suara langit memberikan nuansa spiritual.
Puasa Sebagai Pengalaman Spiritual: Sentuhan spiritual dalam puisi ditekankan dengan menyatakan bahwa jiwa sedang berpuasa. Hal ini menggarisbawahi Ramadhan sebagai waktu untuk memperdalam hubungan dengan Tuhan.
Musafir Berteman Lara: Metafora "musafir berteman lara" menyiratkan bahwa perjalanan spiritual dalam Ramadhan tidak selalu mudah. Ada luka dan tantangan yang perlu dihadapi oleh musafir spiritual.
Sirat dan Api yang Menjilat: Penggunaan istilah "meniti sirat" dan "dari api yang menjilat" bisa diartikan sebagai perjalanan melalui kehidupan dan ujian yang harus dihadapi. Sirat sebagai simbol kebenaran dan api sebagai ujian.
Kaki Langit dan Bulan yang Belum Menjelma: Imaji "kaki langit di deru kota" dan "bulan pun belum menjelma jadi kata" menggambarkan atmosfer kota yang sibuk dan ketenangan Ramadhan yang masih harus diwujudkan.
Pertanyaan pada Kitab dan Hisab: Penyair mengajukan pertanyaan tentang kemampuannya dalam menyusun hisab dan memahami keadilan. Ini mencerminkan keinginan untuk menggali makna dan hikmah dari Ramadhan.
Ombak Air Mata dan Harum Surga: Metafora "ombak air mata" yang mencuci luka bersama mantra dan harum surga di haribaan menggambarkan proses pembersihan dan keharuman spiritual selama Ramadhan.
Panggilan pada Tuhanku: Ungkapan "Duhai, hidup alangkah panjang" menyiratkan panggilan pada Tuhan, dan keinginan untuk mencapai surga dan mendapatkan hidup yang lebih bermakna.
Kisah Darwis Penuh Makrifat: Merujuk pada kitab syair darwis penuh makrifat, puisi menciptakan hubungan dengan tradisi keagamaan dan kebijaksanaan spiritual.
Puisi "Hikayat Ramadhan" adalah sebuah puisi yang memadukan elemen spiritual, keindahan alam, dan perenungan atas kehidupan. Dengan gaya bahasa yang puitis, penyair Weni Suryandari berhasil menyampaikan pengalaman dan harapan dalam menjalani bulan suci Ramadhan.
Karya: Weni Suryandari
Biodata Weni Suryandari:
- Weni Suryandari lahir pada tanggal 4 Februari 1966 di Surabaya, Indonesia.