Harimau
aku pernah menyaksikan
banyak orang mendirikan kandang
untuk memelihara harimau
yang mereka hidupkan dari ketakutan
sehingga harimau itu pun
beranak-pinak
di dalam tempurung kepalanya
tapi aku
ogah
memelihara
aku telah membakarnya
dulu
waktu aku bosan
dan tak mau lagi
ditakut-takuti
karena geli
dan hari ini
aku semakin geli
melihat orang-orang kebingungan
karena harimau itu
tak mampu mengaum lagi
mungkin karena capek
sebagai gantinya
di mana-mana
sekarang aku mendengar semakin banyak
suara tawa
tapi
penguasa
risi rupanya
karena itu orang yang berani tertawa
diancam dengan undang-undang subversi
dan hukuman mati
tapi
meskipun para terdakwa
sudah dimasukkan bui
dan diadili
suara tawa itu tak kunjung berhenti
meskipun surat kabar radio dan televisi
telah menyiarkan ke seluruh sudut negeri
bahwa tertawa terbahak-bahak
itu liberal
bertentangan dengan budaya nasional
dan merongrong stabilitas negara
karena itu
orang yang berbicara
tertawa
berpendapat
dan berserikat
harus mencantumkan apa azasnya
kalau nekat
tembak di tempat
sekarang
hanya hakimlah yang kelihatannya tak berpura-pura
karena kalau ia ikutan tertawa
akan punahlah harimau
yang tinggal satu-satunya
karena itu
harus ada yang didakwa
dan dipersalahkan
agar tuntutan jaksa
nampak serius
dan tak menggelikan
sebab
kalau seluruh rakyat tertawa
dan buruh-buruh mogok kerja apa jadinya?
27 Januari 1997
Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)
Analisis Puisi:
Puisi "Harimau" karya Wiji Thukul mengusung tema tentang ketakutan, represi politik, dan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan otoriter. Melalui simbol harimau, puisi ini membahas bagaimana penguasa membentuk rasa takut di tengah rakyat, menjadikannya alat kontrol. Namun, pada titik tertentu, rakyat mulai melawan ketakutan itu dengan tertawa, simbol keberanian melawan represi.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik tajam terhadap pemerintahan represif yang menggunakan ketakutan sebagai alat kekuasaan. Harimau yang mewakili ketakutan buatan itu, diciptakan dan dipelihara agar rakyat tunduk. Namun, Wiji Thukul ingin menunjukkan bahwa ketakutan tidak akan abadi jika rakyat sadar bahwa mereka berhak melawan.
Tawa dalam puisi ini adalah simbol perlawanan kreatif, cara rakyat meruntuhkan ketakutan dengan mengolok-olok kekuasaan. Tawa yang semakin nyaring menjadi bukti bahwa rakyat mulai lepas dari cengkeraman harimau yang sengaja dipelihara penguasa.
Puisi ini bercerita tentang bagaimana penguasa menciptakan ketakutan kolektif di tengah rakyat melalui simbol "harimau", lalu bagaimana ketakutan itu runtuh ketika rakyat menemukan keberanian untuk menertawakannya.
Ketika harimau (simbol ketakutan) tak lagi berfungsi, penguasa justru menjadi panik, sebab tertawa menjadi bentuk baru dari pemberontakan. Rakyat yang berani tertawa dianggap subversif, diancam dengan hukuman mati, hingga dikriminalisasi dengan alasan merongrong stabilitas negara.
Puisi ini juga menceritakan betapa absurdnya situasi politik ketika penguasa takut terhadap tawa rakyat lebih daripada ancaman nyata lainnya.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa satir, getir, sekaligus jenaka. Ada kegelisahan yang dibalut humor hitam — cermin bagaimana Wiji Thukul kerap menggunakan sarkasme untuk mengkritik rezim yang menindas rakyatnya sendiri. Di balik lelucon dan tawa, tersimpan luka panjang dari represi politik.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan utama puisi ini adalah bahwa ketakutan hanyalah konstruksi yang bisa dirobohkan jika rakyat bersatu dan berani melawan. Tertawa menjadi simbol bahwa rakyat tak lagi tunduk, tak lagi mau dicekoki propaganda ketakutan yang dibangun penguasa.
Puisi ini juga mengajarkan bahwa perlawanan tidak melulu harus melalui kekerasan, tetapi bisa melalui cara-cara kreatif, seperti menertawakan absurditas kekuasaan. Di tangan rakyat yang sadar, tawa pun bisa menjadi senjata.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji sosial dan politik, misalnya:
- “mendirikan kandang untuk memelihara harimau” — menghadirkan imaji ketakutan yang dipelihara oleh penguasa.
- “harimau itu tak mampu mengaum lagi” — menciptakan imaji harimau yang melemah, mewakili ketakutan yang perlahan runtuh.
- “tertawa terbahak-bahak itu liberal” — menciptakan imaji absurditas, di mana tawa dianggap ancaman bagi negara.
- “tembak di tempat” — imaji kekerasan langsung yang mencerminkan betapa represifnya penguasa.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini meliputi:
- Metafora: Harimau sebagai simbol ketakutan kolektif yang diciptakan penguasa. Tawa sebagai simbol kesadaran dan perlawanan rakyat.
- Hiperbola: “tertawa terbahak-bahak itu liberal dan merongrong stabilitas negara” — bentuk hiperbola yang mengolok cara berpikir penguasa yang menganggap hal sepele sebagai ancaman besar.
- Ironi: Penguasa yang menciptakan ketakutan, justru takut pada rakyat yang tertawa.
- Sarkasme: Sepanjang puisi, Wiji Thukul menggunakan nada sarkastik untuk menyindir kekuasaan yang lebay dan paranoid.
Puisi "Harimau" karya Wiji Thukul adalah potret getir tentang hubungan antara penguasa dan rakyat di masa rezim otoriter. Melalui simbol harimau, tawa, dan ancaman subversi, Wiji Thukul menyampaikan bahwa ketakutan hanya efektif jika rakyat diam dan tunduk. Namun ketika rakyat berani menertawakan ketakutan itu, kekuasaan yang represif akan goyah.
Wiji Thukul mengingatkan bahwa tertawa dan bersuara adalah bentuk perlawanan paling sederhana, tetapi bisa sangat efektif melawan ketidakadilan. Pesan ini tetap relevan hingga hari ini, di mana kebebasan berpendapat masih kerap dibungkam atas nama stabilitas dan keamanan negara.
Karya: Wiji Thukul
Biodata Wiji Thukul:
- Wiji Thukul lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Agustus 1963.
- Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo.
- Wiji Thukul menghilang sejak tahun 1998 dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer).