Puisi: Elegi Tanah Airku (Karya Aspar Paturusi)

Puisi "Elegi Tanah Airku" karya Aspar Paturusi adalah refleksi dan kritik tajam terhadap kondisi sosial-politik Indonesia yang dipenuhi kekerasan ...
Elegi Tanah Airku

Indonesia tanah tumpah darahku,
jangan lagi menangis
apalagi mata air airmatamu sudah kering
Indonesia kebangsaanku, berhentilah terkaget-kaget
menyaksikan anak-anak bangsamu cakar-cakaran
saling jegal, saling tuding, saling fitnah
saling menumpahkan darah

Asap dan bau amis memenuhi angkasa nusantara
bahasa kekerasan adalah bahasa sehari-hari
sangat mudah diucapkan dan diteriakkan
sangat mudah dipahami
huruf-hurufnya sangat jelas
orang buta pun mampu membacanya

Cakar, tuding, fitnah, culik, tembak
sudah mencemari kamus budaya bangsa
arif, bijak, adil, jujur
tak lagi jadi sendi moral bangsa
laut pun kehilangan ombak
langit kehilangan cahaya
burung-burung tak kuasa mengepakkan sayap
sepertinya harapan dan cita-cita
hampir tercabik-cabik dan nyaris sekarat

Indonesia tumpah darahku
terimalah tumpahan darah anak-anakmu
mereka belum sempat berbuat lebih banyak
serta menghirup kesegaran udara tanah air
mereka terpaksa tersungkur mencium bumi pertiwi
terlandas kampak-kampak kekerasan
pohon pun bertumbangan
kebun-kebun semakin tandus
lumpur, tanah dan air bergumpalan di mana-mana
sepertinya takut cemas, curiga, putus asa
kian menghunjam lebih tajam
melengkapi kegelapan kota-kota mati

Indonesia, tanah airku
betapapun aku akan kembali ke tanahmu
airmu akan tetap membasahi dahagaku
namun kepada siapa sesungguhnya
kami memaklumatkan perlawanan habis-habisan
untuk menyatakan bahwa dalam diri kami
masih ada yang namanya cinta
kehendak untuk tetap merdeka dan teguh bersatu
biarkan pula burung-burung merapikan sarangnya
ikan-ikan menjilat lumut-lumut karang
langit menyibakkan mendung awannya
matahari tak henti memancarkan cahaya kehidupan
dan lagu Indonesia tanah airku
tetap berkumandang di angkasa
dan masih sanggup menggidikkan bulu roma

Jakarta, 1999

Analisis Puisi:

Tema utama dalam puisi "Elegi Tanah Airku" adalah kesedihan dan keprihatinan mendalam terhadap kondisi bangsa Indonesia. Puisi ini menyoroti kekerasan, konflik antar anak bangsa, serta lunturnya nilai-nilai luhur dan moral yang dulu dijunjung tinggi sebagai karakter bangsa.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik sosial dan refleksi terhadap kondisi carut-marut Indonesia yang dipenuhi konflik, kekerasan, dan perebutan kekuasaan. Penyair ingin menyampaikan bahwa Indonesia sebagai tanah air yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan dibanggakan, justru menjadi panggung kekerasan yang menyedihkan.

Puisi ini juga mengajak pembaca merenungi arti cinta tanah air yang sesungguhnya, yaitu tetap mencintai tanah kelahiran di tengah segala kekacauan yang melanda.

Puisi ini bercerita tentang Indonesia yang sedang dirundung kesedihan mendalam akibat perpecahan antar anak bangsa. Kekerasan, fitnah, saling jegal, dan saling tuding menjadi bahasa sehari-hari, menggantikan kearifan, kejujuran, dan keadilan yang dulu dijunjung tinggi.

Penyair menggambarkan bagaimana asap dan bau amis darah memenuhi udara nusantara, menciptakan suasana mencekam dan penuh ketakutan. Alam pun ikut murung—laut kehilangan ombak, langit kehilangan cahaya, burung-burung tak sanggup terbang. Semua simbol alam tersebut memperkuat betapa nusantara sedang berada di titik nadir krisis moral dan kemanusiaan.

Namun, di akhir puisi, Aspar Paturusi tetap menyisipkan harapan dan tekad untuk bertahan. Meski situasi kelam, ia yakin bahwa di hati anak bangsa masih ada cinta dan semangat menjaga persatuan dan kemerdekaan, sebagai warisan luhur para pendiri bangsa.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat muram, tragis, penuh keprihatinan, dan sarat kesedihan. Namun di balik suasana kelam tersebut, terselip pula suasana harapan bahwa Indonesia masih memiliki potensi untuk bangkit dan kembali kepada jati diri sebagai bangsa yang beradab dan bersatu.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Melalui puisi ini, Aspar Paturusi menyampaikan pesan bahwa Indonesia adalah rumah yang harus dijaga bersama. Kekerasan, fitnah, dan perpecahan hanya akan membawa kehancuran bagi bangsa sendiri. Penyair mengajak setiap anak bangsa untuk kembali pada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kearifan, dan cinta tanah air, karena tanpa itu semua, Indonesia hanya akan menjadi negeri yang penuh duka dan luka.

Puisi ini juga menegaskan bahwa cinta tanah air bukan sekadar slogan, tetapi harus terwujud dalam sikap dan tindakan nyata yang menjaga persatuan dan kemanusiaan.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang membangkitkan visual dan suasana yang kuat:
  • Imaji penglihatan: asap, bau amis darah, pohon bertumbangan, langit kehilangan cahaya.
  • Imaji pendengaran: teriakan fitnah, bahasa kekerasan yang diteriakkan.
  • Imaji penciuman: bau amis darah.
  • Imaji perasaan: cemas, curiga, putus asa.
Semua imaji ini membentuk gambaran betapa suram dan mencekamnya kondisi Indonesia dalam puisi ini.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: "bahasa kekerasan" sebagai simbol budaya kekerasan yang mengakar.
  • Personifikasi: "laut kehilangan ombak," "langit kehilangan cahaya," "burung-burung tak kuasa mengepakkan sayap"—semua memberikan sifat manusiawi pada alam.
  • Hiperbola: "mata air airmatamu sudah kering" sebagai penggambaran kesedihan mendalam.
  • Ironi: Indonesia disebut tanah airku, tapi justru dipenuhi darah dan kebencian antar anak bangsa.
  • Repetisi: pengulangan kata “Indonesia” menegaskan bahwa puisi ini adalah jeritan cinta sekaligus keprihatinan terhadap tanah air.
Puisi "Elegi Tanah Airku" karya Aspar Paturusi adalah refleksi dan kritik tajam terhadap kondisi sosial-politik Indonesia yang dipenuhi kekerasan dan hilangnya moralitas. Namun, di tengah kepedihan tersebut, puisi ini tetap menanamkan optimisme bahwa di dada anak bangsa masih tersisa cinta dan harapan untuk menjaga persatuan dan masa depan Indonesia.

Dengan gaya bahasa yang lugas dan penuh simbol, puisi ini menggugah kesadaran pembaca untuk tidak tinggal diam melihat kerusakan negeri, melainkan turut serta menjaga cinta dan kehormatan bagi tanah air tercinta.

Aspar Paturusi
Puisi: Elegi Tanah Airku
Karya: Aspar Paturusi

Biodata Aspar Paturusi:
  • Nama asli Aspar Paturusi adalah Andi Sopyan Paturusi.
  • Aspar Paturusi lahir pada tanggal 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.