Puisi: Dzikir Anak Laut (Karya Deny Pasla)

Puisi "Dzikir Anak Laut" bukan sekadar ungkapan estetika, tetapi juga mengandung pesan mendalam tentang hubungan manusia dengan alam dan Tuhan.
Dzikir Anak Laut

Aku dengar semalam suntuk derumu yang pilu menyeru anak laut berdzikir
Kepada daratan, kota-kota di dunia karena mereka tak pernah tidur dan lupa
Tak ubahnya seperti balita terperdaya oleh boneka
Ternyata laut juga punya kuasa

Aku dengar dari lantai empat ratus delapan puluh dua
Kau berteriak pada malam yang tak pernah dijamu kepasrahan tajajud kota-kota yang angkuh
Sepuh sehingga pagi harus menanggung beban gelombang itu pun teramat santun

Aku dengar daratan kota-kota pagi itu tiba berdzikir
Anak-anak laut berteriak menjemput kematian dalam sujud mereka yang panjang
Menghempang maut dan terseret di pintu-pintu terbuka rahim ibu mereka di daratan
Yang pongah itu tak sanggup menghalangi langkah gaib tsunami kematian sebegitu dekat
Dengan nafas magma larva hitam
Tak ada jalan lain dari kematian yang menyeringai doa-doa
Kehilangan mukjizatnya
Takdir harus dipercaya hari itu karena telah mengunci setiap jiwa
Aroma kematian semakin mesra mendekapnya

Aku melihatmu ketika itu perahu berada tepat di ujung kakiku
Berdiri seperti seekor teri
Jaring-jaring api bergelombang dalam saf-saf maha panjang
Kengerian muncul di barisan belakang.

Analisis Puisi:

Puisi "Dzikir Anak Laut" karya Deny Pasla merupakan karya yang penuh dengan simbolisme dan refleksi mendalam terhadap hubungan manusia dengan alam, khususnya laut. Melalui penggunaan metafora yang kuat, puisi ini menggambarkan kondisi eksistensial manusia di hadapan kekuatan alam yang tak terbendung.

Simbolisme Laut sebagai Entitas Spiritual

Puisi ini menampilkan laut bukan hanya sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai entitas yang memiliki suara dan kuasa. Larik "Aku dengar semalam suntuk derumu yang pilu menyeru anak laut berdzikir" menunjukkan bagaimana laut menjadi saksi dari peristiwa besar yang berkaitan dengan eksistensi manusia. Dzikir anak laut melambangkan hubungan antara manusia dan alam dalam bentuk kepasrahan dan doa.

Kritik terhadap Kesombongan Kota

Penyair menyoroti bagaimana kota-kota di daratan sering kali melupakan hakikat kehidupan dan terlalu angkuh dalam memandang alam. Larik "Tak ubahnya seperti balita terperdaya oleh boneka" mengkritik bagaimana manusia di kota-kota besar terperangkap dalam kehidupan materialistis dan melupakan hubungan spiritual mereka dengan alam dan Tuhan.

Bencana sebagai Pengingat Kekuasaan Alam

Penyair membawa pembaca pada peristiwa tragis di mana bencana alam, seperti tsunami, menjadi bentuk teguran dari alam. Larik "Yang pongah itu tak sanggup menghalangi langkah gaib tsunami kematian" menunjukkan bagaimana manusia, meskipun merasa memiliki kendali, tetap tidak berdaya di hadapan kehendak alam.

Konteks Religius dan Ketidakberdayaan Manusia

Dengan penggunaan kata-kata seperti "dzikir," "tajajud," dan "sujud," puisi ini mengaitkan bencana alam dengan spiritualitas dan kepasrahan kepada takdir. Larik "Tak ada jalan lain dari kematian yang menyeringai doa-doa, kehilangan mukjizatnya" menggambarkan suasana mencekam di mana doa-doa seolah kehilangan kekuatannya di hadapan bencana yang tak terelakkan.

Puisi "Dzikir Anak Laut" bukan sekadar ungkapan estetika, tetapi juga mengandung pesan mendalam tentang hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Dengan gaya bahasa yang kuat dan penuh simbolisme, Deny Pasla mengajak pembaca untuk merenungkan keberadaan manusia di tengah ketidakpastian dan kekuasaan alam yang tak terbendung. Pesan moral dari puisi ini adalah pentingnya kerendahan hati dan kesadaran spiritual dalam menjalani kehidupan.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Dzikir Anak Laut
Karya: Deny Pasla

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.