Doa Retak
Seandainya bisa .. aku kembali
Seperti kurenungi hidup di pohon cinta lalu aku terbang bagai kupu-kupu ...
Melihat nasib yang sudah termakan abu
Tertinggal di balik mengawini waktu
Langkah untuk menyatu yang hanya bias asa semakin menunggu kapankah aku bisa memeluk rindu
Doaku retak di persimpangan ..
lidah terluka pecah oleh nafsu serakah
Doaku retak dalam gelisah
Mencari makna kasih damai
Negeriku seperti dulu
Dan semua
Kini semua sudah hampir hilang makna yang tak tau entah kemana rimbanya ……??!!
Kejujuran nyaris terbunuh ambisi, emosi dan egoisme
semakin tumpang tindih dalam beragam persoalan
hingga wajah-wajah lugu telah tercoreng terhipnotis
lalu melagukan getar-getar yang semestinya tak disenandungkan
Tapi semua, hanya sia-sia ..
Ketika sesuatu semakin menggerogoti
Ayah nyaris tak kenal anak atau saudara atau keluarga
Atau entah apalagi
lalu korban dan tumbal semakin berjatuhan di antara ada yang semakin tertawa melebarkan jurang dan sayap-sayap kemunafikan, kebohongan, kepalsuan dan entah apa lagi
Simalakama lalu tergenggam dengan terpaksa..???!!
Kuala Tungkal, 14 September 2001/12 Desember 2012
Analisis Puisi:
Puisi "Doa Retak" karya Ahmad Yani AZ adalah sebuah refleksi sosial yang penuh dengan kegelisahan dan kritik terhadap kondisi kehidupan yang semakin kehilangan makna. Puisi ini menggambarkan perasaan duka, kehilangan, serta absurditas kehidupan yang dipenuhi dengan kebohongan, kemunafikan, dan ketidakadilan.
Dengan bahasa yang penuh metafora dan emosi yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungi realitas yang terjadi di sekitar kita, terutama dalam konteks moralitas, hubungan antar manusia, dan perubahan sosial yang semakin menjauh dari nilai-nilai ketulusan.
Tema dan Makna Puisi
- Kegelisahan akan Kehilangan Nilai-Nilai Luhur: Bagian Doaku retak di persimpangan mencerminkan perasaan bimbang dan ketidakpastian dalam mencari harapan di tengah dunia yang penuh dengan kepalsuan. Ada perasaan rindu akan masa lalu yang lebih damai dan jujur, sebagaimana tersirat dalam Mencari makna kasih damai / Negeriku seperti dulu.
- Kritik terhadap Realitas Sosial: Puisi ini menggambarkan bagaimana kejujuran dan moralitas semakin terkikis oleh ambisi, emosi, dan egoisme. Gambaran ayah nyaris tak kenal anak atau saudara atau keluarga menegaskan bahwa ikatan keluarga pun semakin rapuh akibat kepentingan pribadi dan materialisme.
- Ketimpangan Sosial dan Kesenjangan: Bagian korban dan tumbal semakin berjatuhan di antara ada yang semakin tertawa menunjukkan adanya ketidakadilan, di mana yang lemah semakin terpuruk sementara mereka yang berkuasa justru semakin menikmati keadaan. Istilah simalakama lalu tergenggam dengan terpaksa menggambarkan dilema yang dihadapi oleh masyarakat, di mana mereka harus menerima kenyataan pahit tanpa bisa berbuat banyak.
- Harapan yang Semakin Memudar: Frasa semua sudah hampir hilang makna yang tak tau entah kemana rimbanya mencerminkan kehilangan makna hidup dan moralitas yang semakin terkikis dalam kehidupan modern. Kekecewaan dan ketidakberdayaan semakin terasa dalam bait terakhir yang dipenuhi dengan kepedihan dan keputusasaan.
Gaya Bahasa dan Struktur Puisi
- Penggunaan Metafora yang Kuat: Doaku retak melambangkan harapan yang mulai runtuh akibat kenyataan hidup yang penuh luka. Langkah untuk menyatu yang hanya bias asa menggambarkan ketidakmampuan seseorang dalam mencapai harapan yang telah lama dinantikan. Negeriku seperti dulu bisa diartikan sebagai kerinduan terhadap masa lalu yang lebih baik, yang kini sudah semakin jauh dari harapan.
- Nada Puitis yang Melankolis dan Satir: Nada dalam puisi ini sarat dengan kesedihan, keputusasaan, dan kekecewaan terhadap kondisi sosial yang semakin memburuk. Unsur satir juga hadir yang menggambarkan bagaimana wajah-wajah lugu ikut terhipnotis oleh kebohongan dan kemunafikan, seolah menggambarkan bagaimana masyarakat terjebak dalam sistem yang tidak adil.
- Penggunaan Pertanyaan Retoris dan Tanda Baca Emosional: Puisi ini banyak menggunakan tanda tanya dan tanda seru, seperti Kini semua sudah hampir hilang makna yang tak tau entah kemana rimbanya ……??!!. Ini menunjukkan kebingungan dan kegelisahan yang mendalam. Penggunaan tanda baca secara berulang memperkuat kesan putus asa dan ironi dalam realitas yang digambarkan.
Puisi "Doa Retak" karya Ahmad Yani AZ adalah sebuah cerminan dari kegelisahan terhadap kondisi sosial yang penuh dengan ketidakpastian, kepalsuan, dan kehilangan nilai-nilai luhur. Dengan metafora yang kuat dan bahasa yang emosional, puisi ini tidak hanya menjadi refleksi personal, tetapi juga kritik terhadap keadaan sosial yang semakin jauh dari kejujuran dan ketulusan.
Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan kembali makna kehidupan dan moralitas dalam dunia yang semakin kompleks. Apakah harapan dan doa masih memiliki kekuatan, ataukah semuanya hanya akan menjadi retakan yang tak bisa diperbaiki?
Puisi: Doa Retak
Karya: Ahmad Yani AZ
Biodata Ahmad Yani AZ:
Ahmad Yani AZ lahir di Kuala Tungkal (Bungsu dari 9 bersaudara, 11 Februari 1969. Sejak kelas 4 SD sudah mulai mencoba untuk terjun ke dunia kepenulisan dan sampai SLTA maupun saat melanjutkan studi pada Akademi Komunikasi Jurnalistik Yogyakarta sampai sekarang ini. Yang pada waktu itu mengikuti test pada Universitas Jambi, IKIP Karang Malang dan Institut Seni Indonesia Jurusan Tari, justru lulus pada Akademi Komunikasi Jurnalistik Yogyakarta (tahun 1993).
Di samping menekuni dunia kepenulisan, juga sambil aktif mengisi waktu masuk di sanggar Natya Lakshita Yogyakarta pimpinan Didik Nini Thowok (3 bulan) dan LPK. Kepenyiaran Radio & TV (Jurusan Kepenulisan Naskah 1994).
Selesai di Akademi Komunikasi Yogyakarta dan kembali ke kampung halaman, kemudian menjadi Freelance Journalist (dan magang) di Harian Independent (yang sekarang Jambi Independent) kemudian aktif menulis di rubrik opini dan budaya di Pos Metro, Jambi Ekspres dan sempat menjadi Kabiro/Reporter Mingguan Jambi Post (1998-2000), Pimred Bulletin Poltik KIN RADIO (2004), kemudian diminta menjadi staf redaksi Mingguan Media Pos Medan (lebih kurang 1,5 tahun: 2002), Wakil Sekretaris Pincab. Pemuda Panca Marga (2001–2014), Bagian Seni Budaya/Pariwisata Pemuda Panca Marga Tanjab Barat 2014-2018 dan 2009-2012 Freelance Journalist: Harian Radar Tanjab, Pos Metro, Jambi Eks, Jambi Independent, Infojambi, Tipikor Meda, Harian Jambi, Tribun, Staf Disporabudpar Tanjab Barat (November 2014 sampai sekarang Wartawan/Pengasuh Rubrik Seni dan Sastra Harian Tungkal Post). Putra bungsu H. Ahmad Zaini (Tokoh Pejuang/Anggota Veteran, Anggota Laskar Hisbullah, Barisan Selempang Merah & Saksi/Pelaku Sejarah).