Puisi: Dialog (Karya Mustafa Ismail)

Puisi "Dialog" karya Mustafa Ismail merupakan refleksi mendalam tentang penderitaan, kehilangan, dan konflik sosial yang terjadi di Aceh.
Dialog (I)
(- Kepada Penyair Anhar)

Apakah engkau yakin bahwa hidup ini sudah sepenuhnya
kita nikmati. Di luar aku masih melihat banyak orang sedang menangis
angin malam telah meluruhkan dan mengeringkan putik-putik Pala
bukit-bukit yang berbaris di kiri-kanan jalan begitu menakutkan
mereka tidak tahu harus bicara kepada siapa
air mata tetap saja dibasuh dengan air mata

Aku kangen desa, aku ingin merasakan langsung detak jantung mereka
tetapi mataku selalu dipenuhi dengan ladang pembantaian
malam tak pernah mengenal mana musuh dan mana saudara
setiap menit, aku selalu membaca berita-berita kehilangan
aku juga tidak tahu harus bicara kepada siapa
suara sudah tidak punya makna, jiwa tak lagi punya cinta

Apakah engkau yakin soal ini akan segera bisa terpecahkan
tanpa kesadaran bersama untuk hidup bersaudara:
saling memberi dan saling menerima
luka kita sudah teramat parah. Dan yang kita ingin bukan kata maaf
bukan juga gula-gula. Darah yang telah tumpah tidak mungkin ditimba kembali
karena itu, yang kita butuhkan kini hanya dua:
hidup yang damai dan sepotong cinta
bila itu tak pernah ada, sudah saatnya kita berpikir merdeka.

Jakarta, 16 April 2000

Dialog (II)
(- Kepada Penyair Sulaiman Juned)

Aku tak bisa membayangkan bagaimana Beureunun kini
apakah Kota Mini masih ada, dan desa Usi masih setenang dulu
atau angin malam telah mengubah segalanya:
orang-orang di sana hidup dalam resah
- bukan karena Si Amad dan Maimunah akan segera kawin
sementara padi belum bisa dipanen
- tetapi sebab matahari tak lagi menentu
tiap saat ada saja yang menjadi mangsa.

Kita tidak sempat berpikir, ketika kau singgah di kotaku tahun lalu
bagaimana kita harus menyelamatkan saudara-saudara kita
apakah kita perlu mengirimkan kemenyan dan belati buat mereka
untuk mengusir roh-roh jahat
kita tak mungkin membiarkan mereka sakit bertahun-tahun
keseharian mereka sudah cukup diwarnai dengan berita-berita kehilangan
serta cerita-cerita orang berduka

Tak ada jalan lain, kita harus berteriak lebih keras lagi
meski lewat puisi.

Jakarta, 16 April 2000

Dialog (III)
(- kepada Ucok Kelana TB)

Suatu ketika, kita mulai lagi sebuah obrolan
sekedar melepas kangen dan membaca riwayat perjalanan
kini semua sudah berganti
Hari sudah siang, kota jadi mati, hidup jadi sepi
orang-orang ketakutan di dalam rumah sambil berteka-teki:
hidup atau mati

Di jalan orang-orang menggenggam belati, menikam siapa saja
kita tidak bisa lagi seenaknya ke Trienggadeng
atau ke kampung penyair Sulaiman di Usi Dayah
atau ke tempat pengabdianmu sebagai guru di Kutacane
atau menjenguk penyair Anhar di Aceh Selatan
atau juga sekedar melepas penat di kantin Bang Amad
Taman Budaya

Kupikir kau pun terperangkap kini
tidak lagi bebas pulang pergi menjenguk sanak-kerabatmu
di Sumatera Utara. Dan selalu cemas ketika harus melintasi jalan raya
untuk mengunjungi teman-teman kita di Banda Aceh
bahkan mungkin kau terpaksa mengubur segala kangen terhadap mereka
seperti yang harus kulakukan kini:
menghabiskan Idul Fitri di rantau
membiarkan rindu mengental, menjadikan air mata tidak lagi mampu keluar.

Dari jauh aku menyaksikan akar-akar tercerabut dari
pohon-pohon
yang tumbuh di halaman rumah

Orang-orang bergegas dan tergesa. Gadis-gadis tidak lagi tersenyum
sebagian melakukan bunuh diri massal dalam mimpi-mimpi Tjoet Nyak Dien
tanpa berpikir bahwa mereka diam-diam telah menggali kubur
buat orang tua dan saudara-saudara mereka sendiri
pemuda-pemuda desa kini tenggelam dalam sejarah Iskandar Muda dan
patriotisme Teuku Umar. Sambil tidak lupa ikut menzalimi
tetangga dan kerabatnya

Apa arti sebuah rumah, kalau itu membuat hidup jadi neraka
orang-orang desa tidak pernah memikirkan
apakah rumah mereka terbuat dari beton, kayu, atau pun belahan bambu
mereka tidak pernah perduli di mana letak rumah mereka
dan siapa lurahnya terpenting bisakah mereka hidup
tenang, mencari rezeki dengan aman,
terpenuhi segala keperluannya.

Suatu ketika, ketika bertemu, kita perlu bicara
bagaimana mengajak saudara-saudara kita untuk berpikir
apa yang harus mereka lakukan sebenarnya
ketimbang menyimpan amarah
tetapi entah kapan kita bisa bicara, jalan raya memerah
tetapi bagaimana kita bisa ketemu
aku tidak punya alamatmu untuk sekedar berbagi cerita.

Batang-Jakarta, Januari 2000

Analisis Puisi:

Puisi "Dialog" karya Mustafa Ismail merupakan refleksi mendalam tentang penderitaan, kehilangan, dan konflik sosial yang terjadi di Aceh. Melalui tiga bagian puisinya, penyair menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang dilanda ketakutan, kekerasan, dan ketidakpastian. Puisi ini juga menggambarkan keinginan kuat untuk perdamaian dan harapan bagi kehidupan yang lebih baik.

Tragedi dan Luka Kolektif

Puisi ini merekam realitas pahit kehidupan di Aceh pada masa konflik. Mustafa Ismail menghadirkan gambaran kesedihan yang mendalam, terlihat dari baris berikut:

"Aku kangen desa, aku ingin merasakan langsung detak jantung mereka
tetapi mataku selalu dipenuhi dengan ladang pembantaian"

Ungkapan ini menunjukkan betapa keinginan untuk kembali ke desa—simbol kehidupan yang damai—terhalang oleh realitas kekerasan yang terus berulang.

Kesedihan dan Rasa Kehilangan

Puisi ini juga berbicara tentang kehilangan, baik kehilangan orang-orang terkasih maupun kehilangan kebebasan dan keamanan.

"setiap menit, aku selalu membaca berita-berita kehilangan
aku juga tidak tahu harus bicara kepada siapa"

Kehilangan ini begitu dalam hingga suara menjadi tidak berarti lagi, dan air mata hanya bisa dibasuh dengan air mata.

Keinginan untuk Perdamaian

Dalam bagian pertama, penyair menegaskan bahwa yang dibutuhkan bukan sekadar "kata maaf" atau "gula-gula," tetapi kehidupan yang damai dan cinta:

"karena itu, yang kita butuhkan kini hanya dua:
hidup yang damai dan sepotong cinta"

Ini menunjukkan bahwa penyair menginginkan solusi yang nyata, bukan sekadar basa-basi politik atau janji-janji kosong.

Bentuk Dialog dan Alamat Personal

Puisi ini berbentuk dialog yang ditujukan kepada tiga penyair:
  1. Anhar
  2. Sulaiman Juned
  3. Ucok Kelana TB
Dengan gaya ini, penyair menciptakan percakapan yang terasa dekat dan personal, seolah-olah ia sedang berbincang dengan rekan-rekannya tentang situasi di Aceh.

Penggunaan Imaji yang Kuat

Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional yang memperkuat nuansa kesedihan dan kekerasan. Beberapa contoh imaji yang menonjol:
  1. "Bukit-bukit yang berbaris di kiri-kanan jalan begitu menakutkan" → Menggambarkan suasana mencekam akibat konflik.
  2. "Di jalan orang-orang menggenggam belati, menikam siapa saja" → Melambangkan kekerasan yang tidak pandang bulu.
  3. "Jalan raya memerah" → Simbol darah dan korban yang terus berjatuhan.

Kontras Antara Masa Lalu dan Masa Kini

Penyair membandingkan kehidupan yang dulu damai dengan keadaan saat ini yang penuh ketakutan. Misalnya, dalam bagian kedua, ia merindukan desa yang dulu tenang:

"Apakah Kota Mini masih ada, dan desa Usi masih setenang dulu"

Tetapi realitas sekarang justru sebaliknya, di mana orang-orang hidup dalam kecemasan dan kehilangan arah.

Kritik terhadap Kekerasan yang Berulang

Mustafa Ismail tidak hanya menggambarkan penderitaan, tetapi juga mengkritik siklus kekerasan yang terus terjadi. Dalam bagian ketiga, ia menyindir bagaimana sejarah perjuangan Aceh justru dijadikan alasan untuk saling menzalimi:

"Pemuda-pemuda desa kini tenggelam dalam sejarah Iskandar Muda dan patriotisme Teuku Umar.
Sambil tidak lupa ikut menzalimi tetangga dan kerabatnya."

Ini menunjukkan bahwa semangat perjuangan yang seharusnya membawa kebaikan malah berujung pada konflik internal.

Harapan untuk Kesadaran Kolektif

Penyair juga mengajak masyarakat untuk berpikir dan mencari solusi ketimbang menyimpan dendam. Dalam bagian ketiga, ia menyatakan:

"Suatu ketika, ketika bertemu, kita perlu bicara
bagaimana mengajak saudara-saudara kita untuk berpikir
apa yang harus mereka lakukan sebenarnya
ketimbang menyimpan amarah."

Ini menegaskan bahwa tanpa kesadaran bersama, konflik tidak akan pernah berakhir.

Puisi "Dialog" karya Mustafa Ismail adalah cerminan luka kolektif masyarakat Aceh yang terjebak dalam konflik berkepanjangan. Dengan gaya yang personal, penuh imaji, dan kritik sosial yang tajam, penyair menyampaikan pesan mendalam tentang penderitaan, kehilangan, serta harapan akan perdamaian.

Melalui dialog dengan rekan-rekan sesama penyair, Mustafa Ismail menegaskan bahwa puisi bukan hanya sekadar tulisan, tetapi juga alat untuk bersuara lebih keras, menyampaikan kebenaran, dan mengajak orang berpikir tentang solusi bagi kehidupan yang lebih baik.

Mustafa Ismail
Puisi: Dialog
Karya: Mustafa Ismail

Biodata Mustafa Ismail:
  • Mustafa Ismail lahir pada tanggal 25 Agustus 1971 di Aceh.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.