Puisi: Di Tebing Waktu, Meditasi (Karya Ahmad Nurullah)

Puisi "Di Tebing Waktu, Meditasi" adalah sebuah refleksi mendalam tentang waktu, ruang, dan hakikat manusia. Melalui bahasa yang puitis dan ...
Di Tebing Waktu:
Meditasi

(1)

Sebelum jagat raya diciptakan,
apa yang dilakukan Tuhan?

Sunyi. Di teras: waktu merayap
Malam mengalir. Aku duduk
tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang.
Di jalan-jalan berkecipak perang. Seperti di hatiku
Mungkin juga di hatimu

Aku teringat Stephen. Ia melompat dari
bulatan asap rokok:
Membetulkan punggungnya pada kursi roda
Merogoh lubang hitam
Mengemas lagi bangkai bintang-bintang
yang berkerumun
di bawah bulu alisnya.

"Sebelum jagat raya diciptakan,
apa yang dilakukan Tuhan, Stephen?
Membangun Surga?
Merancang Neraka?
Jauh sebelum ayah dan ibumu berpengantin,
di mana kau ada?"

Ia menyeringai. Dari bibirnya terbit
sekerumun matahari. Mengajarku
tentang cara menjinakkan bumi.
"Pertanyaan Anda waras,
untuk seorang yang berani gila," katanya.


(2)


Ia lalu mengajakku pergi. Jauh melayang:
melompat dari bintang ke bintang. Berguling-guling
dari galaksi ke galaksi. Mengintip lubang cacing.
Membayangkan serbuk tubuh presiden yang terguling.

Di bawah telapak kakiku berhambur
bermiliar galaksi. Bagai butiran biji kedelai. Seperti
pecahan biji gunduk yang membercaki ruang
Laksana kepingan biji mutiara bersemai
di sudut-sudut waktu.

"Lihat," katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak
di setumpuk cahaya. "Apa arti kau ada?"

Lalu ia pun bercerita: Dulu, di sebuah celah titik
yang jauh itu, ada pertengkaran:
di dekat Tanah Nod,
jauh sebelum Zaman Es terakhir,
sebelum Colombus merajang Benua India. Sebelum
Pizarro menemukan Inca. Sebelum Bolivar
menyembul di Tanah Caracas.


(3)


Menginjak sebutir detik yang nanar,
aku mendadak kembali terlempar
ke satu celah di titik yang jauh itu:
ke bumi.

Ada bom meledak di masjid-masjid. Menggelegar
di gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah –
menyeretku lagi pada sebuah cerita:
Tentang pertengkaran,
jauh di sebuah celah bumi yang tua.

"Ketika bumi masih sebercak Kata,
apa yang dilakukan Tuhan, Stephen?
Merakit algojo?
Merancang pendeta?
Anda tahu: siapa
presiden pemenang lomba,
besok, di negeri saya?"

Ia, dituntun oleh wataknya,
kembali menyeringai.
Lalu kembali mengajakku berputar:
Berdiri di tebing waktu,
menyapu kemahaluasan ruang:
Meluncur di tanah masa depan yang berkabut
menjelajah kota-kota masa silam yang berasap.

"Stephen, saya lelah jadi manusia"

Jakarta, 1999

Sumber: Setelah Hari Keenam (2011)

Analisis Puisi:

Puisi "Di Tebing Waktu, Meditasi" karya Ahmad Nurullah adalah sebuah renungan mendalam tentang hakikat waktu, penciptaan, dan eksistensi manusia. Melalui penggambaran puitis yang penuh simbolisme, penyair mengajak pembaca untuk menelusuri lorong-lorong waktu, dari sebelum penciptaan hingga realitas kehidupan modern yang penuh dengan konflik dan tragedi.

Struktur dan Tema Puisi

Puisi ini terbagi menjadi tiga bagian yang saling terkait, masing-masing menawarkan perspektif yang berbeda tentang waktu dan eksistensi.

Bagian Pertama: Mencari Jawaban dalam Keheningan

Pada bagian awal, penyair mengajukan pertanyaan mendasar yang telah menggugah pemikiran manusia selama berabad-abad: Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan? Pertanyaan ini tidak hanya reflektif tetapi juga menggambarkan kegelisahan manusia dalam memahami asal-usul keberadaan.

Di bagian ini, hadir sosok Stephen, yang merujuk pada fisikawan Stephen Hawking, seorang ilmuwan yang menghabiskan hidupnya meneliti asal-usul alam semesta. Dengan metafora yang kuat, Hawking digambarkan melompat dari bulatan asap rokok, merogoh lubang hitam, dan mengemas bangkai bintang-bintang. Ini menunjukkan eksplorasi intelektualnya yang mendalam terhadap kosmos dan hakikat realitas.

Penyair pun mempertanyakan keberadaan manusia sebelum kelahirannya: Jauh sebelum ayah dan ibumu berpengantin, di mana kau ada? Pertanyaan ini merujuk pada konsep metafisika tentang eksistensi sebelum kehidupan dan sesudah kematian. Dengan ironi, Hawking menjawab: Pertanyaan Anda waras, untuk seorang yang berani gila.

Bagian Kedua: Melintasi Alam Semesta dan Sejarah

Bagian kedua puisi ini membawa kita ke perjalanan metaforis melintasi bintang, galaksi, dan ruang-waktu. Dengan gambaran yang megah, penyair menempatkan manusia sebagai titik kecil di jagat raya yang luas. Di bawah telapak kakiku berhambur bermiliar galaksi. Bagai butiran biji kedelai.

Dalam pengembaraannya, penyair menyaksikan pertikaian yang terjadi sepanjang sejarah manusia, dari zaman purba hingga peristiwa-peristiwa besar dalam peradaban seperti ekspedisi Colombus, kejatuhan Inca oleh Pizarro, hingga perjuangan kemerdekaan Simón Bolívar di Amerika Selatan. Ini menunjukkan bahwa konflik selalu menjadi bagian dari perjalanan umat manusia.

Bagian Ketiga: Kekerasan dan Kelelahan Eksistensial

Bagian terakhir puisi ini menghadirkan realitas pahit tentang kekerasan yang terus berulang. Ada bom meledak di masjid-masjid. Menggelegar di gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah. Penyair mencerminkan bagaimana peradaban manusia masih berkutat pada konflik berbasis agama, politik, dan kekuasaan.

Kembali ke pertanyaan awal, penyair bertanya kepada Hawking: Ketika bumi masih sebercak Kata, apa yang dilakukan Tuhan? Pertanyaan ini bisa dimaknai sebagai pencarian makna tentang apakah penderitaan dan kekerasan merupakan bagian dari rencana ilahi atau konsekuensi dari kebebasan manusia dalam bertindak.

Di akhir puisi, ada rasa lelah yang mendalam: Stephen, saya lelah jadi manusia. Pernyataan ini mencerminkan kelelahan eksistensial, sebuah refleksi tentang absurditas kehidupan yang penuh dengan tragedi dan ketidakpastian.

Makna dan Relevansi Puisi

Puisi ini memadukan sains, filsafat, dan sejarah dalam satu narasi yang kuat. Beberapa tema utama yang dapat ditarik dari puisi ini adalah:
  1. Pencarian Makna Eksistensi: Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan asal-usul keberadaan manusia dan apa yang terjadi sebelum serta setelah kehidupan.
  2. Konflik dan Sejarah: Melalui penggambaran peristiwa bersejarah dan tragedi modern, penyair mengkritik bagaimana manusia terus mengulangi kesalahan masa lalu.
  3. Kelelahan dan Absurditas Hidup: Ada kelelahan eksistensial yang muncul dari kesadaran bahwa manusia adalah bagian kecil dari alam semesta yang luas, tetapi juga terjebak dalam permasalahan duniawi yang tidak kunjung usai.
  4. Peran Sains dan Religi dalam Memahami Realitas: Penyair menampilkan Stephen Hawking sebagai simbol dari upaya ilmiah untuk memahami jagat raya, tetapi juga menyisipkan pertanyaan teologis yang tetap menggantung tanpa jawaban pasti.
Puisi "Di Tebing Waktu, Meditasi" adalah sebuah refleksi mendalam tentang waktu, ruang, dan hakikat manusia. Melalui bahasa yang puitis dan simbolik, Ahmad Nurullah membawa kita ke perjalanan intelektual dan spiritual yang luas, dari jagat raya hingga realitas keseharian yang penuh konflik. Dengan menutup puisi dengan kelelahan eksistensial, penyair seakan mengajak kita untuk terus mempertanyakan dan mencari makna di tengah ketidakpastian kehidupan.

Ahmad Nurullah
Puisi: Di Tebing Waktu, Meditasi
Karya: Ahmad Nurullah

Biodata Ahmad Nurullah:
  • Ahmad Nurullah (penulis puisi, cerpen, esai, dan kritik sastra) lahir pada tanggal 10 November 1964 di Sumenep, Madura, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.