Di Suatu Malam di Pinggir Jalan
Malam yang tua itu memang tak pernah menegurmu
dan begitu saja membiarkanmu
di bawah pohon pinggir jalan yang sepi itu, kau terjerat kail si penunggu
berpusing, mabok, membenturkan serak-serak batuk-batukmu
hingga paginya, tercium oleh seorang warga bau anyir dan amis bagai si pecandu
berteriak-teriak, berlari sempoyongan menemukan mayatmu
Analisis Puisi:
Puisi "Di Suatu Malam di Pinggir Jalan" karya Darwanto menyajikan potret suram tentang kehidupan seseorang yang terpinggirkan, terjebak dalam lingkaran kelam, dan akhirnya menemui akhir yang tragis. Dengan gaya bahasa yang lugas namun tetap puitis, puisi ini menciptakan suasana mencekam dan getir.
Keterasingan dalam Gelapnya Malam
Baris pertama puisi ini langsung membawa pembaca pada atmosfer yang muram:
"Malam yang tua itu memang tak pernah menegurmu / dan begitu saja membiarkanmu."
Malam digambarkan sebagai entitas yang "tua", seolah menjadi saksi bisu dari segala peristiwa yang terjadi. Malam ini tidak menawarkan kehangatan atau perhatian, tetapi justru membiarkan sang tokoh utama dalam kesendirian dan keterasingan.
Konsep "malam yang tua" juga bisa dimaknai sebagai sebuah kehidupan yang sudah lama berlangsung dalam kegelapan, mungkin penuh dengan penderitaan, kemiskinan, atau kecanduan. Malam yang seharusnya memberi ketenangan justru menjadi ruang di mana seseorang dibiarkan tanpa harapan.
Terjerat dalam Kehancuran
Pada baris berikutnya, puisi ini menggambarkan tokoh yang tersesat dalam kehidupannya:
"di bawah pohon pinggir jalan yang sepi itu, kau terjerat kail si penunggu / berpusing, mabok, membenturkan serak-serak batuk-batukmu."
Penggunaan frasa "terjerat kail si penunggu" menyiratkan adanya kekuatan tak kasat mata yang menjerat tokoh utama, entah itu nasib buruk, kejahatan, atau kecanduan yang tak terhindarkan. Kata "penunggu" bisa diinterpretasikan sebagai sesuatu yang mengintai dalam kesunyian—mungkin melambangkan kematian, kesepian, atau bahkan ketergantungan terhadap zat tertentu.
Keadaan fisik sang tokoh pun digambarkan dengan sangat tragis: mabuk, batuk-batuk serak, dan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ini menggambarkan betapa kerasnya kehidupan yang ia jalani hingga akhirnya jatuh dalam kehancuran.
Tragedi yang Tercium oleh Pagi
Bagian paling menyentuh dari puisi ini ada pada baris terakhir:
"hingga paginya, tercium oleh seorang warga bau anyir dan amis bagai si pecandu / berteriak-teriak, berlari sempoyongan menemukan mayatmu."
Pagi yang biasanya identik dengan harapan dan awal yang baru justru menjadi saksi dari akhir yang menyedihkan. Bau anyir dan amis yang tercium oleh warga menggambarkan kematian yang mengenaskan, menandakan bahwa tokoh utama telah mencapai titik akhir dari penderitaannya.
Perumpamaan "bagai si pecandu" menegaskan bahwa tokoh utama kemungkinan adalah seseorang yang terjebak dalam dunia kelam, mungkin kecanduan alkohol atau narkoba, hingga akhirnya kehilangan nyawa. Kejadian ini baru diketahui oleh orang lain di pagi hari, setelah semuanya terlambat.
Tema dan Makna
Puisi ini menyentuh tema-tema seperti keterasingan, kecanduan, dan kematian yang tragis. Beberapa pesan yang bisa ditarik dari puisi ini antara lain:
- Kehidupan yang Terpinggirkan: Tokoh dalam puisi ini seolah hidup di luar perhatian masyarakat. Ia sendirian, dibiarkan begitu saja dalam malam yang sepi, tanpa ada yang menolongnya. Ini bisa menjadi cerminan dari bagaimana sebagian orang terjebak dalam kondisi sulit tanpa ada bantuan atau kepedulian dari sekitar.
- Lingkaran Kecanduan dan Kehancuran: Penyebutan "pecandu" dalam puisi ini bisa merujuk pada seseorang yang tidak mampu keluar dari kebiasaan buruknya, yang akhirnya membawa pada kematian. Puisi ini seolah menggambarkan dampak destruktif dari kecanduan terhadap individu yang mengalaminya.
- Tragedi yang Terlambat Disadari: Baru di pagi hari ada orang yang menyadari tragedi yang terjadi. Ini menyiratkan bagaimana kehidupan seseorang yang terlupakan atau dianggap "tidak penting" seringkali hanya mendapat perhatian setelah mereka sudah tiada.
Puisi "Di Suatu Malam di Pinggir Jalan" adalah gambaran kelam tentang seseorang yang terjebak dalam penderitaan dan akhirnya menemui ajalnya dalam kesepian. Dengan penggunaan bahasa yang tajam dan suasana yang mencekam, Darwanto mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan mereka yang sering kali terabaikan oleh masyarakat.
Puisi ini bukan hanya sekadar cerita tragis, tetapi juga kritik sosial tentang bagaimana dunia memperlakukan mereka yang hidup dalam keterasingan. Melalui puisi ini, kita diajak untuk lebih peduli terhadap orang-orang di sekitar kita, agar tragedi seperti ini tidak terus berulang dalam kehidupan nyata.
Karya: Darwanto
Biodata Darwanto:
- Darwanto lahir pada tanggal 6 Maret 1994.