Puisi: Denpasar Festival (Karya I Nyoman Wirata)

Puisi "Denpasar Festival" karya I Nyoman Wirata menyuguhkan pengalaman yang dalam dan reflektif tentang kehidupan, perubahan sosial, serta ...
Denpasar Festival

Tak ada yang asing di lidah
Rasa itu sudah mewarnai tulang
Menjadi aroma peluh dan nafas
Meracik bumbu meramu kata
Menjadi bahasa

Tak ada yang asing
makan tanpa bangku tanpa penyekat
Mendulang nikmat dengan keringat liat

Tak ada yang asing jika makan di jalanan
Dulu dengan baju komprang
Diberi aroma revolusi

Membuat kita kehilangan selera makan
Sebab terbayang gairah dan darah
Terbayang luka dan wajah memar

Kehilangan wangi harum dupa
Tak ada yang asing
Dalam sebuah perayaan beserta
Umbul-umbul huruf-huruf kapital

Menonton wajah kota penuh cahaya
Kembang-kembang api meluncur dari mulut
Namun ada catatan tentang
Koral dibalut bara

Alun-alun pernah dijaga
orang-orang bersenjata
Mobil lapis baja dan
Ada orang hilang di galau malam

Aku menikmati daging panggang
jajan ketan di sepanjang udara sore

Dengan separuh gaji perbulan
Apakah dapat membayar selembar
Kain tenunikat buat istri
yang berulang tahun.

Analisis Puisi:

Puisi "Denpasar Festival" karya I Nyoman Wirata menyuguhkan pengalaman yang dalam dan reflektif tentang kehidupan, perubahan sosial, serta kearifan lokal yang terikat erat dengan perjalanan sejarah dan budaya masyarakat Bali. Melalui kata-kata yang sederhana namun penuh makna, Wirata menggambarkan bagaimana rasa, kenangan, dan tradisi tetap hidup di tengah perubahan zaman.

Makna Rasa yang Tak Terpisahkan dari Kehidupan

Puisi dimulai dengan penggambaran tentang rasa yang tak asing lagi bagi penutur. "Tak ada yang asing di lidah / Rasa itu sudah mewarnai tulang," menggambarkan rasa yang telah meresap dalam tubuh, seolah sudah menjadi bagian dari identitas seseorang. Rasa ini tidak hanya terbatas pada kuliner, tetapi juga pada cara hidup, budaya, dan bahkan kenangan yang menyatu dengan tubuh. Ini adalah representasi dari tradisi yang tidak hanya dikonsumsi secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan emosional.

Wirata melanjutkan dengan "Menjadi aroma peluh dan nafas / Meracik bumbu meramu kata / Menjadi bahasa." Di sini, rasa yang dimaksud lebih jauh lagi menggambarkan bagaimana tradisi dan nilai-nilai kehidupan bisa diwujudkan dalam bentuk kata-kata, yang kemudian menjadi bahasa. Bahasa yang dimaksud bukan hanya bahasa verbal, tetapi juga bahasa tubuh, emosi, dan cara hidup yang terus diteruskan.

Makan di Jalanan dan Kehidupan yang Tak Pernah Lepas dari Sejarah

Ada bagian yang menonjol dalam puisi ini mengenai makan di jalanan, yang digambarkan dengan kalimat, "Tak ada yang asing jika makan di jalanan / Dulu dengan baju komprang / Diberi aroma revolusi." Makanan di jalanan bukan sekadar makanan fisik, tetapi juga simbol dari kondisi sosial-politik suatu masa. "Baju komprang" yang digunakan menggambarkan kesederhanaan dan kerendahan hati, sementara "aroma revolusi" merujuk pada perubahan besar yang terjadi, mungkin mengacu pada peristiwa sejarah yang mengubah wajah masyarakat.

Makanan, dalam puisi ini, juga menjadi metafora bagi kekerasan dan penderitaan. "Membuat kita kehilangan selera makan / Sebab terbayang gairah dan darah," menunjukkan dampak dari peristiwa-peristiwa besar yang terjadi dalam sejarah masyarakat, yang mengguncang ketenangan hidup dan membuat selera makan hilang, menggantikan rasa nikmat dengan rasa sakit.

Perayaan dan Kehilangan dalam Pesta Kota

Pada bagian berikutnya, Wirata menggambarkan suasana perayaan, namun dengan sentuhan ironis. "Tak ada yang asing / Dalam sebuah perayaan beserta / Umbul-umbul huruf-huruf kapital." Perayaan yang seharusnya penuh kegembiraan dan makna, kini diliputi oleh simbol-simbol kapitalisme dan konsumsi yang berlebihan. Di sini, penulis menyentil bagaimana sebuah perayaan diubah menjadi ajang komersialisasi dan keramaian yang kehilangan nilai-nilai intinya.

Kota yang bersinar terang dengan kembang api menjadi paradoks dalam puisi ini. "Menonton wajah kota penuh cahaya / Kembang-kembang api meluncur dari mulut / Namun ada catatan tentang / Koral dibalut bara." Meski kota ini tampak gemerlap, di balik itu ada hal-hal yang lebih kelam dan penuh konflik yang sering disembunyikan. Kembang api, meskipun indah, juga mengingatkan kita akan bara yang bisa membakar, sebuah peringatan akan kekerasan dan pertentangan sosial yang mungkin terjadi di balik keramaian.

Kenangan yang Tak Terlupakan

Kehilangan dalam puisi ini tidak hanya terbatas pada rasa atau kenangan terhadap makanan, tetapi juga pada waktu-waktu yang pernah ada. "Alun-alun pernah dijaga / orang-orang bersenjata," mengingatkan kita pada masa-masa yang penuh ketegangan dan ancaman. Kehilangan ini, meskipun tidak terucapkan secara langsung, tetap terpendam dalam kenangan kolektif masyarakat.

Namun, puisi ini juga membawa pembaca pada sebuah refleksi personal. Penuturan tentang menikmati "daging panggang / jajan ketan di sepanjang udara sore," membawa kita kembali pada kenangan masa kecil yang sederhana dan penuh kebahagiaan. Tindakan makan dan berbagi makanan di jalanan menjadi representasi dari kehidupan yang terus berputar, di mana kesederhanaan dan kenikmatan dapat ditemukan meskipun dunia di sekitarnya mengalami perubahan.

Harapan dan Realita Ekonomi yang Pahit

Pada bagian akhir puisi, Wirata menyentil masalah ekonomi yang menjadi tantangan hidup sehari-hari, "Dengan separuh gaji perbulan / Apakah dapat membayar selembar / Kain tenunikat buat istri / yang berulang tahun." Puisi ini menyoroti kesulitan hidup yang dirasakan oleh banyak orang, terutama dalam hal ekonomi. Meski ada keinginan untuk memberikan sesuatu yang indah bagi orang tercinta, keterbatasan ekonomi menjadi halangan yang nyata.

Puisi "Denpasar Festival" adalah karya yang memadukan nuansa historis, sosial, dan personal dalam satu rangkaian kata. Melalui pengalaman makan di jalanan, perayaan yang diliputi simbol kapitalisme, dan kenangan terhadap masa lalu yang penuh kekerasan, Wirata berhasil mengungkapkan ketegangan yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Puisi ini bukan hanya tentang sebuah festival atau perayaan, tetapi tentang bagaimana kita meresapi sejarah, budaya, dan realitas kehidupan dengan segala kerumitan dan keindahannya.

Wirata memberikan sebuah panggilan untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang ada di tengah kemajuan dan perubahan zaman. Dalam setiap kata yang ia pilih, kita diingatkan akan pentingnya menghargai tradisi, budaya, dan hubungan manusia yang terjalin dalam kehidupan sehari-hari.

I Nyoman Wirata
Puisi: Denpasar Festival
Karya: I Nyoman Wirata

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Stamboel DewiJaman yang kini meminta museum untuk dikenang, menguburSeribu gramofon dan babak tonil dalam dunia. Saat asiaMeluncur dalam iklan serta lipstick untuk merangsangku,Kam…
  • Suatu Malam di Pantaibagai sosok puisi yang hilangketika kutemu jejak-jejak basah ketam di pasirombak menerpa jejak-jejak terbawaada yang kurasakan tapi aku tinggal termangubagai s…
  • Amsal Los Pasar(antara ngasem – beringharjo)ya langkah itu ke itu juga menemani teriktak lagi menghindari matahari di saku celanadan gemuruh sejuta kota yang berebutan di dadateria…
  • Amsal Tugudiserahkan waktu batu yang ibuku menunggumenatap war-wer yang membawa ayat istri anak-anakkupenengadah memanjat hikmahtujuh kembang tujuh persimpangandibasuhnya kening di…
  • KatekisasiHatiku yang hitam telah memetik bedilDengan tangan kekasihDi ujung pelarian aku masih coba memandang: nihilTerlihat dalam diriku pertempuran kaum salihDengan hati merah a…
  • Belajar Membaca HutanSejak aku bisa membaca kitabmu tentang kebajikan alam.Hidup dan kematian, aku begitu riang menjalani tepian hutanSampai ke palung dan luncuran tebing batu lumu…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.