Puisi: Cutbang di Atas Awan (Karya D. Kemalawati)

Puisi "Cutbang di Atas Awan" adalah refleksi mendalam tentang perempuan Aceh pasca-perang, perubahan budaya, serta ketegangan antara masa lalu dan ...
Cutbang di Atas Awan

Cutbang terbang saat perang usai
disambut ceurana retak, ranub masak
dan hidangan meulod tanpa zikir

Ia menjadi gasing di kampung sunyi
bertahan kaki di lahan pecah
tak bertemu penebang liar
menebar candu di kulit badan
muka, berpaling-paling teliti jalan

Degup jantungnya disapa langit
ia seperti gerimis yang menggantung
angin marah pada denting malam
yang dilecut asap garang

Pasang purnama merendam dinding kayu
ketika laut bermuka dua
Cutbang, basuh mukamu
sebelum saleum menjadi petaka.

Banda Aceh, 20 April 2006

Catatan:
Ceuranawadah untuk meletakkan sirih.

Analisis Puisi:

Puisi "Cutbang di Atas Awan" karya D. Kemalawati merupakan salah satu karya sastra yang sarat akan makna sejarah dan budaya Aceh. Puisi ini menampilkan nuansa perlawanan, identitas, serta refleksi atas perubahan zaman yang melingkupi seorang Cutbang. Melalui penggunaan simbol-simbol budaya, puisi ini menggambarkan perjalanan seorang perempuan Aceh pasca-perang, mengangkat tema kehilangan, ketegaran, dan adaptasi terhadap realitas baru.

Cutbang Sebagai Simbol Perempuan Aceh

Cutbang, dalam konteks sejarah Aceh, sering kali merujuk pada perempuan yang tangguh dan berani, khususnya dalam perjuangan melawan penjajah. Dalam puisi ini, Cutbang digambarkan sebagai seseorang yang "terbang saat perang usai", mengindikasikan bahwa perjuangannya tidak hanya terbatas pada medan pertempuran tetapi juga dalam menghadapi kehidupan setelahnya.

Ceurana Retak dan Ranub Masak

"Ceurana retak" dapat diartikan sebagai wadah yang telah pecah, sebuah simbol dari perubahan atau kehilangan nilai-nilai tradisi. Sementara "ranub masak" (sirih matang) menunjukkan budaya adat yang masih ada, meskipun mungkin tidak seutuh dahulu. Ini mencerminkan pergeseran budaya yang dialami oleh masyarakat Aceh pasca-konflik.

Kampung Sunyi dan Lahan Pecah

Gambaran kampung yang sunyi dan lahan yang pecah menunjukkan dampak perang yang meninggalkan kehancuran fisik maupun sosial. "Ia menjadi gasing di kampung sunyi" mengindikasikan bahwa Cutbang masih berusaha bertahan dalam lingkungan yang telah berubah drastis, berputar seperti gasing yang terus mencari keseimbangan.

Gerimis yang Menggantung dan Angin Marah

Ungkapan "ia seperti gerimis yang menggantung" menggambarkan ketidakpastian dan kesedihan yang belum terungkap sepenuhnya. "Angin marah pada denting malam" dapat ditafsirkan sebagai kemarahan terhadap ketidakadilan atau kesedihan yang terus menghantui di tengah kehidupan malam yang sepi.

Pasang Purnama dan Laut Bermuka Dua

"Pasang purnama merendam dinding kayu" bisa merujuk pada kenangan lama yang masih melekat dalam ingatan. "Ketika laut bermuka dua" menggambarkan ketidakpastian dan realitas yang penuh ambiguitas, di mana sesuatu yang tampak indah dan menjanjikan bisa menyimpan bahaya atau pengkhianatan.

Saleum Menjadi Petaka

Baris terakhir, "Cutbang, basuh mukamu sebelum saleum menjadi petaka", menyiratkan peringatan bagi Cutbang (dan mungkin juga bagi masyarakat Aceh) untuk membersihkan diri dari luka masa lalu dan kembali pada identitas sejati sebelum sesuatu yang seharusnya menjadi salam perdamaian justru berubah menjadi malapetaka.

Puisi "Cutbang di Atas Awan" adalah refleksi mendalam tentang perempuan Aceh pasca-perang, perubahan budaya, serta ketegangan antara masa lalu dan masa kini. D. Kemalawati menggunakan simbol-simbol khas budaya Aceh untuk menghadirkan gambaran yang puitis namun sarat makna. Puisi ini bukan hanya sebuah narasi tentang perjuangan, tetapi juga sebuah renungan tentang bagaimana seseorang dapat bertahan di tengah perubahan yang tak terhindarkan.

D. Kemalawati
Puisi: Cutbang di Atas Awan
Karya: D. Kemalawati

Biodata D. Kemalawati:
  • Deknong Kemalawati lahir pada tanggal 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.