Puisi: Bilik Pembatik (Karya A. Muttaqin)

Puisi "Bilik Pembatik" karya A. Muttaqin adalah sebuah renungan mendalam tentang warisan budaya yang terus bertahan di tengah arus modernisasi.
Bilik Pembatik

Ular yang seribu tahun lalu menyusup ke rumahmu telah kausamak di badan waktu, seperti tato tua yang tak luntur oleh hujan hantu dan kerdip mata gadis melayu. Seperti akidah kaku, begitu teguh ular itu memelukmu. Ular itu tak juga tergoda, walau sejarah moyangnya membuat kau dan aku betah memegang cinta.

Memegang pundak luka

yang membuat kita ada. Ular itu tetap milik kita selain bunga. Tetap cantik sisiknya, biar ia sering terluka di gelaran yang kian alpa. Di penyampir purba, di serat cinta yang kian kalah, ular itu bangkit tiba-tiba, seperti huruf Jawa yang sakit membaca dirinya, membaca rajah raja yang ditinggal tuah dan pucuk panah.

2009

Analisis Puisi:

Puisi "Bilik Pembatik" karya A. Muttaqin merupakan karya sastra yang kaya akan simbolisme dan metafora yang mendalam. Dengan nuansa historis dan budaya yang kuat, puisi ini menggambarkan percampuran antara warisan leluhur, identitas, dan pergulatan batin dalam menghadapi perubahan zaman.

Menggunakan simbol ular, tato, dan huruf Jawa, penyair menelusuri makna tradisi dan sejarah yang melekat pada kehidupan manusia, khususnya dalam konteks budaya batik dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Tema dan Makna Puisi

  1. Tradisi yang Bertahan dalam Waktu: Simbol ular yang “seribu tahun lalu menyusup ke rumahmu” menggambarkan sebuah tradisi atau warisan leluhur yang tetap bertahan hingga kini. Tradisi itu tidak terhapus oleh perubahan zaman, seperti tato tua yang tak luntur oleh hujan hantu. Ini menunjukkan betapa kuatnya nilai-nilai lama yang tetap melekat dalam kehidupan masyarakat.
  2. Identitas dan Warisan Budaya: Ular dalam puisi ini dapat diasosiasikan dengan motif batik, yang sering kali memiliki makna filosofis mendalam dalam kebudayaan Jawa. Frasa seperti huruf Jawa yang sakit membaca dirinya mengindikasikan bahwa warisan budaya semakin sulit dipahami oleh generasi saat ini, seolah-olah kehilangan makna aslinya.
  3. Luka Sejarah dan Ingatan Kolektif: Baris memegang pundak luka yang membuat kita ada menunjukkan bahwa masa lalu, meskipun penuh luka dan kesedihan, tetap menjadi bagian dari jati diri kita. Luka sejarah ini adalah sesuatu yang diwarisi dari generasi ke generasi, menjadi bagian dari perjalanan panjang peradaban.
  4. Perjuangan Melawan Kepunahan Budaya: Di bagian terakhir, ular itu bangkit tiba-tiba, menunjukkan bahwa meskipun tradisi bisa terlupakan, ada kemungkinan kebangkitan kembali kesadaran budaya di tengah modernitas. Di serat cinta yang kian kalah mengisyaratkan bahwa budaya dan sejarah sering kali terpinggirkan oleh arus globalisasi dan perubahan zaman.

Gaya Bahasa dan Struktur Puisi

  1. Metafora yang Kuat: Ular bukan hanya sekadar reptil, tetapi melambangkan sesuatu yang bertahan lama, tradisi yang terus diwarisi. Seperti tato tua dan seperti huruf Jawa yang sakit membaca dirinya mempertegas bahwa budaya dan identitas perlahan mulai kabur dalam kehidupan modern.
  2. Simbolisme Tradisi dan Kepercayaan: Penggunaan kata akidah kaku memperlihatkan bagaimana nilai-nilai lama tetap bertahan dengan keteguhan yang luar biasa. Rajah raja yang ditinggal tuah dan pucuk panah bisa dimaknai sebagai kerajaan-kerajaan lama yang telah kehilangan kejayaan dan kekuatannya.
  3. Nada Puitis yang Melankolis: Puisi ini memiliki nuansa reflektif dan sedikit melankolis, seolah-olah menyesali hilangnya makna dan jati diri dalam perubahan zaman. Namun, ada harapan dalam bagian terakhir, di mana ular yang melambangkan tradisi masih bisa bangkit kembali.
Puisi "Bilik Pembatik" karya A. Muttaqin adalah sebuah renungan mendalam tentang warisan budaya yang terus bertahan di tengah arus modernisasi. Dengan menggunakan metafora ular dan elemen tradisi seperti batik dan aksara Jawa, puisi ini menyoroti bagaimana nilai-nilai leluhur masih ada, meskipun semakin sulit dipahami oleh generasi masa kini.

Dalam konteks yang lebih luas, puisi ini mengajak pembaca untuk kembali menghargai dan memahami warisan budaya, karena di dalamnya terdapat sejarah, luka, cinta, dan identitas yang membentuk jati diri kita.

A. Muttaqin
Puisi: Bilik Pembatik
Karya: A. Muttaqin

Biodata A. Muttaqin:
  • A. Muttaqin lahir pada tanggal 11 Maret 1983 di Gresik, Jawa Timur.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Monolog Gemek untuk Jerapah Kau tinggikan lehermu hingga 1.000 kaki supaya kau karib dengan mukjizat dan para malaekat. Kusembunyikan diriku dalam ceruk tanah agar a…
  • Ulat Daun-daun ini yang mengajarku merapai bunyi, menghikmati matahari yang silih-berganti dengan baju subur berderai, memekari bunga dan mimpi, memanggili batu den…
  • Perjuangan Mencintai Pagi Hari 05:30. Anakku berjuang membuka mata. Aku berjibaku melepas mimpi. Istriku menggoreng kantuk hingga kriuk. Mertuaku merenungi gelap kopi…
  • Pasir Terukir Siapa suka mengukir pasir, akan sampailah ia ke pinggir: tempat dimana burung-burung tak (lagi) takut terkurung, dan perahu pemburu tersangkut di p…
  • Rumah Batu Di jantungku, ingin kubuat rumah batu, supaya bisa kumasukkan kau ke situ. Lalu, kugali sebuah telaga, bertabur ikan mungil yang lalu memanggil namamu…
  • Kafe (1) Kelak, jika kau mati, tubuhmu tumbuh menjadi tembakau, rohmu mondok di batang-batang rokok, sakitmu meresap ke biji-biji kopi, rindumu mengendap dan mendeka…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.