Sumber: Qasidah Langit Qasidah Bumi (2023)
Analisis Puisi:
Puisi "Berkaca pada Waktu" karya Tjahjono Widarmanto adalah sebuah karya yang sarat akan refleksi mendalam tentang waktu, kefanaan, dan kehidupan manusia. Melalui simbol-simbol yang kuat, puisi ini menggambarkan perjalanan waktu yang tak terelakkan serta bagaimana segala sesuatu di dunia ini pada akhirnya akan lapuk, menghilang, dan menjadi kenangan.
Makna dan Simbol dalam Puisi
Dalam puisi ini, waktu digambarkan dengan metafora yang kuat seperti "seranting waktu tanggal dari dahannya" dan "waktu ternyata hanya sarang laba-laba." Ungkapan ini memberikan kesan bahwa waktu adalah sesuatu yang rapuh, mudah runtuh, dan tidak bisa digenggam.
Ranting yang tanggal dari dahan melambangkan perjalanan hidup manusia yang akhirnya akan mencapai batasnya, seperti daun yang jatuh dan tak lagi memiliki kehidupan. Batang yang mengering dan haus mata air menggambarkan kehidupan yang kehilangan sumber kekuatannya—sebuah citraan yang bisa diasosiasikan dengan penuaan, kehampaan, atau kematian.
Selain itu, "jalan dan tikungan melingkar dalam kelam" mencerminkan perjalanan hidup yang penuh lika-liku dan ketidakpastian. Hal ini diperkuat dengan gambaran bahwa segala sesuatu hanya tinggal "huruf di kitab kuno yang tak bisa dibaca," menandakan bahwa sejarah atau kenangan akhirnya hanya menjadi sesuatu yang sulit dipahami oleh generasi berikutnya.
Waktu dan Kehampaan
Tjahjono Widarmanto juga menyampaikan gagasan bahwa waktu hanyalah sarang laba-laba—rapuh dan tidak nyata, mudah hancur dan dilupakan. "Jadi abu yang segera disapu kepak angin" menandakan betapa cepatnya sesuatu dapat lenyap tanpa bekas. Waktu, yang sering dianggap sebagai sesuatu yang abadi, dalam puisi ini justru digambarkan sebagai sesuatu yang mudah musnah dan tidak memiliki kekuatan untuk bertahan.
Di bagian lain puisi, penggambaran perempuan-perempuan yang menggali lubang di antara halimun dan hujan memberikan nuansa melankolis. Ini dapat diartikan sebagai kesedihan atau kehilangan yang terus berlangsung, dengan mereka bergerak "dengan diam, gontai dan mengerut," seolah pasrah pada perjalanan waktu.
Sementara itu, anak-anak yang "bergegas pergi sebelum parak pagi" dan "tak akan pernah pulang kembali" menggambarkan perjalanan kehidupan yang tidak bisa diulang. Masa kecil, kenangan, dan kebahagiaan yang dulu ada akhirnya lenyap seiring waktu berlalu.
Pencarian Matahari dan Kehampaan Waktu
Baris "di manakah segala matahari itu sembunyi, ibu?" mencerminkan pertanyaan eksistensial tentang harapan dan kehangatan yang mungkin telah hilang. Matahari yang biasanya melambangkan kehidupan, cahaya, dan harapan, dalam puisi ini justru disiratkan sebagai sesuatu yang menghilang atau tidak lagi tampak.
Bagian penutup yang berbicara tentang "lenguh rebab menggesek jantung," "musim mengkristal pada batu dan lumut," serta "wajah dan tubuh menghangus bersama waktu" memperkuat kesan tragis dari perjalanan waktu. Kehidupan perlahan-lahan tergerus, seperti musik yang sendu, musim yang membeku, dan tubuh yang akhirnya terhisap oleh kubur.
Puisi "Berkaca pada Waktu" adalah sebuah refleksi mendalam tentang kefanaan manusia. Tjahjono Widarmanto menggambarkan waktu sebagai sesuatu yang tak terhindarkan tetapi juga rapuh, sesuatu yang terus berjalan tetapi pada akhirnya akan lenyap.
Dengan metafora yang puitis dan penuh makna, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti kehidupan, bagaimana waktu terus menggerus segala sesuatu, dan bagaimana manusia hanya bisa pasrah menghadapi arus waktu yang tak dapat dilawan.