Puisi: Akuarium Ikan Sasar (Karya Agit Yogi Subandi)

Puisi "Akuarium Ikan Sasar" karya Agit Yogi Subandi adalah sebuah refleksi eksistensial tentang keterasingan, kepasrahan, dan siklus kehidupan.
Akuarium Ikan Sasar

Ayo, kita mencari makan di dasar...

aku tak mengira, kita berada di akuarium yang sama
mendendangkan lagu kesukaan dari jaman yang jauh
kemudian memintal lumut dari jaring-jaring waktu

sungguh akuarium ini penuh ketidak pasrahan
gambar yang ditempel di belakang
hanya menipu kita supaya tetap betah,

agar terasa seperti di rumah kita yang sesungguhnya
suatu hari aku pernah ingin melompat dari sini
tapi tak ada siapa-siapa di luar

begitu sepi oleh detak jarum jam
kecipakku saja dapat membangunkan orang-orang
yang sedang terlelap dan mengigau oleh siaran mimpi

mungkin belum terjadi, mungkin juga sudah terjadi
dan aku memilih tetap tinggal di sini
bersama kalian yang juga tersasar

bersama pasir-pasir mutiara, dan ganggang yang pasrah
memperhatikan udang-udang yang nakal
memamah ekor-ekor kita yang gemulai,

memungut pakan di pasiran...
dan kita harus waspada, siapa tahu tubuh kita
jadi menu makan malam baginya

setelah sebelumya, patin meregang nyawa
lantaran ia badung suka menggangu istirah udang
lihat, betapa ia menjarah makanan kita dengan suka ria

Ayo, kita kembali mencari makan...

2007

Analisis Puisi:

Puisi "Akuarium Ikan Sasar" karya Agit Yogi Subandi adalah sebuah refleksi eksistensial tentang keterasingan, kepasrahan, dan siklus kehidupan. Menggunakan metafora ikan dalam akuarium, puisi ini menggambarkan sebuah dunia yang terbatas, penuh ketidakpastian, namun tetap harus dijalani.

Melalui lirik yang puitis dan sarat makna, puisi ini menyelami perasaan para penghuni akuarium yang tersasar di dalamnya, tanpa tahu apakah ada dunia lain yang lebih baik di luar sana.

Akuarium sebagai Simbol Dunia yang Terbatas

Puisi ini langsung membuka gambaran tentang kehidupan dalam akuarium dengan kalimat:

Ayo, kita mencari makan di dasar...

Kalimat ini sederhana, tetapi mengandung makna mendalam. Ia menggambarkan rutinitas yang berulang dalam kehidupan para ikan di akuarium—sebuah keterbatasan ruang di mana mereka hanya bisa menjalani hari-hari yang sama.

Selanjutnya, ada kesadaran dari aku lirik bahwa mereka tidak sendirian dalam keterbatasan ini:

aku tak mengira, kita berada di akuarium yang sama
mendendangkan lagu kesukaan dari zaman yang jauh
kemudian memintal lumut dari jaring-jaring waktu

Akuarium di sini dapat ditafsirkan sebagai simbol kehidupan manusia yang terkekang oleh batasan-batasan sosial, rutinitas, atau bahkan takdir yang sudah ditentukan. Frasa mendendangkan lagu kesukaan dari zaman yang jauh bisa merujuk pada nostalgia terhadap masa lalu, sedangkan memintal lumut dari jaring-jaring waktu menandakan bahwa mereka hanya bisa menghabiskan waktu tanpa benar-benar bebas.

Ilusi Kebebasan dan Kepasrahan

Pada bagian ini, puisi menunjukkan bagaimana lingkungan akuarium memberikan rasa kenyamanan palsu kepada penghuninya:

sungguh akuarium ini penuh ketidakpasrahan
gambar yang ditempel di belakang
hanya menipu kita supaya tetap betah,

Akuarium diciptakan untuk meniru habitat asli ikan, tetapi pada kenyataannya, itu hanya sebuah ilusi. Para ikan tidak benar-benar hidup di alam liar, melainkan di dalam ruang terbatas yang dibuat agar mereka tetap merasa nyaman. Ini mencerminkan bagaimana manusia juga sering merasa "betah" dalam zona nyaman mereka, meskipun sebenarnya mereka hidup dalam keterbatasan yang sama setiap harinya.

Namun, ada dorongan untuk keluar dari keterbatasan itu:

suatu hari aku pernah ingin melompat dari sini
tapi tak ada siapa-siapa di luar

Frasa ini mencerminkan dilema antara tetap bertahan di dalam lingkungan yang sudah dikenal, meski penuh keterbatasan, atau mencoba keluar dan menghadapi ketidakpastian di luar. Namun, dunia luar ternyata tidak menjanjikan kebebasan—hanya kesunyian dan kehampaan.

begitu sepi oleh detak jarum jam
kecipakku saja dapat membangunkan orang-orang
yang sedang terlelap dan mengigau oleh siaran mimpi

Detak jarum jam menandakan waktu yang terus berjalan, tetapi kehidupan di luar tetap sunyi. Ini bisa diartikan sebagai kritik terhadap bagaimana manusia terjebak dalam rutinitas tanpa sadar bahwa mereka hanya menjalani hidup seperti "mengigau oleh siaran mimpi"—hidup dalam ilusi dan tidak benar-benar sadar akan realitas mereka.

Siklus Kehidupan dalam Akuarium

Bagian selanjutnya menyoroti bagaimana kehidupan di dalam akuarium memiliki hierarki dan siklusnya sendiri:

mungkin belum terjadi, mungkin juga sudah terjadi
dan aku memilih tetap tinggal di sini
bersama kalian yang juga tersasar

Frasa ini menunjukkan kesadaran bahwa para ikan dalam akuarium bukanlah makhluk yang sepenuhnya berdaya. Mereka tidak bisa mengubah nasib mereka, hanya bisa memilih untuk tetap bertahan dalam keterasingan ini.

Ada juga gambaran tentang ketidakadilan dan hukum rimba yang berlaku di dalam akuarium:

memperhatikan udang-udang yang nakal
memamah ekor-ekor kita yang gemulai,

Udang-udang yang memakan ekor ikan adalah simbol dari bagaimana kehidupan tetap memiliki konflik meskipun dalam ruang yang terbatas. Bahkan dalam keterbatasan, masih ada yang menindas dan ada yang tertindas.

dan kita harus waspada, siapa tahu tubuh kita
jadi menu makan malam baginya

Ancaman selalu ada, bahkan di tempat yang terasa aman. Ini menggambarkan bagaimana kehidupan tetap memiliki risiko, bahkan bagi mereka yang berpikir bahwa mereka sudah berada di lingkungan yang terkendali.

Kembali ke Rutinitas yang Tak Berujung

Puisi ini ditutup dengan kembali ke awal:

Ayo, kita kembali mencari makan...

Frasa ini mengulang bagian pertama puisi, menandakan bahwa kehidupan di dalam akuarium adalah sebuah siklus yang tak berujung. Tidak ada kebebasan sejati, tidak ada perubahan besar—hanya rutinitas yang terus berulang.

Tema dan Makna Keseluruhan

Puisi ini membawa beberapa tema utama:
  • Keterasingan dan Ketidakberdayaan – Para ikan dalam akuarium melambangkan manusia yang terjebak dalam rutinitas tanpa bisa keluar dari lingkaran hidup yang sama.
  • Ilusi Kebebasan – Akuarium memberikan kenyamanan palsu, seperti bagaimana manusia sering hidup dalam zona nyaman tanpa menyadari batasan mereka.
  • Siklus Kehidupan yang Berulang – Tidak ada perubahan drastis dalam kehidupan para ikan, seperti bagaimana manusia sering terjebak dalam pola hidup yang sama dari hari ke hari.
  • Ketidakadilan dan Hukum Rimba – Bahkan dalam keterbatasan, masih ada yang berkuasa dan ada yang ditindas.

Gaya Bahasa dalam Puisi

Puisi ini menggunakan beberapa teknik kebahasaan yang memperkuat maknanya:
  • Metafora – Akuarium sebagai simbol dunia yang terbatas, udang sebagai representasi kekuasaan yang menindas, serta gambar latar akuarium sebagai ilusi kenyamanan.
  • Personifikasi – Waktu digambarkan sebagai sesuatu yang sunyi tetapi tetap mengancam keberadaan para ikan.
  • Repetisi – Kalimat Ayo, kita mencari makan... mengulang bagian awal, mempertegas siklus kehidupan yang terus berulang.
Puisi "Akuarium Ikan Sasar" karya Agit Yogi Subandi adalah refleksi mendalam tentang keterbatasan hidup, keterasingan, dan siklus kehidupan yang tak berujung. Dengan menggunakan akuarium sebagai metafora kehidupan, puisi ini menyampaikan pesan bahwa meskipun ada keinginan untuk bebas, dunia luar belum tentu menawarkan sesuatu yang lebih baik.

Melalui gambaran tentang rutinitas, ilusi kenyamanan, dan hierarki sosial di dalam akuarium, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan apakah kita benar-benar bebas dalam kehidupan ini, atau hanya menjalani siklus yang sudah ditentukan tanpa sadar.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Akuarium Ikan Sasar
Karya: Agit Yogi Subandi

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.