Puisi: Aku Menulis (Karya Ahda Imran)

Puisi "Aku Menulis" karya Ahda Imran adalah sebuah ekspresi yang kuat tentang kondisi sosial, politik, dan lingkungan yang menekan.
Aku Menulis

Ketika malam menarik senja
dengan kasar
ketika hujan tak sampai
ke sungai
ketika ikan-ikan yang menggelepar
ditinggalkan

Aku menulis dengan tangan
yang sakit. Orang-orang terus bicara,
seperti ada tikus dalam mulutnya
setiap malam, mereka mencuri
sebatang pohon dari tubuh anakku
setiap pagi, mereka membuat
komplotan-komplotan baru

Aku menulis dengan tangan
yang sakit. Langit kering dan kaki-kaki
jembatan mengelupak. Kota penuh bendera,
suara telepon genggam, dan anak-anak muda
yang menginjak-injak potret presiden

Aku menulis dalam tahun-tahun
yang genting. Hari dan angin menderu,
menghembuskan abu dan patahan-patahan
gigi mayat. Kota perlahan tenggelam
ke dalam malam, seperti peti mati
yang mulai diturunkan, ketika
mereka membakar

seluruh pohon di tubuh anakku.

2003

Sumber: Penunggang Kuda Negeri Malam (2008)

Analisis Puisi:

Puisi "Aku Menulis" karya Ahda Imran adalah sebuah ekspresi yang kuat tentang kondisi sosial, politik, dan lingkungan yang menekan. Dengan bahasa yang lugas tetapi penuh simbolisme, puisi ini menggambarkan perasaan frustasi, ketidakberdayaan, dan perlawanan terhadap situasi yang penuh ketidakadilan.

Suasana Kelam dan Ketegangan dalam Puisi

Puisi ini dibuka dengan gambaran suasana yang muram dan penuh tekanan:

Ketika malam menarik senja
dengan kasar
ketika hujan tak sampai
ke sungai
ketika ikan-ikan yang menggelepar
ditinggalkan

Bait ini melukiskan dunia yang penuh ketidakberaturan dan kesedihan. Malam yang menarik senja dengan kasar bisa diartikan sebagai perubahan yang terjadi secara brutal, tanpa belas kasihan. Hujan yang tak sampai ke sungai melambangkan ketidakseimbangan alam atau ketidakadilan yang membuat kehidupan menjadi semakin sulit. Ikan-ikan yang menggelepar dan ditinggalkan bisa mewakili orang-orang yang menjadi korban dari keadaan yang menyengsarakan.

Menulis Sebagai Bentuk Perlawanan

Dalam bait berikutnya, penyair menegaskan bahwa menulis bukan sekadar aktivitas biasa, melainkan sebuah tindakan yang dilakukan dalam penderitaan:

Aku menulis dengan tangan
yang sakit.

Ungkapan ini menggambarkan bagaimana menulis menjadi bentuk perjuangan di tengah tekanan dan penderitaan. Tangan yang sakit bisa berarti luka fisik maupun batin, yang didapat karena realitas yang penuh kegetiran.

Orang-orang terus bicara,
seperti ada tikus dalam mulutnya

Perumpamaan ini mengisyaratkan bahwa banyak orang berbicara tanpa makna, penuh kebohongan, atau hanya sekadar omong kosong.

Setiap malam, mereka mencuri
sebatang pohon dari tubuh anakku

Metafora ini memperlihatkan perampasan yang terjadi terus-menerus, baik dalam bentuk eksploitasi sumber daya alam, hak-hak generasi muda, atau bahkan masa depan mereka.

Kritik Sosial yang Kuat

Puisi ini semakin menegaskan kritik terhadap situasi sosial yang penuh kekacauan dan ketidakadilan:

Aku menulis dengan tangan
yang sakit. Langit kering dan kaki-kaki
jembatan mengelupak. Kota penuh bendera,
suara telepon genggam, dan anak-anak muda
yang menginjak-injak potret presiden

Bait ini mencerminkan kondisi sosial-politik yang memburuk. Langit yang kering bisa menggambarkan keputusasaan atau kondisi lingkungan yang semakin rusak. Kota yang penuh bendera menunjukkan simbol nasionalisme atau propaganda politik yang tidak lagi bermakna, sementara anak-anak muda yang menginjak potret presiden bisa menjadi simbol pemberontakan terhadap sistem yang mereka anggap gagal.

Gambaran Kehancuran dan Penderitaan

Bagian akhir puisi semakin menekankan suasana genting dan kehancuran:

Aku menulis dalam tahun-tahun
yang genting. Hari dan angin menderu,
menghembuskan abu dan patahan-patahan
gigi mayat.

Bait ini membawa pembaca ke dalam suasana peperangan atau konflik yang menelan banyak korban. Abu dan patahan gigi mayat menjadi simbol kehancuran dan kematian yang menghantui kehidupan.

Kota perlahan tenggelam
ke dalam malam, seperti peti mati
yang mulai diturunkan, ketika
mereka membakar
seluruh pohon di tubuh anakku.

Metafora kota tenggelam ke dalam malam menggambarkan kehancuran total, baik secara fisik maupun moral. Kota menjadi gelap, seperti peti mati yang menandakan akhir dari suatu kehidupan. Pohon yang dibakar dalam tubuh anak melambangkan generasi yang dirampas masa depannya, mungkin karena kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat atau karena eksploitasi alam yang merugikan banyak orang.

Refleksi: Makna Puisi dalam Konteks Kehidupan

Puisi "Aku Menulis" bukan sekadar ungkapan kekecewaan pribadi, tetapi lebih dari itu, puisi ini adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan sosial, politik, dan lingkungan.

Beberapa tema utama yang dapat diambil dari puisi ini meliputi:
  1. Kritik terhadap ketidakadilan sosial dan politik: Penyair menggambarkan bagaimana kekuasaan yang tidak bertanggung jawab menyebabkan penderitaan bagi rakyat.
  2. Eksploitasi alam dan generasi muda: Pohon yang dicuri dari tubuh anak bisa dimaknai sebagai eksploitasi sumber daya alam dan hilangnya masa depan generasi muda akibat kebijakan yang tidak berpihak pada keberlanjutan.
  3. Perlawanan melalui tulisan: Menulis bukan hanya sekadar aktivitas kreatif, tetapi juga menjadi senjata melawan ketidakadilan.
Puisi "Aku Menulis" karya Ahda Imran adalah karya yang penuh emosi dan kritik sosial. Dengan bahasa yang lugas dan simbolisme yang kuat, puisi ini menggambarkan penderitaan dan kehancuran akibat ketidakadilan, sekaligus menegaskan bahwa menulis bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas.

Puisi ini mengajarkan bahwa suara seorang penulis dapat menjadi alat untuk menyampaikan kebenaran, mengungkap realitas yang tersembunyi, dan menginspirasi perubahan.

Ahda Imran
Puisi: Aku Menulis
Karya: Ahda Imran

Biodata Ahda Imran:
  • Ahda Imran lahir pada tanggal 10 Agustus 1966 di Baruah Gunuang, Sumatera Barat, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.