Puisi: Aku Ingin Kawini Seribu Pelacur (Karya Deni Puja Pranata)

Puisi "Aku Ingin Kawini Seribu Pelacur" Karya Deni Puja Pranata mengangkat tema kritik sosial dan kemanusiaan. Penyair menyuarakan keprihatinan ...
Aku Ingin Kawini Seribu Pelacur

Permohonan pada seribu penghulu
kawinkan aku dengan seribu pelacur
tanpa janur di sebelah pintu, bukan
di wisma juga bukan di lokalisasi

Berikan aku pulau yang sepi dan
setiap petak tanahnya akan kutanam
kuil, masjid, gereja, wihara, klenteng
di mana kelak, setiap anak-anakku
berlayar menyusuri lautan dan tak lagi
mengenal kemacetan serta bising knalpot

Sepanjang rel tanpa lintasan kereta
aku mengeja namamu dengan cemas
saat setelah ribuan demonstran
memblokir jalan menuntut naiknya BBM

Di lokasari, kramat tunggak, pulau bunder,
pelak pelak, pasar kembang, dolly dan jarak
apa kau dengar berita televisi menelanjangimu?

Aku ingin kawini seribu pelacur
yang vaginanya adalah air mata

Madura, 2014

Analisis Puisi:

Puisi "Aku Ingin Kawini Seribu Pelacur" Karya Deni Puja Pranata mengangkat tema kritik sosial dan kemanusiaan. Penyair menyuarakan keprihatinan terhadap realitas kehidupan para pekerja seks komersial (PSK), ketimpangan sosial, serta ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah gugatan terhadap moralitas sosial dan keinginan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang tersisihkan.
  • "Aku ingin kawini seribu pelacur" bisa dimaknai bukan sebagai keinginan literal, tetapi sebagai bentuk empati dan keinginan untuk memberi kehidupan yang lebih bermartabat bagi mereka yang sering dianggap hina oleh masyarakat.
  • "Berikan aku pulau yang sepi..." menunjukkan impian akan tempat yang bebas dari stigma sosial, di mana setiap orang bisa menjalani hidup tanpa diskriminasi.
  • "Di mana kelak, setiap anak-anakku berlayar..." menggambarkan harapan untuk generasi mendatang yang terbebas dari penderitaan dan kemacetan kehidupan sosial.
  • "Yang vaginanya adalah air mata" adalah metafora yang kuat, menunjukkan bahwa di balik tubuh mereka, terdapat kisah-kisah penderitaan yang menyedihkan.
Puisi ini bercerita tentang kritik terhadap ketidakadilan sosial yang dialami para pelacur serta kegelisahan penyair terhadap kondisi masyarakat yang penuh dengan kemunafikan.
  • Penyair menggambarkan dunia pelacuran bukan hanya sebagai tempat transaksi tubuh, tetapi sebagai simbol dari penderitaan dan ketimpangan sosial.
  • Ada harapan dalam puisi ini untuk membebaskan mereka dari sistem yang mengekang dan memberikan kehidupan yang lebih layak.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini penuh dengan kegelisahan, kepedihan, dan pemberontakan terhadap realitas sosial.
  • "Aku mengeja namamu dengan cemas..." menciptakan suasana penuh keresahan dan kekhawatiran.
  • "Setelah ribuan demonstran memblokir jalan menuntut naiknya BBM" menunjukkan kondisi sosial yang penuh gejolak dan ketidakstabilan.
  • "Berita televisi menelanjangimu" memperlihatkan bagaimana media sering mengeksploitasi penderitaan tanpa memberikan solusi nyata.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini adalah seruan untuk lebih memanusiakan mereka yang dianggap hina oleh masyarakat.
  • Penyair mengkritik cara pandang masyarakat yang sering menilai seseorang hanya dari profesinya tanpa memahami latar belakang kehidupan mereka.
  • Ada ajakan untuk membangun dunia yang lebih adil, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk hidup dengan bermartabat.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang menggugah emosi pembaca:
  • Imaji visual → "Berikan aku pulau yang sepi...", menggambarkan tempat yang jauh dari stigma dan penindasan.
  • Imaji auditif → "Berita televisi menelanjangimu", memberikan gambaran eksploitasi media yang menyuarakan realitas pahit dengan cara yang sensasional.
  • Imaji perasaan → "Vaginanya adalah air mata", menciptakan gambaran menyedihkan tentang kehidupan para pelacur yang penuh dengan luka dan penderitaan.

Majas

Puisi ini menggunakan berbagai majas yang memperkuat maknanya:
  • Metafora → "Vaginanya adalah air mata", melambangkan penderitaan dan kesedihan yang mendalam.
  • Personifikasi → "Berita televisi menelanjangimu", menggambarkan media sebagai entitas yang mempermalukan seseorang secara paksa.
  • Hiperbola → "Aku ingin kawini seribu pelacur", bukan bermakna literal, tetapi sebagai bentuk ekstrem dari kepedulian dan protes sosial.
Puisi "Aku Ingin Kawini Seribu Pelacur" karya Deni Puja Pranata adalah kritik sosial yang tajam terhadap ketidakadilan dan kemunafikan masyarakat dalam memandang pekerja seks komersial. Dengan penggunaan metafora yang kuat dan suasana yang penuh kegelisahan, puisi ini mengajak pembaca untuk lebih memahami sisi kemanusiaan dari mereka yang sering dikucilkan. Penyair menggambarkan harapan akan dunia yang lebih adil, di mana tidak ada lagi diskriminasi berdasarkan profesi atau status sosial.

Deni Puja Pranata
Puisi: Aku Ingin Kawini Seribu Pelacur
Karya: Deni Puja Pranata

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.