Puisi: Wislawa (Karya Oka Rusmini)

Puisi "Wislawa" karya Oka Rusmini mengajak pembaca untuk merenung tentang gambaran perempuan yang kuat, penuh kontradiksi, dan sangat kompleks.
Wislawa

Kukenal perempuan tua dengan senyum pahit dan rambut blonde kering. Dia hidup dengan dua laki-laki yang disimpan dalam ketiak penuh parfum. Dia pandai merajut huruf dengan keliaran yang dipahatkan di sudut bumi. Bau tanah, aroma otak, dan rasa lapar wujud perempuannya muncrat. Dia bicara dengan segaris senyum pahit, tak terbaca. Orang-orang merasa menyentuhnya, mungkin juga melumatnya.

Aku sering memandang matanya. Sebuah anak sungai kecil yang membunuh aliran darah laut.

Kukenal perempuan tua dengan bunga rumput di dada tipisnya, yang tersenyum dengan mata sipit, mengajakku bertaruh. Dia inginkan wujudku. Rasa lapar dan segenggam kegilaan.

"Cangkul otakmu. Kusemaikan bibit bunga rumput di setiap helai rambutmu. Perkawinan? Sebuah permainan penuh busa bir. Teguk. Pecahkan buihnya. Jangan sentuh tubuhnya. Tidurkan dia di kakimu. Aku pandai merajut helai kehidupan. Di ambang usiaku ini, kutelan masa kanak- kanakku. Para lelaki kulecut di dada sambil meminang cairan darah. Memisahkan tubuhku. Tiga detik saja. Kau ikut? Berpesta sambil merajam tubuh."

Kukenal perempuan tua dengan garis pucat di dahi. sering sekali dia datang. Membakar daging, meremas tulang dan jantung. Pelan-pelan kumuntahkan anak-anak.

1999

Sumber: Pandora (2008)

Analisis Puisi:

Puisi "Wislawa" karya Oka Rusmini mengajak pembaca untuk merenung tentang gambaran perempuan yang kuat, penuh kontradiksi, dan sangat kompleks. Melalui bahasa yang puitis namun sarat makna, Oka Rusmini menggambarkan sebuah figur perempuan tua yang hidup dalam dunia yang penuh dengan paradoks: dari senyum pahit hingga kehidupan yang penuh dengan kenangan, pengorbanan, serta pemberontakan terhadap norma sosial. Dalam puisi ini, Wislawa bukan sekadar sebuah karakter, melainkan representasi dari perasaan, pemikiran, dan pengalaman seorang perempuan yang mencoba untuk melawan dan membebaskan dirinya dari belenggu tradisi dan ekspektasi sosial.

Gambaran Perempuan Tua yang Kontras dan Penuh Keberanian

Puisi dimulai dengan pengenalan terhadap seorang "perempuan tua dengan senyum pahit dan rambut blonde kering." Pemilihan kata "perempuan tua" mengisyaratkan usia yang tidak muda lagi, tetapi diwarnai dengan pengalaman dan banyak lapisan emosi. "Senyum pahit" adalah gambaran tentang kepahitan yang sudah terpendam jauh di dalam diri perempuan tersebut. Ia tampak menyimpan banyak kisah hidup yang tak terucapkan, tetapi tetap ada dalam setiap detil ekspresinya.

Frasa "rambut blonde kering" menguatkan kesan tentang keremajaan yang telah pudar. Warna rambut yang biasanya identik dengan cahaya matahari dan keceriaan justru digambarkan sebagai "kering," yang menyiratkan kekeringan emosional dan pengalaman hidup yang keras.

Selain itu, perempuan ini "hidup dengan dua laki-laki yang disimpan dalam ketiak penuh parfum." Kalimat ini mengungkapkan ketergantungan atau hubungan yang ambigu, seolah-olah para lelaki tersebut ada untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya, namun tetap terperangkap dalam wangi parfum yang mengelilingi mereka, menciptakan distorsi antara realitas dan penampilan luar yang glamor.

Perempuan sebagai Kekuatan yang Mengguncang dan Merajut Kehidupan

Puisi ini melanjutkan dengan menggambarkan perempuan tersebut yang "pandai merajut huruf dengan keliaran yang dipahatkan di sudut bumi." Kata "merajut" memberi kesan bahwa perempuan ini menghubungkan banyak elemen dalam hidupnya—baik itu perasaan, pemikiran, atau peristiwa—dalam satu kesatuan yang padu. Namun, kata "keliaran" juga mencerminkan sifat liar dan tak terkendali, menggambarkan bahwa meskipun ia berusaha merajut kehidupan, ada elemen pemberontakan yang tak bisa ditahan.

Metafora "Bau tanah, aroma otak, dan rasa lapar wujud perempuannya muncrat" mengingatkan kita pada konsep kehidupan yang sangat mendalam, primal, dan fisikal. Tanah, otak, dan lapar mewakili elemen-elemen dasar kehidupan: kebutuhan fisik, intelektual, dan emosional yang tak terpisahkan. Keinginan, dorongan, dan naluri perempuan ini tidak bisa diredam, ia keluar begitu saja, tidak terbendung. Ini menampilkan gambaran seorang perempuan yang tidak takut menunjukkan siapa dirinya, meski itu terkesan keras dan mentah.

Senyum Pahit sebagai Lambang Kehidupan yang Tak Terungkapkan

Perempuan ini "bicara dengan segaris senyum pahit, tak terbaca," yang mengindikasikan bahwa apa yang ia sampaikan tak dapat sepenuhnya dipahami oleh orang lain. Ada semacam misteri yang menyelubungi dirinya, dan senyum pahit itu merupakan penanda dari kesedihan, pengalaman hidup yang tidak terungkapkan sepenuhnya, tetapi tetap ada di sana, di balik senyumannya.

Kalimat "Orang-orang merasa menyentuhnya, mungkin juga melumatnya" menambah kedalaman karakter ini. Perempuan ini mungkin tampak dekat dengan orang lain, namun pada saat yang sama, ada kesan bahwa orang-orang itu hanya melihat permukaannya saja, dan tidak pernah benar-benar memahami dirinya yang lebih dalam. Ini bisa diartikan sebagai kritik terhadap objektifikasi perempuan dalam masyarakat, di mana mereka sering kali hanya dilihat sebagai objek yang dapat "sentuh" atau "lumat," tanpa benar-benar mengerti kompleksitas diri mereka.

Perempuan Sebagai Simbol Pemberontakan dan Kebebasan

Salah satu bagian yang paling menonjol dalam puisi ini adalah penggambaran perempuan yang berani menantang norma sosial. Ia "mengajak bertaruh," seolah-olah hidup ini adalah sebuah permainan yang penuh dengan taruhannya. "Dia inginkan wujudku. Rasa lapar dan segenggam kegilaan" menunjukkan bahwa perempuan ini mencari lebih dari sekadar keberadaan fisik atau kedamaian emosional. Ia mencari pengalaman yang lebih liar, lebih berani, dan lebih bebas.

Dialog dalam puisi ini sangat kuat, terutama pada kalimat:

"Cangkul otakmu. Kusemaikan bibit bunga rumput di setiap helai rambutmu. Perkawinan? Sebuah permainan penuh busa bir. Teguk. Pecahkan buihnya. Jangan sentuh tubuhnya. Tidurkan dia di kakimu."

Kalimat ini berbicara tentang pencarian kebebasan dari segala bentuk konvensi sosial, termasuk perkawinan, yang dilihat sebagai "permainan penuh busa bir." Perempuan ini menantang segala bentuk pengendalian atau ekspektasi terhadap dirinya dan tubuhnya. Ia bahkan menciptakan dunia sendiri di mana dia berperan aktif dalam menentukan takdir dan nasibnya, bebas dari pengaruh luar.

Kesakitan, Kehidupan, dan Pemberontakan yang Tak Terhentikan

Bagian akhir puisi ini menggambarkan kedatangan perempuan tersebut dengan "garis pucat di dahi," yang menyiratkan kesedihan, penderitaan, atau pengalaman hidup yang menggerogoti dirinya. "Bakar daging, remas tulang dan jantung" adalah gambaran dari proses hidup yang keras dan penuh penderitaan, di mana setiap elemen tubuh dan perasaan harus melalui cobaan dan pergolakan. Namun, meskipun ia merasa terbakar, ia tetap mampu "memuntahkan anak-anak," yang bisa diartikan sebagai generasi baru, pemikiran baru, atau penciptaan baru yang lahir dari dalam dirinya, meskipun segala penderitaan itu ada.

Puisi "Wislawa" karya Oka Rusmini adalah sebuah karya yang kaya akan lapisan makna dan simbolisme. Perempuan yang digambarkan dalam puisi ini adalah sosok yang penuh kontradiksi—sangat kuat dan pemberontak, namun juga penuh dengan kesedihan dan pengalaman hidup yang mendalam. Puisi ini mengajak pembaca untuk melihat perempuan tidak hanya sebagai objek atau entitas yang pasif, tetapi sebagai individu yang memiliki kekuatan, keinginan, dan kemampuan untuk menciptakan dunia sendiri.

Melalui bahasa yang tajam dan metafora yang puitis, Oka Rusmini berhasil menghadirkan gambaran seorang perempuan yang tidak takut untuk menghadapi kesulitan hidup, mengubahnya, dan bahkan menantang aturan-aturan sosial yang mengikatnya. Puisi "Wislawa" adalah sebuah pernyataan tentang kebebasan, pemberontakan, dan pencarian identitas perempuan yang kompleks.

Oka Rusmini
Puisi: Wislawa
Karya: Oka Rusmini

  • Oka Rusmini lahir di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1967.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Minggu, 26-12-04 Pukul berapa ini? Langit terlihat lebih jernih. Bau apa yang datang? Begitu dingin, bukan bau bunga jeumpa. Juga tidak suara daun kelapa disentuh sapuan buih l…
  • Mencari Sketsa Wajah Tuhan (?) bau dupa, lawar anyir, sesaji busuk kupas nyawa dalam nyali jiwa melompong melahirkan jerih yang makin menggelepar nafas kerauhan dan wajah-w…
  • Potret (1) Aku telah tumpahkan tetes darah paling hitam pada secangkir kertas putih kunikmati wajahku dengan rumbai yang melintang menarik gurat tersendiri pada sud…
  • Bajang-Bajang (1) Kau bisa memandang dengan matamu yang hitam? Lalu kautelanjangi satu demi satu rangkaian yang bertengger di Kuri Gede Kau diam ketika semburat warna dan tan…
  • Pengembara Rimba Laut Biar kulukis setiap Rahim buih laut Toreh tubuhmu Lahirkan daun dan bunga karang Dari kepucatan warna waktumu Dengan taksu, awan mewarnai laut Pasi…
  • Pulanginilah perjalanan terakhirkucium setiap telapak kaki yang kaukuburbunga-bunga kuciptakan dari berpuluh tahun impianyang kutanam sejak kanak-kanaksering kubertanya pada tumpuk…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.