Wis Makaping-kaping
wis makaping-kaping dak-etung
driji iki ndumuk lekukuing cabdhi gruwung
kang isih mesem nantang kahanan
ing sela selane manuk prenjak padha jumpritan
wis makaping-kaping aku sila sedhakep
madhep pusering raina lan wengi
kang saiki sangsaya kisruh lan ngruket
panguripan kang mubeng nindhes ati
aja crita maneh bab polusi
alas-alas garing kebrongot materi
manuk greja dadi sasarane pati
awit langgar lan masjid wis nguyek wengi
lan wong-wong ra sa turn kepati
mula pancen bener kandhamu ika:
- donya wis dadi neraka, neraka!
Bendul Merisi, Surabaya, 10 Juni 1984
Jaya Baya, 1985
Sumber: Antologi Puisi Jawa Modern Jawa Timur 1981-2008 (2011)
Analisis Puisi:
Puisi "Wis Makaping-kaping" karya Suripan Sadi Hutomo adalah salah satu karya sastra berbahasa Jawa yang mendalam, penuh makna filosofis dan sosial. Karya ini mengangkat berbagai persoalan yang menggambarkan kondisi kehidupan manusia modern dengan segala kekacauan, kerusakan lingkungan, dan krisis nilai yang terjadi.
Struktur dan Makna Puisi
Puisi ini terdiri dari empat bait, masing-masing menyampaikan suasana hati, observasi sosial, dan renungan mendalam tentang dunia yang terus berubah.
Bait Pertama: Keresahan dan Observasi
Wis makaping-kaping dak-etung
druji iki ndumuk lekukuing cabdhi gruwung
Baris ini membuka dengan suasana kontemplatif. Penulis menggambarkan dirinya menghitung sesuatu yang telah terjadi berulang kali (makaping-kaping), dengan jari yang seolah menyentuh bekas luka yang mendalam (lekukuing cabdhi gruwung). Bekas luka ini metafor dari kerusakan atau penderitaan yang terus terjadi dalam kehidupan.
Simbol manuk prenjak padha jumpritan menunjukkan keriuhan kecil dalam dunia yang penuh konflik. Burung prenjak, yang kecil dan lincah, menjadi lambang kehidupan alam yang terus bertahan di tengah berbagai gangguan.
Bait Kedua: Kekacauan Batin dan Kehidupan Modern
Wis makaping-kaping aku sila sedhakepmadhep pusering raina lan wengi
Bait kedua menunjukkan refleksi batin yang semakin dalam. Penulis menghadap ke pusat (pusering raina lan wengi), mungkin menggambarkan malam dan kehidupan sebagai pusat dari segala kesemrawutan.
Frasa panguripan kang mubeng nindhes ati memperlihatkan kehidupan yang berputar seperti roda, namun justru menindas hati. Ini menggambarkan tekanan dan tantangan dunia modern yang semakin tidak manusiawi.
Bait Ketiga: Kritik Sosial dan Kerusakan Lingkungan
aja crita maneh bab polusialas-alas garing kebrongot materi
Bait ini berisi kritik tajam terhadap polusi dan eksploitasi alam. Kerusakan hutan (alas-alas garing kebrongot materi) melambangkan kehancuran lingkungan akibat kerakusan manusia terhadap materi.
Selain itu, manuk greja dadi sasarane pati menunjukkan hilangnya kehidupan alam karena ulah manusia. Burung gereja, yang biasanya menjadi simbol kedamaian, malah menjadi korban.
Krisis spiritualitas juga digambarkan dalam baris berikutnya: langgar lan masjid wis nguyek wengi. Tempat-tempat ibadah, yang seharusnya menjadi tempat mencari ketenangan, justru digambarkan sebagai simbol kekosongan spiritual di tengah hiruk-pikuk dunia.
Bait Keempat: Dunia Sebagai Neraka
mula pancen bener kandhamu ika:- donya wis dadi neraka, neraka!
Penutup puisi ini memberikan kesimpulan tragis bahwa dunia telah menjadi neraka. Kalimat ini menggambarkan keadaan manusia yang kehilangan arah, terjebak dalam krisis moral, spiritual, dan lingkungan.
Pesan Utama Puisi
Puisi ini merupakan renungan mendalam atas kehancuran lingkungan dan krisis nilai yang melanda manusia. Beberapa pesan utama yang dapat diambil adalah:
- Kerusakan Lingkungan: Manusia telah menghancurkan alam demi kepentingan materi, tanpa memikirkan dampaknya.
- Krisis Spiritual: Kehidupan modern dipenuhi kekosongan spiritual yang membuat manusia semakin tertekan dan kehilangan arah.
- Keputusasaan: Dunia digambarkan sebagai tempat yang penuh penderitaan, bagaikan neraka, karena ulah manusia itu sendiri.
Relevansi dengan Kehidupan Modern
Puisi ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana isu lingkungan, polusi, dan krisis spiritual menjadi masalah global. Eksploitasi sumber daya alam, perubahan iklim, serta ketegangan sosial adalah fenomena nyata yang digambarkan secara metaforis oleh Suripan Sadi Hutomo.
Kekuatan Gaya Bahasa
Karya ini menunjukkan kekuatan puitis Suripan Sadi Hutomo melalui penggunaan bahasa yang kaya metafor dan simbol. Beberapa kekuatan utama gaya bahasanya adalah:
- Penggunaan Bahasa Jawa: Menghadirkan rasa lokal yang kuat, namun dengan pesan yang universal.
- Metafor: Seperti manuk prenjak, pusering wengi, dan langgar lan masjid, yang membawa pembaca pada berbagai lapisan makna.
- Nada Reflektif: Puisi ini tidak hanya menggambarkan, tetapi juga mengajak pembaca merenungkan kondisi dunia.
Puisi "Wis Makaping-kaping" adalah puisi yang menggugah kesadaran akan realitas dunia yang penuh kerusakan dan krisis. Karya ini menjadi cermin bagi manusia untuk merenungkan kembali tindakannya terhadap lingkungan dan kehidupan spiritual. Dengan kekayaan gaya bahasa dan pesan yang mendalam, Suripan Sadi Hutomo berhasil menciptakan karya yang tak lekang oleh waktu.
Puisi ini mengajarkan bahwa meskipun dunia sedang kacau, refleksi diri dan kesadaran manusia dapat menjadi awal perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.
Karya: Suripan Sadi Hutomo
Biodata Suripan Sadi Hutomo:
- Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
- Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.