Warisan
kuterima luka ini
bagai ibu bagai kakek bagai datukdatukdatukdatukku . . .
mendapatkannya
tik
tik
ngucur berdetak
antik
lukalama di mula abad
masih sama denyarnya
ngilu
mendenyut
mancarkan marwah
1977
Sumber: Horison (Januari, 1978)
Analisis Puisi:
Puisi "Warisan" karya Sutardji Calzoum Bachri adalah salah satu karya yang mencerminkan kekhasan gaya sang penyair sebagai "Presiden Penyair Indonesia." Melalui penggunaan kata-kata yang padat, penuh simbol, dan permainan bunyi, Sutardji menciptakan puisi yang tak hanya menghadirkan makna verbal, tetapi juga pengalaman puitis yang mendalam.
Interpretasi Makna Puisi "Warisan"
- Luka Sebagai Warisan Generasi: Baris pembuka, "kuterima luka ini," memperlihatkan bahwa luka bukan hanya pengalaman pribadi, melainkan warisan yang diterima dari generasi sebelumnya. Frasa "bagai ibu bagai kakek bagai datukdatukdatukdatukku" menunjukkan betapa mendalam dan panjangnya rantai warisan ini, melibatkan leluhur hingga masa lampau yang jauh. Luka yang dimaksud bukan sekadar luka fisik, tetapi lebih kepada luka kolektif—sebuah simbol dari penderitaan, perjuangan, atau pengalaman sejarah yang terus diwariskan. Ini bisa merujuk pada trauma kolonialisme, konflik sosial, atau tantangan budaya yang dihadapi bangsa.
- Denyut Luka yang Masih Hidup: Pada baris berikutnya, "tik tik ngucur berdetak antik," Sutardji menghadirkan kesan ritmis yang mencerminkan keberlangsungan luka tersebut. Kata antik menunjukkan bahwa luka ini sudah lama ada, tetapi tetap terasa relevan dan nyata. Luka yang diwariskan ini bukanlah sesuatu yang mati; ia masih hidup, "masih sama denyarnya."
- Ngilu yang Memancarkan Marwah: Bagian akhir puisi, "ngilu mendenyut mancarkan marwah," adalah klimaks dari makna yang ingin disampaikan. Luka yang dirasakan ternyata tidak hanya membawa penderitaan, tetapi juga memancarkan kebanggaan, kehormatan, atau marwah. Luka ini menjadi pengingat akan identitas dan perjuangan kolektif yang memperkuat jati diri generasi penerus.
Gaya Bahasa dan Struktur Puisi
- Permainan Bunyi dan Ritme: Puisi ini kaya akan permainan bunyi yang memberikan efek ritmis dan musikalitas. Frasa seperti "tik tik ngucur berdetak antik" membangkitkan nuansa bunyi yang menyerupai denyut nadi atau aliran darah, seolah menghidupkan luka yang dimaksud.
- Pengulangan dan Intensitas: Pengulangan dalam "datukdatukdatukdatukku" memperkuat kesan bahwa luka ini sudah berlangsung selama generasi yang tak terhitung. Struktur pengulangan ini menciptakan rasa keterhubungan yang kuat dengan masa lalu.
- Simbolisme Luka: Luka dalam puisi ini bersifat simbolis, mewakili beban sejarah, pengalaman kolektif, dan nilai-nilai yang diwariskan. Luka tidak hanya menjadi tanda derita, tetapi juga sebuah pengingat akan identitas dan perjuangan.
- Visual dan Imaji Waktu: Baris seperti "lukalama di mula abad" menciptakan imaji yang kuat tentang perjalanan waktu. Luka ini sudah ada sejak awal, menghubungkan masa kini dengan sejarah panjang yang melingkupinya.
Relevansi Puisi "Warisan" dengan Kehidupan Modern
- Luka Kolektif Sebagai Identitas: Puisi ini relevan dalam konteks modern, di mana generasi muda sering dihadapkan pada tantangan untuk memahami warisan sejarah dan budaya mereka. Luka yang diwariskan bukan sekadar penderitaan, tetapi juga sumber identitas yang harus dipahami dan dihargai.
- Pengingat Akan Perjuangan Leluhur: Dalam dunia yang semakin global, puisi ini menjadi pengingat bahwa setiap individu membawa jejak sejarah dari leluhurnya. Ini penting dalam membangun rasa bangga terhadap warisan budaya dan perjuangan yang telah dilakukan generasi sebelumnya.
- Menemukan Makna di Balik Penderitaan: Puisi Warisan mengajarkan bahwa luka, meskipun menyakitkan, memiliki makna yang lebih besar. Luka bukan hanya tentang penderitaan, tetapi juga tentang pembelajaran, kekuatan, dan marwah yang lahir darinya.
Pesan Moral dari Puisi "Warisan"
- Menghargai Sejarah dan Leluhur: Setiap generasi membawa beban dan hikmah dari generasi sebelumnya. Luka yang diwariskan adalah pengingat bahwa kita adalah bagian dari perjalanan panjang yang lebih besar.
- Menerima Luka sebagai Bagian dari Kehidupan: Luka bukan sesuatu yang harus disesali, tetapi sesuatu yang harus diterima dan dimaknai. Dalam luka, ada pelajaran dan kekuatan yang dapat memperkaya kehidupan.
- Luka sebagai Sumber Kehormatan: Puisi ini menekankan bahwa meskipun luka menyakitkan, ia juga memancarkan marwah. Dengan memahami dan menghargai luka tersebut, kita dapat menemukan kebanggaan dan kehormatan yang mendalam.
Puisi "Warisan" karya Sutardji Calzoum Bachri adalah sebuah karya yang kaya akan makna dan simbolisme. Melalui permainan bunyi, pengulangan, dan imaji yang kuat, Sutardji berhasil menciptakan puisi yang menggugah refleksi tentang warisan sejarah, luka kolektif, dan identitas budaya.
Dalam dunia modern, puisi ini relevan sebagai pengingat untuk memahami dan menghargai warisan masa lalu. Luka yang diwariskan bukan hanya tanda derita, tetapi juga sumber kekuatan, kebanggaan, dan marwah yang membentuk identitas kita hari ini.
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
Biodata Sutardji Calzoum Bachri:
- Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
- Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.