Turun ke Laut
Di bawah gubalan perada warna
Tinggi-rendah laut mengalun,
Di tepi langit kabur dan sayup
Tampak biduk ayahku punya;
Dalam ayunan gelombang berpalun
Mencari nafkah tambatan hidup.
Kalau hari hampirkan pagi,
Kokok ayam sudah pelahan,
Terdengarlah jala di bahu berdesir,
Itulah masa ayahku pergi,
Murai ucapkan selamat jalan,
Aku tegak tercenung di pasir.
Sumber: Kata Hati (1941)
Analisis Puisi:
Puisi "Turun ke Laut" karya Rifa'i Ali menggambarkan kehidupan sederhana yang erat kaitannya dengan alam, keluarga, dan pengorbanan. Dalam puisi ini, penyair menggunakan simbol-simbol alam untuk menggambarkan perasaan batin yang mendalam, dengan fokus utama pada sosok seorang ayah yang berjuang demi kelangsungan hidup keluarga. Melalui deskripsi tentang laut, biduk, dan kehidupan pesisir, puisi ini membangkitkan rasa hormat terhadap jerih payah seseorang yang tidak tampak namun memiliki makna besar dalam kehidupan kita.
Tema Utama: Pengorbanan dan Kehidupan Sehari-hari
Puisi ini mengangkat tema kehidupan sehari-hari yang penuh dengan perjuangan. Dalam konteks ini, perjuangan tersebut terwujud dalam sosok seorang ayah yang bekerja keras di laut demi menghidupi keluarganya. Puisi ini menggambarkan bahwa meskipun kehidupan yang dijalani tampak sederhana, ada banyak pengorbanan yang terkandung di dalamnya.
"Di bawah gubalan perada warna"
Kalimat ini memberikan gambaran visual yang kuat tentang laut yang dipenuhi dengan cahaya dan warna. "Gubalan perada warna" bisa dipahami sebagai gambaran alam yang penuh warna, menandakan keindahan sekaligus kerasnya kehidupan laut yang harus dihadapi oleh para nelayan.
"Tinggi-rendah laut mengalun"
Frasa ini menyimbolkan perjalanan hidup yang penuh pasang surut. Seperti halnya kehidupan di laut, seseorang harus menghadapi ketidakpastian dan perubahan yang terus-menerus.
"Tampak biduk ayahku punya"
Biduk di sini melambangkan kapal atau perahu yang digunakan oleh sang ayah untuk mencari nafkah. Biduk ini menjadi simbol perjuangan ayah dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari.
Konteks Alam dan Simbolisme Laut
Laut, dalam puisi ini, berfungsi sebagai simbol kehidupan yang luas dan tak terduga. Gelombang yang "tinggi-rendah" menggambarkan kenyataan bahwa dalam hidup, ada saat-saat penuh kegembiraan dan ada pula saat-saat penuh tantangan. Laut bukan hanya sebuah tempat fisik, tetapi juga sebuah gambaran tentang kehidupan yang harus dijalani dengan penuh ketabahan.
"Di tepi langit kabur dan sayup"
Gambarannya yang kabur dan sayup menciptakan kesan kesulitan atau ketidakjelasan dalam kehidupan yang dihadapi. Namun demikian, sosok ayah tetap berusaha untuk terus berlayar mencari nafkah meskipun keadaan mungkin tidak selalu mendukung.
"Mencari nafkah tambatan hidup"
Frasa ini menggambarkan betapa laut menjadi sumber utama nafkah bagi keluarga. Laut menjadi tempat yang memberikan kehidupan, namun juga penuh tantangan. Perjuangan ayah yang dilakukan dengan gigih menggambarkan pengorbanan yang tak pernah terlihat, tetapi sangat berarti bagi keluarganya.
Pengorbanan Seorang Ayah
Sosok ayah dalam puisi ini digambarkan sebagai seorang pekerja keras yang berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya. Meskipun ia harus menghadapi kesulitan dan tantangan yang berat di laut, ia tetap melakukannya dengan penuh ketabahan. Ayah dalam puisi ini bisa dipahami sebagai simbol dari banyak orang yang bekerja keras untuk kelangsungan hidup keluarga, sering kali tanpa banyak pengakuan.
"Kalau hari hampirkan pagi"
Kalimat ini menunjukkan rutinitas kehidupan sang ayah, yang harus pergi mencari nafkah sejak dini hari. Ini menggambarkan kedisiplinan dan pengorbanan ayah yang tidak kenal lelah.
"Kokok ayam sudah pelahan"
Kokok ayam menandakan fajar yang mulai menyingsing, menandakan waktu bagi ayah untuk memulai harinya. Penggunaan elemen alam ini memperlihatkan keterhubungan kehidupan manusia dengan alam sekitar.
Simbolisme dalam Alam dan Kehidupan Sehari-hari
Puisi ini menggunakan simbolisme yang kaya untuk menggambarkan kehidupan keluarga nelayan. Laut, biduk, kokok ayam, dan murai semuanya adalah elemen alam yang mewakili dinamika kehidupan.
"Itulah masa ayahku pergi"
Kalimat ini menunjukkan bahwa perjalanan sang ayah adalah bagian dari siklus kehidupan yang tidak bisa dihindari. Ayah pergi untuk bekerja, meninggalkan keluarga dengan harapan dapat kembali membawa nafkah.
"Murai ucapkan selamat jalan"
Murai, sebagai simbol burung yang sering kali dianggap sebagai penghubung antara manusia dan alam, memberikan kesan bahwa alam turut merasakan perpisahan antara ayah dan anak. Ini memperlihatkan kesan bahwa kehidupan ini adalah suatu perjalanan yang tak terelakkan, dan alam menjadi saksi bisu bagi setiap langkahnya.
Refleksi pada Anak dan Masa Depan
Di akhir puisi, pembaca dibawa untuk merenung melalui perspektif sang anak yang "tegak tercenung di pasir." Pasir di sini bisa dilihat sebagai simbol dari kehidupan yang sementara, tempat di mana jejak kaki orang tua akan hilang, tetapi kenangan dan perjuangan mereka akan tetap hidup.
Puisi ini mengingatkan kita tentang pentingnya menghargai pengorbanan orang tua, terutama seorang ayah yang bekerja keras tanpa mengenal lelah demi keluarga. Meskipun sang ayah mungkin tidak selalu ada di samping kita, perjuangannya tetap membekas dalam setiap langkah kehidupan kita.
Puisi "Turun ke Laut" karya Rifa'i Ali adalah puisi yang menyentuh dan sarat makna, menggambarkan kehidupan seorang ayah yang berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Puisi ini mengajarkan kita untuk lebih menghargai pengorbanan orang tua, terutama ayah, yang sering kali tak tampak dalam keseharian kita namun memberikan dampak besar dalam hidup kita. Dengan menggunakan simbolisme alam yang kaya, puisi ini memperlihatkan hubungan yang erat antara kehidupan manusia dengan dunia alam, serta pentingnya menghargai setiap perjuangan yang tidak selalu terlihat.
Puisi: Turun ke Laut
Karya: Rifa'i Ali
Biodata Rifa'i Ali:
- Rifa'i Ali lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 24 April 1909.
- Rifa'i Ali adalah salah satu Sastrawan Angkatan Pujangga Baru.