Puisi: Tidur (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Tidur" karya Gunoto Saparie adalah sebuah refleksi mendalam tentang perjuangan manusia melawan godaan dan kebingungan spiritual.
Sajak Tidur

dalam gelap aku tertidur
tak ada mimpi selain mengigau
menyebut nama dan alamatmu
di sarung bantal terlukis peta liur

dalam gelap aku terlelap
tak ingat rumah dan kitab
dalam gelap kau membujukku
untuk terus berdusta kepada Allahku

2021

Analisis Puisi:

Puisi "Tidur" karya Gunoto Saparie adalah salah satu puisi yang sarat akan makna filosofis dan religius. Melalui dua baitnya yang singkat namun mendalam, puisi ini menggambarkan perjalanan batin manusia di tengah kegelapan, baik secara literal maupun metaforis. Tidur menjadi simbol dari kondisi ketidaksadaran, keraguan, hingga pergulatan moral.

Bait Pertama: Tidur dalam Ketidaksadaran

dalam gelap aku tertidur
tak ada mimpi selain mengigau
menyebut nama dan alamatmu
di sarung bantal terlukis peta liur

Pada bait pertama, tidur dilukiskan sebagai keadaan gelap, simbol dari ketidaktahuan atau ketidaksadaran. Frasa "tak ada mimpi selain mengigau" menunjukkan ketidakmampuan untuk meraih mimpi yang sejati, menggantinya dengan gumaman tanpa arah yang mungkin mewakili kegelisahan batin.

"Menyebut nama dan alamatmu" menambahkan dimensi personal dalam puisi ini, memberikan gambaran bahwa tokoh aku terobsesi atau terikat pada seseorang yang mungkin menjadi simbol godaan duniawi. Sarung bantal yang "terlukis peta liur" menjadi metafora yang mengisyaratkan kelemahan manusia—ketergantungan pada kenyamanan sementara di tengah perjuangan batin yang nyata.

Bait Kedua: Kegelapan sebagai Pergulatan Moral

dalam gelap aku terlelap
tak ingat rumah dan kitab
dalam gelap kau membujukku
untuk terus berdusta kepada Allahku

Bait kedua membawa makna yang lebih mendalam dengan menggambarkan tidur sebagai pelarian dari tanggung jawab spiritual. Ketika "tak ingat rumah dan kitab," tokoh aku melupakan akar kehidupan yang sejati, termasuk nilai-nilai moral dan ajaran agama. Rumah dan kitab di sini menjadi simbol keteraturan, kenyamanan spiritual, dan panduan hidup yang diabaikan.

Frasa "kau membujukku untuk terus berdusta kepada Allahku" menunjukkan adanya pergulatan batin antara ketaatan dan godaan. Sosok "kau" di sini bisa dimaknai sebagai representasi dari godaan duniawi, hawa nafsu, atau bahkan sisi gelap dari diri sendiri yang mengajak untuk meninggalkan kebenaran dan merendahkan nilai-nilai spiritual.

Tema Utama dalam Puisi

  1. Kegelapan sebagai Simbol Ketidaksadaran: Puisi ini menggambarkan bagaimana manusia sering kali tenggelam dalam "kegelapan," baik secara fisik maupun metaforis. Tidur menjadi analogi untuk kondisi di mana seseorang kehilangan kesadaran spiritual dan moral, hidup dalam kebingungan, dan terombang-ambing oleh pengaruh eksternal.
  2. Godaan Duniawi dan Konflik Batin: Sosok "kau" dalam puisi ini melambangkan godaan duniawi yang sering kali menyesatkan manusia dari jalan kebenaran. Konflik batin antara keinginan untuk taat kepada Tuhan dan dorongan untuk mengikuti hawa nafsu menjadi inti dari puisi ini.
  3. Pelarian dari Tanggung Jawab: Puisi ini juga menyoroti kecenderungan manusia untuk melarikan diri dari tanggung jawab spiritual dan moral melalui "tidur." Tidur di sini bukan hanya istirahat fisik, tetapi juga ketidaktahuan yang disengaja terhadap kewajiban yang seharusnya dijalankan.

Simbolisme dalam Puisi

Gunoto Saparie menggunakan simbolisme yang kuat dalam puisinya. Berikut adalah beberapa simbol penting dalam puisi ini:
  1. Gelap: Simbol ketidaksadaran, kebingungan, dan hilangnya arah hidup.
  2. Tidur: Melambangkan pelarian dari realitas dan tanggung jawab, serta kondisi ketidaksadaran spiritual.
  3. Sarung bantal dan peta liur: Simbol kenyamanan sementara yang melemahkan kesadaran akan realitas.
  4. Rumah dan kitab: Simbol nilai-nilai moral, ajaran agama, dan keteraturan yang dilupakan.
  5. Kau: Representasi dari godaan duniawi atau sisi gelap dari manusia itu sendiri.

Pesan yang Ingin Disampaikan

Puisi "Tidur" membawa pesan moral yang mendalam tentang pentingnya kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral. Manusia sering kali tergoda untuk larut dalam kenyamanan sementara atau godaan duniawi, tetapi harus selalu berusaha untuk kembali pada nilai-nilai yang benar.

Dalam konteks religius, puisi ini mengingatkan pembaca untuk tidak mengabaikan kewajiban kepada Tuhan meskipun menghadapi berbagai godaan. Dalam kehidupan sehari-hari, puisi ini relevan bagi siapa saja yang merasa terjebak dalam kebingungan atau kehilangan arah, mendorong mereka untuk merenung dan kembali pada inti kehidupan yang sejati.

Gaya Bahasa yang Kuat dan Menyentuh

Gunoto Saparie menggunakan gaya bahasa sederhana namun penuh metafora yang dalam. Puisi ini memanfaatkan diksi yang bersifat personal, seperti "aku" dan "kau," untuk menciptakan hubungan emosional antara penyair dan pembaca. Gaya naratifnya yang intim membuat pembaca merasakan konflik batin yang dihadapi oleh tokoh aku dalam puisi ini.

Penggunaan elemen-elemen alam dan benda sehari-hari, seperti gelap, bantal, dan rumah, memberikan sentuhan realisme dalam puisi yang sarat akan tema spiritual. Simbolisme ini memperkaya makna puisi, membuatnya relevan dengan berbagai interpretasi.

Puisi "Tidur" karya Gunoto Saparie adalah sebuah refleksi mendalam tentang perjuangan manusia melawan godaan dan kebingungan spiritual. Dengan simbolisme yang kuat dan gaya bahasa yang menyentuh, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehidupan, pentingnya kesadaran moral, dan hubungan spiritual dengan Tuhan.

Karya ini relevan bagi siapa saja yang pernah merasa terombang-ambing dalam konflik batin, mengingatkan bahwa dalam kegelapan sekalipun, ada harapan untuk kembali pada jalan yang benar melalui kesadaran, doa, dan pengendalian diri. Tidur bukan sekadar istirahat, tetapi juga sebuah perjalanan menuju kesadaran.

Puisi: Sajak Tidur
Puisi: Sajak Tidur
Karya: Gunoto Saparie

BIODATA GUNOTO SAPARIE

Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.