Puisi: Tanah Leluhur (Karya Saraswati Sunindyo)

Puisi "Tanah Leluhur" karya Saraswati Sunindyo adalah sebuah renungan mendalam tentang perubahan, kehilangan, dan kerinduan terhadap masa lalu yang ..
Tanah Leluhur

Puncak-puncak gunung biru berkabut
masih ada — walau agak rusak
Hutan tropis dan anggrek-anggrek liar
masih ada — walau agak sulit dicari
candi-candi bekas tempat arwah nenek moyang
masih ada - walau tinggal reruntuhan
Yang kurindukan adalah
bisa berjalan sendiri dengan tenang
ke tempat-tempat itu
tanpa harus selalu pasang kuda-kuda

Surabaya, Juli 1988

Sumber: Horison (Februari, 1989)

Analisis Puisi:

Puisi "Tanah Leluhur" karya Saraswati Sunindyo merupakan sebuah karya yang menyentuh tema tentang hubungan manusia dengan tanah kelahiran, warisan leluhur, serta kerinduan akan masa lalu yang penuh kedamaian. Dalam puisi ini, Sunindyo menggambarkan pemandangan alam yang sarat dengan makna sejarah dan budaya, serta perasaan melankolis yang muncul akibat perubahan yang terjadi pada tanah leluhur tersebut. Melalui bahasa yang penuh makna dan simbolis, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang apa yang hilang dan apa yang tetap ada dalam perjalanan waktu.

Puncak-puncak Gunung Biru Berkabut: Simbol Keabadian Alam

Puisi ini dimulai dengan gambaran puncak-puncak gunung biru yang berkabut. Puncak-puncak gunung yang "masih ada" meskipun "agak rusak" menggambarkan alam yang tetap bertahan meskipun ada dampak dari perubahan zaman. Puncak-puncak gunung ini tidak hanya berfungsi sebagai elemen alam, tetapi juga sebagai simbol ketahanan dan keabadian dalam menghadapi waktu dan kerusakan. Walaupun gunung-gunung tersebut telah mengalami kerusakan, namun kehadirannya tetap memberikan pengaruh yang mendalam, mengingatkan kita akan keteguhan alam yang tetap tegak meski dihadapkan pada berbagai perubahan.

Gunung sebagai simbol yang tak tergoyahkan juga mengingatkan kita pada kenangan dan warisan leluhur yang tetap berdiri meskipun telah melalui berbagai tantangan. Meskipun ada kerusakan dan perubahan, sesuatu yang besar dan bermakna tetap ada, meskipun tidak lagi seperti dulu.

Hutan Tropis dan Anggrek-Anggrek Liar: Warisan Alam yang Sulit Ditemukan

Selanjutnya, puisi ini menggambarkan "hutan tropis dan anggrek-anggrek liar" yang "masih ada — walau agak sulit dicari." Hutan tropis dan anggrek liar bukan hanya bagian dari keindahan alam, tetapi juga simbol dari kekayaan warisan alam dan budaya yang mungkin mulai sulit ditemukan. Dalam konteks ini, hutan tropis melambangkan kehidupan dan alam yang kaya dengan biodiversitas serta kekayaan budaya yang menyertainya. Namun, ungkapan "agak sulit dicari" menyiratkan bahwa ada sesuatu yang hilang, mungkin karena eksploitasi alam atau perubahan zaman yang merusak ekosistem dan tradisi.

Kerinduan untuk menemukan kembali keindahan alam yang penuh dengan anggrek liar dan kehidupan tropis yang seimbang mencerminkan perasaan kehilangan terhadap kekayaan alam yang dahulu ada di sekitar kita. Ini juga merupakan kritik terhadap kerusakan yang telah terjadi terhadap alam akibat urbanisasi dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Candi-Candi Bekas Tempat Arwah Nenek Moyang: Warisan Sejarah yang Hancur

Candi-candi yang disebutkan dalam puisi ini adalah simbol dari warisan leluhur dan sejarah yang sarat dengan makna spiritual. Candi sebagai tempat bersejarah adalah tempat dimana arwah nenek moyang diyakini bersemayam, tempat yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang budaya dan sejarah. "Masih ada — walau tinggal reruntuhan" menggambarkan keadaan candi-candi tersebut yang sudah mengalami kerusakan, meskipun masih ada sisa-sisa yang dapat ditemukan.

Reruntuhan candi-candi ini tidak hanya menggambarkan hilangnya kemegahan masa lalu, tetapi juga menggambarkan betapa sejarah dan budaya sering kali terlupakan atau dibiarkan hancur oleh waktu. Namun, meskipun candi-candi tersebut rusak, mereka tetap memiliki nilai sejarah dan spiritual yang mendalam, seperti halnya tanah leluhur yang tetap mengingatkan kita pada asal-usul dan identitas kita.

Kerinduan untuk Bisa Berjalan Tenang: Mencari Kedamaian dalam Kehilangan

Bagian terakhir dari puisi ini, "Yang kurindukan adalah bisa berjalan sendiri dengan tenang ke tempat-tempat itu tanpa harus selalu pasang kuda-kuda," menggambarkan perasaan kerinduan dan keinginan untuk kembali ke tanah leluhur dengan penuh kedamaian. Ada kerinduan untuk merasakan kembali ketenangan saat berada di tempat-tempat yang pernah dihuni oleh nenek moyang, tempat yang penuh dengan kenangan, sejarah, dan makna. Namun, kata "tanpa harus selalu pasang kuda-kuda" menunjukkan adanya perasaan cemas dan ketegangan yang mungkin muncul akibat perubahan zaman dan keadaan yang semakin tidak pasti.

Kerinduan untuk "berjalan sendiri dengan tenang" juga mencerminkan kebutuhan untuk menemukan kedamaian dalam diri, untuk bisa kembali menghubungkan diri dengan warisan leluhur dan alam tanpa rasa takut atau kekhawatiran. Ini merupakan harapan untuk dapat hidup dalam harmoni dengan masa lalu dan masa kini, untuk tidak merasa terancam oleh perubahan yang ada.

Puisi "Tanah Leluhur" karya Saraswati Sunindyo adalah sebuah renungan mendalam tentang perubahan, kehilangan, dan kerinduan terhadap masa lalu yang penuh dengan kedamaian dan kebijaksanaan. Melalui gambaran puncak gunung yang rusak, hutan tropis yang sulit dicari, dan candi-candi yang tinggal reruntuhan, Sunindyo menyampaikan pesan tentang bagaimana dunia yang kita kenal terus berubah, meninggalkan jejak-jejak sejarah dan budaya yang semakin terlupakan.

Namun, di balik semua itu, ada harapan dan kerinduan untuk kembali ke tanah leluhur dengan kedamaian dan ketenangan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya menghargai dan melestarikan warisan budaya serta alam yang ada, agar kita tidak kehilangan koneksi dengan akar sejarah dan identitas kita.

Saraswati Sunindyo
Puisi: Tanah Leluhur
Karya: Saraswati Sunindyo

Biodata Saraswati Sunindyo:
  • Saraswati Sunindyo lahir pada tanggal 4 Mei 1954 di Madiun, Jawa Timur, Indonesia
© Sepenuhnya. All rights reserved.