Puisi: Syi'iran Sunan Bonang (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Syi'iran Sunan Bonang" mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan, kebijaksanaan, dan makna kebajikan dalam konteks religius dan tradisional.
Syi'iran Sunan Bonang

bunyi bonang di masa kecil itu
ditabuh kembali oleh hati yang
sembahyang di sebuah surau sentana
di sini tidak ada cagak yang menegak
namun hidup selalu tegak
 
ketika kanjeng sunan terjatuh 
tersebab tangannya tercerabut rumput
menangislah penuh sesal 
bahwa ketentuan hanyalah hak milik hyang
maha tuan
 
ketika tongkatnya menunjuk pohon siwalan
sebuah tongkat azimat keramat
tak pernah lepas tangan, kemana hati berkiblat
bernafas makrifatullah hingga tamat
 
sebuah tongkat lebih berharga dari pohon emas
tangan kebaikan, tongkat saling berpegang cinta berbalas 
tongkat kebaikan, tangan saling menyambung cinta tak terwatas

sebuah tongkat yang menuntun istiqamah
lebih mulia dari seribu nasab yang karamah

bunyi bonang di masa kecil itu
ditabuh kembali oleh jama’ah hati yang
berdendang di ribuan surau
menjadi penenang jiwa yang galau

“Tombo ati iku limo perkarane 
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane 
Kaping pindo sholat wengi lakonono 
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono 
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe 
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe 
Salah sawijine sopo iso ngelakoni 
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani”

Kutorejo, Tuban
Kamis, 21 Januari 2016

Analisis Puisi:

Puisi "Syi'iran Sunan Bonang" karya Abdul Wachid B. S. adalah refleksi mendalam yang menghubungkan spiritualitas, sejarah, dan budaya Jawa. Melalui syi'ir yang penuh makna, karya ini mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan, kebijaksanaan, dan makna kebajikan dalam konteks religius dan tradisional.

Harmoni Spiritual dan Tradisi

Puisi ini menampilkan kekayaan budaya Islam di Jawa, khususnya melalui syi'ir dan simbol-simbol tradisional seperti bunyi bonang, tongkat, dan pohon siwalan. Bunyi bonang menjadi metafora bagi kenangan masa kecil, sebuah pengingat yang terus berdengung dalam hati umat yang mencari kedamaian:

"bunyi bonang di masa kecil itu ditabuh kembali oleh hati yang sembahyang"

Ini menunjukkan bagaimana tradisi lama tetap hidup dalam spiritualitas masyarakat modern.

Kesadaran Akan Ketentuan Ilahi

Bagian puisi yang menggambarkan Sunan Bonang terjatuh karena mencabut rumput menjadi pengingat akan kebesaran Tuhan:

"bahwa ketentuan hanyalah hak milik hyang maha tuan"

Peristiwa kecil ini membawa pesan mendalam bahwa segala sesuatu di dunia ini tunduk pada kehendak Tuhan.

Nilai Istiqamah dan Kebajikan

Tongkat dalam puisi ini adalah simbol dari istiqamah (konsistensi) dan kebaikan:

"sebuah tongkat yang menuntun istiqamah lebih mulia dari seribu nasab yang karamah"

Puisi ini menekankan bahwa nilai kebajikan yang dilakukan secara konsisten jauh lebih berarti daripada kebanggaan atas keturunan atau status sosial.

Pengobat Hati (Tombo Ati)

Di bagian akhir, puisi mengutip syi'ir terkenal Sunan Bonang yang dikenal sebagai "Tombo Ati." Lima langkah untuk menyembuhkan hati menjadi panduan spiritual yang relevan hingga saat ini:
  • Membaca Al-Qur'an dan memaknainya.
  • Melakukan shalat malam.
  • Berkumpul dengan orang saleh.
  • Berpuasa atau menjaga lapar.
  • Berdzikir sepanjang malam.

Makrifatullah Sebagai Puncak Spiritual

Melalui simbol tongkat yang membawa nafas makrifatullah, puisi ini menggambarkan perjalanan spiritual manusia menuju pengenalan Tuhan sebagai tujuan hidup tertinggi.

Simbolisme dalam Puisi

  1. Bunyi Bonang: Bonang adalah alat musik tradisional Jawa yang melambangkan harmoni dan ketenangan jiwa. Bunyi bonang menjadi penghubung antara masa kecil dan kebijaksanaan spiritual.
  2. Tongkat: Tongkat menjadi simbol petunjuk, kekuatan spiritual, dan konsistensi dalam menjalankan kebajikan.
  3. Pohon Siwalan: Pohon siwalan melambangkan keberlanjutan dan kekuatan hidup. Tongkat yang menunjuk pohon ini menunjukkan hubungan antara dunia material dan spiritual.

Gaya Bahasa dan Struktur Puisi

  1. Bahasa Puitis dan Religius: Abdul Wachid B. S. menggunakan gaya bahasa yang puitis dan penuh nuansa religius, menciptakan harmoni antara tradisi dan nilai-nilai Islam.
  2. Narasi Simbolik: Narasi dalam puisi ini kaya dengan simbol-simbol yang memberikan kedalaman makna.
  3. Penggabungan Tradisi dan Modernitas: Dengan mengutip syi'ir Sunan Bonang di akhir puisi, Abdul Wachid menghubungkan tradisi lama dengan relevansi modern.

Pesan Moral dari Puisi

  1. Pentingnya Kebajikan: Kebajikan yang konsisten, seperti yang disimbolkan oleh tongkat, lebih berharga daripada sekadar status atau keturunan.
  2. Refleksi Diri: Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup mereka dan menyelaraskannya dengan nilai-nilai spiritual.
  3. Pelestarian Tradisi: Dengan menghidupkan kembali syi'ir Sunan Bonang, puisi ini menekankan pentingnya menjaga dan melestarikan tradisi Islam Jawa.

Relevansi dengan Kehidupan Modern

Puisi ini tetap relevan karena mengajarkan nilai-nilai universal seperti kebajikan, keikhlasan, dan harmoni spiritual. Di tengah kehidupan modern yang sering kali penuh dengan kegelisahan, ajaran sederhana seperti “Tombo Ati” dapat menjadi panduan untuk menemukan ketenangan jiwa.

Puisi "Syi'iran Sunan Bonang" karya Abdul Wachid B. S. adalah karya sastra yang menghubungkan tradisi, spiritualitas, dan nilai-nilai kebajikan. Melalui simbol-simbol seperti bonang, tongkat, dan syi'ir "Tombo Ati," puisi ini mengajarkan pentingnya harmoni antara kehidupan duniawi dan akhirat.

Dengan gaya bahasa yang puitis dan pesan mendalam, puisi ini mengingatkan kita akan keindahan tradisi Islam di Jawa serta relevansi nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan modern. Sebuah refleksi yang menginspirasi untuk hidup lebih bermakna.

Puisi Terbaik
Puisi: Syi’iran Sunan Bonang
Karya: Abdul Wachid B. S.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.