Subuh
(Puitisasi terjemahan al-Qur’an: Al-Falaq)
Katakan berlindung aku pada penyempurna cahaya subuh.
dari petaka segala ciptaan-Nya.
dan gulita bila datang menyeluruh.
dan mereka yang menghembus buhul tali.
dan pendengki bila sakit hati.
Sumber: Kabar dari Langit (1988)
Analisis Puisi:
Puisi "Subuh" karya Mohammad Diponegoro adalah karya sastra yang memperlihatkan puitisasi dari salah satu surah dalam al-Qur'an, yaitu Surah Al-Falaq. Dengan penuh makna, puisi ini mengungkapkan kedalaman spiritualitas dan kekuatan doa untuk berlindung dari segala bentuk keburukan yang ada di dunia ini. Seperti halnya Surah Al-Falaq yang merupakan permohonan perlindungan dari Allah SWT, puisi ini mengandung elemen-elemen yang menyerupai harapan akan perlindungan Ilahi yang melindungi umat manusia dari segala petaka, kegelapan, kejahatan, dan iri hati.
Menggali Makna Surah Al-Falaq dan Konteks Puisi
Surah Al-Falaq adalah surah ke-113 dalam al-Qur'an yang terdiri dari lima ayat. Surah ini dimulai dengan permohonan perlindungan kepada Allah dari "petaka ciptaan-Nya," termasuk keburukan yang datang dari alam semesta, serta perasaan iri dan dendam dari orang-orang yang jahat. Dalam kehidupan sehari-hari, Surah Al-Falaq seringkali dibaca sebagai doa perlindungan, terutama saat menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian dan potensi bahaya.
Puisi "Subuh" karya Mohammad Diponegoro mengadaptasi konsep yang sama, mengungkapkan permohonan untuk perlindungan dari Allah di waktu subuh yang penuh berkah. Puisi ini menyentuh aspek spiritual, dengan harapan bahwa pada waktu-waktu yang penuh kedamaian, seperti subuh, seseorang bisa bernaung dalam perlindungan Ilahi.
"Katakan Berlindung Aku pada Penyempurna Cahaya Subuh"
Bait pertama puisi ini diawali dengan kalimat yang berbunyi, "Katakan berlindung aku pada penyempurna cahaya subuh." Ini menggambarkan sebuah permohonan untuk perlindungan pada saat subuh—waktu yang dianggap sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim. Subuh bukan hanya sekedar waktu salat, tetapi juga simbol dari awal yang baru, kedamaian, dan cahaya yang membawa pencerahan. Penyempurna cahaya subuh dapat dipahami sebagai simbol dari Allah yang Maha Pencipta dan Maha Penyempurna, yang memberikan cahaya untuk menerangi kegelapan hidup.
Dengan kata lain, puisi ini menggambarkan betapa pentingnya memulai hari dengan doa dan harapan akan perlindungan dari Allah. Dalam kontek spiritual, subuh adalah waktu untuk meminta perlindungan dari segala keburukan yang mungkin datang seiring dengan berjalannya hari.
"Dari Petaka Segala Ciptaan-Nya"
Bait kedua melanjutkan permohonan perlindungan dari "petaka segala ciptaan-Nya." Di sini, penulis menyatakan bahwa perlindungan yang diminta tidak hanya terbatas pada ancaman fisik, tetapi juga termasuk hal-hal yang bersifat metafisik, yang mungkin berasal dari alam semesta, ciptaan-Nya, dan juga makhluk hidup lainnya. Ini merujuk pada potensi ancaman yang bisa datang dari berbagai penjuru, baik itu bencana alam, penyakit, maupun kejahatan yang tak terlihat.
Penulis mengingatkan pembaca bahwa semua ciptaan-Nya, termasuk segala yang tampak maupun yang tidak tampak, berada dalam kendali Tuhan. Perlindungan ini menunjukkan bahwa manusia, dalam ketidakberdayaannya, hanya bisa bersandar pada kekuatan Tuhan untuk menjaga dirinya dari segala keburukan dan malapetaka yang mungkin datang.
"Dan Gulita Bila Datang Menyeluruh"
Bait ini berbicara tentang "gulita bila datang menyeluruh," yang bisa diartikan sebagai kegelapan yang meliputi kehidupan seseorang. Kegelapan di sini bisa diartikan sebagai kesulitan atau kebingungan yang menyelimuti jiwa, bahkan mungkin rasa putus asa yang datang di tengah hidup yang penuh tantangan. Ini mengingatkan kita akan pentingnya untuk selalu mencari cahaya Ilahi, yang dapat membimbing kita keluar dari kegelapan tersebut.
Secara simbolik, gulita adalah gambaran dari keputusasaan, kesedihan, dan kebingungan yang dialami oleh seseorang. Namun, dengan berlindung pada Allah, kita yakin bahwa cahaya-Nya akan selalu datang untuk menyinari setiap langkah yang kita ambil.
"Dan Mereka yang Menghembus Buhul Tali"
Bait ini menyebutkan "mereka yang menghembus buhul tali," yang merujuk pada orang-orang yang mungkin berusaha untuk menghancurkan atau menyakiti orang lain dengan cara yang licik atau tidak terlihat. Menghembuskan buhul tali bisa dimaknai sebagai menggali rencana jahat atau memanipulasi keadaan agar seseorang terjerat dalam jebakan mereka.
Ini menggambarkan bahwa puisi ini juga meminta perlindungan dari keburukan yang datang dari tangan-tangan tersembunyi, seperti halnya orang yang berniat buruk atau berusaha menyebarkan fitnah atau kebohongan. Kita diingatkan bahwa dalam hidup, kita tidak hanya perlu melindungi diri dari ancaman fisik, tetapi juga dari pengaruh jahat yang tak kasat mata, seperti manipulasi atau permusuhan.
"Dan Pendengki Bila Sakit Hati"
Bait terakhir ini berbicara tentang "pendengki bila sakit hati." Dalam konteks ini, puisi ini menunjukkan permohonan perlindungan dari mereka yang memiliki perasaan iri hati dan kebencian terhadap orang lain. Iri hati atau dengki adalah salah satu perasaan yang sering mengarah pada perbuatan yang merugikan orang lain, baik secara langsung maupun melalui cara-cara yang lebih halus, seperti menyebarkan fitnah atau mencoba merusak reputasi seseorang.
Puisi ini mengingatkan kita akan bahaya perasaan dengki yang dapat menghancurkan hubungan antar sesama. Oleh karena itu, permohonan perlindungan dari Allah sangat dibutuhkan agar kita bisa terhindar dari pengaruh buruk tersebut.
Puisi "Subuh" karya Mohammad Diponegoro merupakan puitisasi yang kuat dari Surah Al-Falaq, dengan mengungkapkan permohonan perlindungan kepada Allah dari segala bentuk kejahatan dan keburukan. Dalam setiap baitnya, puisi ini menggambarkan kebutuhan manusia untuk berlindung dalam rahmat dan perlindungan-Nya, baik dari bahaya fisik, kegelapan spiritual, maupun kejahatan dari orang-orang yang berniat buruk.
Melalui kata-kata yang penuh makna, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung dan kembali pada hakikat doa, yaitu memohon perlindungan dari Allah di setiap waktu, terutama di waktu yang penuh berkah, seperti subuh. Sebuah pengingat bahwa, meskipun kita hidup di dunia yang penuh tantangan, kita tidak pernah sendiri, karena perlindungan Ilahi selalu menyertai.
Karya: Mohammad Diponegoro
Biodata Mohammad Diponegoro:
- Mohammad Diponegoro lahir di Yogyakarta, pada tanggal 28 Juni 1928.
- Mohammad Diponegoro meninggal dunia di Yogyakarta, pada tanggal 9 Mei 1982 (pada usia 53 tahun).