Suatu Sabtu Udara Sepucat Lampu
di rangkasbitung, suatu sabtu
udara sepucat lampu
laron-laron menggigil
sebelum gerimis turun dari dukamu
— dulu di sana, di losmen pinggiran dunia kaya
dalam musim dingin dan anggur tandas
sampai nurani — pamong pengisah itu
menuangkan gelisah-gelisahnya
kata-kata dikuliti, tulang iga yang kurus
menyembul di samping golok
tapi seperti kini masih kausaksikan
rangkasbitung masihlah malam
isyarat gawat berkelebat di cakrawala
— si pengisah itu multatuli — adalah kau juga
gerah memandang gubuk kirai menjuntai
tempat saijah-adinda dulu tercerai
kau tulis sajak tentang ternak
emas dan padi yang lenyap sebelum gelap
mekar kota-kota utara dan timur laut
di bentangkan jarak yang menggoyangkan
tanggul sunyi air mata
— mungkin si gelisah itu termangu — seperti kau
dan aku, mengembarai hutan-hutan
yang disulap bagai mainan. Di rangkasbitung
suatu sabtu, udara sepucat suara kita
2001
Sumber: Sebelum Senja Selesai (2002)
Analisis Puisi:
Puisi "Suatu Sabtu Udara Sepucat Lampu" karya Moh. Wan Anwar adalah eksplorasi puitis yang sarat akan nostalgia, sejarah, dan keresahan terhadap kondisi sosial. Berlatarkan Rangkasbitung, tempat yang tak terpisahkan dari sejarah dan karya Multatuli, puisi ini menggabungkan elemen narasi sejarah dengan refleksi personal yang mendalam.
Latar dan Atmosfer Melankolis
"di Rangkasbitung, suatu sabtu udara sepucat lampu"
Rangkasbitung menjadi simbol dari masa lalu yang sarat dengan penderitaan dan ketidakadilan. Frasa "udara sepucat lampu" menciptakan atmosfer yang suram, menggambarkan suasana yang lesu dan penuh duka.
Kenangan dan Jejak Multatuli
"— si pengisah itu multatuli — adalah kau juga"
Multatuli, penulis Max Havelaar, menjadi simbol keresahan dan perjuangan melawan ketidakadilan kolonial. Penyair mengidentifikasi dirinya dengan Multatuli, seolah berbagi semangat dan rasa gelisah terhadap ketimpangan yang terus berlangsung.
Penderitaan dan Ketidakadilan Sosial
"tempat saijah-adinda dulu tercerai"
Penyebutan Saijah dan Adinda, karakter dari Max Havelaar, membawa kembali kenangan akan penderitaan rakyat kecil akibat penindasan kolonial. Puisi ini mengingatkan bahwa ketidakadilan itu belum sepenuhnya lenyap, hanya berganti wajah.
Kerusakan Alam dan Perubahan Zaman
"mengembarai hutan-hutan yang disulap bagai mainan"
Frasa ini menggambarkan eksploitasi alam yang mengubah hutan menjadi komoditas belaka. Ini menunjukkan kritik terhadap perusakan lingkungan yang berlangsung tanpa memedulikan dampaknya terhadap manusia dan ekosistem.
Refleksi Diri dan Keberlanjutan Penderitaan
"di Rangkasbitung suatu sabtu, udara sepucat suara kita"
Baris terakhir menyiratkan bahwa meski waktu berlalu, keresahan tetap hadir. Suara yang "sepucat" mencerminkan lemahnya usaha untuk melawan atau mengubah keadaan, baik di masa lalu maupun masa kini.
Gaya Bahasa dan Struktur
- Simbolisme yang Kuat: Laron-laron yang menggigil menggambarkan ketakutan atau kegelisahan yang menyebar di tengah ketidakpastian. "tulang iga yang kurus menyembul di samping golok" adalah metafora dari kepedihan yang mendalam, di mana kata-kata dikuliti hingga hanya menyisakan kerangka kebenaran.
- Intertekstualitas dengan Multatuli: Puisi ini kaya akan referensi terhadap karya dan perjuangan Multatuli. Hal ini memperkuat kesan bahwa ketidakadilan yang ia tulis dalam Max Havelaar masih relevan hingga kini.
- Nada Melankolis dan Kritis: Nada puisi ini melankolis dengan sentuhan kritik tajam terhadap ketimpangan sosial, eksploitasi lingkungan, dan kegagalan manusia dalam mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
Pesan dan Relevansi Puisi
Puisi ini mengingatkan pembaca bahwa meski masa kolonial telah berlalu, warisan ketidakadilan dan eksploitasi tetap ada dalam berbagai bentuk. Penyair mengajak kita untuk merenungkan:
- Apakah perjuangan seperti yang dilakukan Multatuli telah membawa perubahan yang cukup?
- Bagaimana kita sebagai generasi sekarang menghadapi tantangan ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan?
Puisi "Suatu Sabtu Udara Sepucat Lampu" karya Moh. Wan Anwar adalah karya yang menggugah kesadaran, mengajak pembaca untuk merenungkan sejarah dan tanggung jawab sosial kita. Melalui bahasa yang puitis dan simbolik, puisi ini menghubungkan kita dengan perjuangan masa lalu, sembari menyadarkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai keadilan sejati.
Sebagaimana Multatuli dan Saijah-Adinda menjadi simbol perjuangan di masa kolonial, puisi ini mengingatkan bahwa kita adalah penerus tanggung jawab tersebut, untuk terus bersuara dan berjuang dalam menghadapi tantangan zaman.
Karya: Moh. Wan Anwar
Biodata Moh. Wan Anwar:
- Moh. Wan Anwar lahir pada tanggal 13 Maret 1970 di Cianjur, Jawa Barat.
- Moh. Wan Anwar meninggal dunia pada tanggal 23 November 2009 (pada usia 39 tahun) di Serang, Banten.