Puisi: Sst! (Karya Adri Darmadji Woko)

Puisi "Sst!" karya Adri Darmadji Woko menghadirkan refleksi yang unik tentang kesunyian, sebuah keadaan yang paradoksal karena justru dirasakan di ...
Sst!

diam-diam kita pun menunggu
sebuah adegan yang paling lama
yaitu kesunyian

seperti di layar putih
ketika film habis
seperti di panggung tontonan
ketika semuanya bubar
seperti di tanah lapang
ditinggalkan pertandingan
seperti ini:
seorang dirubung sejumlah orang
dalam hiruk pikuk

Sumber: Horison (September, 1983)

Analisis Puisi:

Puisi "Sst!" karya Adri Darmadji Woko menghadirkan refleksi yang unik tentang kesunyian, sebuah keadaan yang paradoksal karena justru dirasakan di tengah hiruk-pikuk keramaian. Melalui penggunaan metafora dan ironi, puisi ini menggambarkan momen keheningan yang terasa panjang dan sarat makna, meski terjadi di tengah situasi ramai. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna sunyi, keramaian, dan waktu dalam kehidupan manusia.

Kesunyian Sebagai Adegan yang Paling Lama

Puisi ini dimulai dengan pernyataan yang menarik:

"diam-diam kita pun menunggu
sebuah adegan yang paling lama
yaitu kesunyian"

Kesunyian digambarkan sebagai adegan yang paling lama, seolah waktu melambat saat kesunyian datang. Di sini, Adri Darmadji Woko menggarisbawahi kontradiksi bahwa kesunyian, meskipun sering dianggap sebagai jeda atau sesuatu yang singkat, sebenarnya bisa terasa begitu panjang dan penuh beban. Pernyataan ini membuka jalan bagi pembaca untuk merenungkan bagaimana manusia sering kali merasa tidak nyaman dengan kesunyian, meskipun itu adalah bagian alami dari kehidupan.

Metafora dalam Kesunyian

Puisi ini menggunakan metafora yang sangat visual untuk menggambarkan momen-momen kesunyian:

"seperti di layar putih
ketika film habis
seperti di panggung tontonan
ketika semuanya bubar
seperti di tanah lapang
ditinggalkan pertandingan"

Metafora ini mengacu pada situasi-situasi yang sering dialami manusia: layar putih setelah film berakhir, panggung yang kosong setelah pertunjukan selesai, dan tanah lapang yang sunyi setelah pertandingan usai. Ketiga situasi ini memiliki kesamaan, yaitu adanya sisa-sisa aktivitas yang kini hanya menyisakan keheningan.

Kesunyian dalam konteks ini bukan sekadar ketiadaan suara, tetapi juga sebuah transisi emosional. Setelah film, pertunjukan, atau pertandingan selesai, ada momen jeda yang sering diisi dengan refleksi, nostalgia, atau bahkan rasa hampa. Kesunyian menjadi ruang di mana manusia dihadapkan pada dirinya sendiri, tanpa distraksi dari aktivitas atau keramaian.

Kesunyian di Tengah Keramaian

Puisi ini kemudian menyoroti ironi kesunyian di tengah keramaian:

"seperti ini:
seorang dirubung sejumlah orang
dalam hiruk pikuk"

Baris ini menampilkan situasi yang kontras: seseorang yang dikelilingi banyak orang justru merasa sunyi. Gambaran ini relevan dengan pengalaman manusia modern yang sering kali merasa kesepian meskipun berada di tengah keramaian. Hiruk-pikuk keramaian tidak selalu memberikan kehangatan atau kenyamanan; terkadang, justru memperkuat rasa keterasingan.

Situasi ini menggambarkan fenomena sosial yang sering terjadi di era sekarang, di mana manusia semakin terhubung melalui teknologi tetapi justru merasa semakin jauh secara emosional. Keramaian menjadi topeng bagi kesepian yang mendalam, dan individu di tengahnya sering kali menjadi penonton pasif dalam kehidupan yang berlangsung di sekitarnya.

Kesunyian Sebagai Pengingat Waktu

Kesunyian dalam puisi ini juga dapat dipahami sebagai refleksi atas berlalunya waktu. Adegan-adegan yang digambarkan—film yang selesai, pertunjukan yang usai, pertandingan yang berakhir—semuanya mengisyaratkan akhir dari sebuah perjalanan atau momen. Kesunyian menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan, dan setiap akhir membawa serta kekosongan yang tak terhindarkan.

Namun, di balik itu, kesunyian juga menawarkan ruang untuk merenung dan memahami makna dari apa yang telah terjadi. Dalam kesunyian, manusia diajak untuk berhenti sejenak, merenungi perjalanan hidup, dan mungkin menemukan makna baru dalam kekosongan itu.

Interpretasi Filosofis: Kesunyian sebagai Jeda Eksistensial

Puisi "Sst!" dapat dilihat sebagai refleksi filosofis tentang kehidupan manusia. Dalam kehidupan, kesunyian sering kali menjadi jeda yang tidak nyaman, tetapi sebenarnya penting untuk memahami diri sendiri. Kesunyian bukanlah ketiadaan, melainkan ruang di mana manusia dapat merefleksikan makna keberadaannya.

Puisi ini juga mengingatkan kita bahwa kesunyian adalah bagian alami dari siklus kehidupan. Setelah keramaian dan aktivitas yang sibuk, selalu ada momen hening yang mengikutinya. Momen ini tidak harus ditakuti atau dihindari, tetapi sebaliknya, dapat menjadi kesempatan untuk mendalami makna hidup.

Adri Darmadji Woko, melalui puisi "Sst!", menyajikan karya yang sederhana namun mendalam. Puisi ini mengingatkan pembaca untuk tidak mengabaikan kesunyian, karena di sanalah manusia sering menemukan makna sejati dari kehidupan.

Dengan menggunakan metafora yang kuat dan ironi yang tajam, puisi ini menghadirkan refleksi tentang hubungan manusia dengan kesunyian, waktu, dan keramaian. Di era modern yang penuh distraksi, Sst! menjadi pengingat bahwa kadang kita perlu berhenti sejenak, mendengarkan kesunyian, dan menemukan diri kita di dalamnya.

Puisi: Sst!
Puisi: Sst!
Karya: Adri Darmadji Woko

Biodata Adri Darmadji Woko:
  • Adri Darmadji Woko lahir pada tanggal 28 Juni 1951 di Yogyakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.