Simponi
sepanjang hari sepanjang malam
melagu simponi alam
lalu menjadi kelam dan menghitam
gerimis pun menjadi hujan
kita lalu kehilangan tujuan
menyalahkan kenyataan demi kenyataan
kita lupa telah membangun impian
yang berabad mengenal cuaca dan waktu
simponi akan selalu terbawa angin
dari laut, gunung, dan tanah membatu
di perjalanan hari demi hari
kita lupa berdekapan
dengan angin yang selalu menari
alam pun membunuh kealpaan kita
yang lupa akan makna cinta
seperti badai yang menyapa bubungan rumah
menyambar dengan kilatan tak ramah.
2008
Analisis Puisi:
Puisi "Simponi" karya Tri Astoto Kodarie menyuguhkan gambaran mendalam tentang perenungan terhadap kehidupan, alam, dan kealpaan manusia dalam menjalani perjalanan hidupnya. Dengan menggunakan metafora dan simbolisme yang kaya, puisi ini menggambarkan bagaimana manusia sering kali terjebak dalam rutinitas dan kesibukan sehari-hari, melupakan makna yang lebih dalam dari cinta, impian, dan hubungan dengan alam. Kodarie menyampaikan pesannya dengan cara yang puitis, menciptakan sebuah simfoni yang tak hanya terdengar di telinga, tetapi juga dirasakan di dalam hati.
Simponi Alam: Harmoni yang Berubah Menjadi Kekacauan
Puisi ini dimulai dengan gambaran tentang alam yang melagu, sebuah simponi yang mengalun sepanjang hari dan malam. Alam menjadi musik yang terus bergema, namun seiring berjalannya waktu, musik itu berubah menjadi kelam dan menghitam. "Gerimis pun menjadi hujan," menandakan perubahan suasana hati atau keadaan yang mulai suram, berantakan, atau penuh ketidakpastian. Ada sebuah perasaan bahwa kehidupan yang awalnya berjalan dengan harmoni kini mulai terdistorsi oleh kenyataan yang semakin kompleks dan menekan.
Manusia dalam puisi ini, seolah merasa kehilangan tujuan hidup, tidak bisa lagi melihat arah yang jelas. Mereka menyalahkan kenyataan demi kenyataan, seolah terjebak dalam siklus kesalahan dan kebingungan. Simfoni alam yang sebelumnya harmonis menjadi sebuah simfoni yang penuh dengan ketidakpastian dan kegelapan.
Kehilangan Impian dan Kealpaan yang Diciptakan
Di tengah perjalanan hidup yang penuh dengan kesulitan, manusia tampaknya lupa akan impian-impian yang telah mereka bangun. "Kita lupa telah membangun impian yang berabad mengenal cuaca dan waktu." Kalimat ini menggambarkan bahwa impian dan harapan manusia seharusnya adalah sesuatu yang tahan terhadap perubahan cuaca dan waktu, sesuatu yang memiliki daya tahan terhadap segala tantangan hidup. Namun, manusia sering kali melupakan impian tersebut, tenggelam dalam rutinitas dan kekhawatiran yang ada di sekitarnya.
Simponi alam, yang seharusnya menjadi pengingat akan keharmonisan, terus mengalun meski dalam perubahan dan kesulitan. Namun, keberadaan simponi ini sering kali tidak bisa didengar dengan jelas, seiring dengan berjalannya waktu dan pergulatan hidup yang menyesakkan. Simponi yang mengalir dari alam, dari laut, gunung, dan tanah yang membatu, menggambarkan bagaimana alam dan kehidupan selalu terus berlanjut meskipun manusia sering kali kehilangan arah.
Kealpaan yang Memisahkan Manusia dengan Alam dan Cinta
Puisi ini juga menyinggung tentang kealpaan manusia terhadap cinta dan hubungan dengan alam. "Di perjalanan hari demi hari kita lupa berdekapan dengan angin yang selalu menari," menggambarkan bagaimana manusia sering kali terabaikan oleh kehidupan yang sibuk, melupakan pentingnya berhubungan dengan alam dan menikmati keindahan yang ada di sekitar mereka. Angin yang selalu menari menjadi simbol kebebasan, kedamaian, dan keindahan yang sering kali diabaikan.
"Alam pun membunuh kealpaan kita yang lupa akan makna cinta." Di sini, Kodarie menggunakan alam sebagai simbol yang mengingatkan manusia tentang pentingnya cinta dan kesadaran. Namun, manusia yang terus terperangkap dalam kebiasaan dan kealpaan mereka, akhirnya menghadapi dampak dari kelalaian tersebut. Alam, yang seharusnya menjadi tempat yang memberikan kedamaian dan pelajaran, kini menjadi kekuatan yang menghukum kealpaan manusia.
Badai sebagai Simbol Konsekuensi
Bagian terakhir dari puisi ini menggambarkan bagaimana kealpaan manusia terhadap cinta dan alam bisa membawa konsekuensi yang besar. "Seperti badai yang menyapa bubungan rumah menyambar dengan kilatan tak ramah." Badai yang mengguncang rumah menjadi simbol dari bencana atau konsekuensi akibat ketidakpedulian terhadap cinta dan alam. Badai ini datang dengan kekuatan yang tak bisa dihindari, sebuah pengingat yang keras bahwa manusia tidak dapat terus mengabaikan apa yang seharusnya mereka jaga dan hargai.
Badai yang "tak ramah" menggambarkan betapa alam, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan dan keindahan, bisa berubah menjadi kekuatan yang menghancurkan jika manusia terus mengabaikannya. Begitu juga dengan cinta, yang jika tidak dipelihara dan dijaga dengan sepenuh hati, bisa berubah menjadi sesuatu yang penuh kepedihan dan kekecewaan.
Puisi "Simponi" karya Tri Astoto Kodarie menggambarkan perjalanan batin manusia dalam menghadapi kehidupan, cinta, dan alam. Melalui metafora dan simbolisme yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang pentingnya menjaga impian, cinta, dan hubungan dengan alam. Kehidupan yang penuh dengan perubahan dan tantangan sering kali membuat kita lupa akan nilai-nilai yang seharusnya kita jaga, seperti cinta, harapan, dan keharmonisan dengan alam.
Simponi yang terdengar sepanjang hari dan malam adalah gambaran dari perjalanan hidup itu sendiri—harmonis namun bisa berubah menjadi kacau dan gelap ketika manusia kehilangan arah dan kepekaan terhadap hal-hal yang paling penting. Alam, sebagai bagian dari kehidupan ini, akan terus mengingatkan kita, baik dengan cara yang lembut maupun dengan badai yang datang menghantam. Pada akhirnya, kita hanya bisa menyadari bahwa simponi kehidupan itu sendiri adalah sebuah karya yang tidak selalu bisa kita baca atau pahami, namun kita harus terus mendengarnya, memahaminya, dan berusaha untuk menghadapinya dengan penuh kesadaran.
Puisi: Simponi
Karya: Tri Astoto Kodarie
Biodata Tri Astoto Kodarie:
- Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.