Sebelum Maghrib Tiba
Di ujung perjalanannya adalah awal mula kita
laki-laki itu duduk di depan televisi yang tak ingin dinyalakannya
di ruang tercacap asing menatap tua lemari televisinya.
Ia tak lagi suka membahas tentang dirinya
tentang rambutnya yang memutih juga alis matanya
tentang rumahnya yang sepi yang sudah lama dikenalnya
ia ingin sekali bertanya ini hari apa?
toh, hari-hari, bersin, batuk, dan selesma
ia pejamkan matanya
terbayang olehnya suatu kenangan yang mungkin tak pernah ada
apakah istri, anak-anak?
sesuatu yang sia-sia diharapkan kembali sebab tak pernah dijalani
ia lihat ke arah jam dinding hampir jam lima
masih ada sisa pisang,
masih ada obat batuk di atas meja
ia rapikan kain yang tertata di atas meja
ia rapikan pikiran apakah istri, anak-anak?
sore yang dulu itu juga kini akan menjelang senja
laki-laki itu masih duduk di depan televisi
mungkin saja nanti ada yang datang mengetuk pintu utama
sebelum maghrib tiba
2025
Analisis Puisi:
Puisi "Sebelum Maghrib Tiba" karya Darwanto menghadirkan gambaran yang sangat kuat tentang usia senja, kenangan yang tersisa, dan kesendirian yang melingkupi seorang lelaki. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan ketidakpastian waktu dan hilangnya hal-hal yang pernah kita anggap dekat, namun kini terasa jauh. Dalam setiap baitnya, Darwanto berhasil menangkap esensi kehidupan yang terhenti pada titik-titik tertentu, membuat kita merenung tentang apa yang benar-benar penting di hidup ini.
Sebuah Perjalanan yang Tak Terhenti
Di awal puisi, Darwanto menulis, “Di ujung perjalanannya adalah awal mula kita.” Kalimat ini menjadi semacam pembuka yang mendalam. Ia menggambarkan bahwa di titik akhir suatu perjalanan, kita mungkin akan mulai mempertanyakan segala sesuatu yang pernah kita jalani. Waktu yang berjalan, tidak peduli seberapa tua atau muda seseorang, tetap terus maju tanpa henti. Sementara itu, si lelaki dalam puisi ini seperti berada di ujung waktu, di persimpangan antara kehidupan yang lalu dan kenangan yang semakin kabur.
Kehilangan Diri dan Kehilangan Waktu
Laki-laki dalam puisi ini tampaknya sudah memasuki usia yang tidak muda lagi. Ia duduk di depan televisi yang tak dinyalakan, dikelilingi oleh benda-benda yang menjadi saksi bisu dari perjalanan hidupnya. "Rambutnya yang memutih," "alis matanya," dan "rumahnya yang sepi" menggambarkan betapa ia semakin jauh dari masa lalu yang pernah dihidupinya. Namun, meski fisiknya menua, dirinya seolah masih terikat dengan kenangan yang tak pernah benar-benar terwujud.
Kehilangan menjadi tema dominan dalam puisi ini. Kehilangan yang bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga emosional. Lelaki ini seakan mengingat kembali keluarga yang mungkin pernah ada: istri dan anak-anak yang menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kenangan itu terasa kabur, seperti sebuah impian yang tak pernah dijalani dengan sungguh-sungguh. "Ia ingin sekali bertanya ini hari apa?" menunjukkan kerinduan akan keterhubungan dengan dunia luar yang kini terasa jauh, mungkin bahkan terlupakan.
Keseharian yang Tanpa Makna Baru
Kehidupan yang dijalani oleh lelaki ini tampaknya sudah sangat rutin dan tanpa kejutan. “Ia rapikan kain yang tertata di atas meja, ia rapikan pikiran.” Kalimat ini menggambarkan bagaimana si lelaki berusaha mengatur ulang kehidupannya yang telah berlarut-larut tanpa perubahan berarti. Meski ada aktivitas kecil seperti merapikan kain di atas meja atau melihat sisa pisang dan obat batuk yang ada di atas meja, semuanya terasa seperti rutinitas yang hampa. Namun, di balik rutinitas ini, terdapat rasa kehilangan akan sesuatu yang lebih bermakna—sesuatu yang tak pernah terwujud, seperti harapan terhadap istri dan anak-anak.
Sore yang Terus Menghampiri Senja
Pada bagian akhir puisi, Darwanto menggambarkan suasana yang semakin suram. “Sore yang dulu itu juga kini akan menjelang senja.” Senja adalah simbol waktu yang hampir habis, saat malam mulai tiba. Begitu juga dengan kehidupan si lelaki. Ketika sore menjelang senja, ia masih berada dalam ketidakpastian, menunggu sesuatu yang tak pasti. Kehadiran orang lain yang mungkin mengetuk pintu, atau bahkan kehadiran kenangan-kenangan yang telah lama terlupakan, menjadi harapan terakhirnya sebelum waktu maghrib tiba.
Menunggu Sebelum Maghrib Tiba
Puisi "Sebelum Maghrib Tiba" menggambarkan gambaran kesendirian dan penantian. Maghrib di sini bisa dimaknai sebagai titik akhir, sebagai simbol perubahan waktu dan kehidupan yang semakin dekat dengan senja. Sementara lelaki itu terus menunggu, baik kehadiran orang lain maupun suatu hal yang mungkin tak pernah datang. Ia seperti berada di ambang perubahan, baik secara fisik maupun emosional, namun tetap terjebak dalam kenangan yang tak pernah tuntas.
Penutupan yang Memikat
Puisi ini memaksa pembaca untuk merenungkan lebih dalam tentang kehidupan yang kita jalani. Darwanto dengan cermat menggambarkan sisi-sisi hidup yang sering terlupakan: waktu yang berlalu, kenangan yang kabur, dan kesendirian yang menyelimuti setiap individu. Dalam keramaian dunia yang penuh kesibukan, mungkin kita sering lupa untuk berhenti sejenak dan mengingat kembali apa yang sebenarnya penting. Puisi ini, meski sederhana dalam kata-katanya, berhasil mengungkapkan keheningan yang kita rasakan di balik kesibukan kita, tepat sebelum maghrib tiba.
Dengan begitu, puisi "Sebelum Maghrib Tiba" mengingatkan kita untuk tidak hanya menjalani kehidupan tanpa makna, tetapi juga untuk merenung dan mencari kembali esensi dari perjalanan hidup kita, sebelum semuanya benar-benar berlalu.
Karya: Darwanto
Biodata Darwanto:
- Darwanto lahir pada tanggal 6 Maret 1994.