Puisi: Sampah Kota (Karya Saraswati Sunindyo)

Puisi "Sampah Kota" karya Saraswati Sunindyo mengajak kita untuk melihat dan menyadari ketidakadilan yang terjadi, serta pentingnya perubahan dalam ..
Sampah Kota
Kali Nongo

Malam-malam tanpa purnama
Gulungan ombak hempaskan sampah kali Nongo
kembali ke pantai Selatan kering miskin
Tumbuhannya hanya pandan dan kaktus tanpa bunga
Endang-Cipluk-Surti-Marni
dari pelosok desa dan kampung-kampung kota
tanah Jawa
mencari sentuhan air
menanti jilatan ombak

Debur ombak sepanjang hari sepanjang malam
Sampah kota
Sampah kali Nongo
terlempar ke pantai bersama ombak
Raung sepeda motor sepanjang hari sepanjang malam
rejeki penyambung nafas perempuan rantau
Suami kebanggaan desa-desa melorotkan celana taninya
Ibu jiwa desa ganti peran jadi induk semang garang
Pegawai menunggu jam pulang di ranjang orang
Anak sekolah melepas rindu susu Ibu
Pengangguran mencari arti ijazah dan bangku sekolah
dan petugas gelap merogoh seribu rupiah seminggu
dari celana dalam Endang-Cipluk-Surti-Marni
yang tak tentu hari tuanya

Pantai selatan kering miskin
tumbuhannya hanya pandan dan kaktus tanpa bunga
di malam tanpa purnama
seorang lelaki mengetuk pintu kamarku
di hotel milik pemda

Percaya kurang percaya
lelaki pengetuk pintu percaya
bahwa ia punya wewenang menggeledah
kerna ia pak guru adik lurah
mungkin memang dipercaya tuk pinjam wewenang

Percaya kurang percaya
lelaki bergaya petugas tak percaya
bahwa ada sarjana perempuan kota
mau tinggal di desa pantai kotor miskin
Tempat Endang-Cipluk-Surti-Marni
merayu nasib mengundang rupiah masuk desa
membantu membangun gubuk jadi rumah gedong
dan perempuan sarjana kota tak dipercaya
dikira pasir
mengaku berpendidikan

Percaya kurang percaya
tamu salah ketuk Pak guru adik lurah agak percaya
bahwa perempuan kota berani sendiri di hotel pemda
memang sarjana tapi mungkin dari planet lain
Harus digurui agar tak berteman
dengan perempuan rantau pasir panas
nanti dikira sama saja

Percaya kurang percaya
tamu pantai salah ketuk bergaya Rambo sangat percaya
bahwa sarjana perempuan sendiri di hotel pemda
masih perempuan juga
Pasti butuh teman tidur barang semalam dua
maka ditawarkannya kebaikan hati laki-laki
setengah memaksa mengajak bermain suami-istri
sambil memaki dan mengutuk
perbuatan Endang-Cipluk-Surti-Marni
dan
ketika mau tak mau Pak Rambo harus percaya
bahwa ia ditolak
dikeluarkannya surat keputusan dan pernyataan
bahwa perempuan sarjana berani sendiri di hotel pemda
yang mau bergaul dengan desa pantai kering miskin
dan berteman dengan Endang-Cipluk-Surti-Marni
"Pasti sarjana perempuan kurang normal!"

Percaya kurang percaya
Pak Rambo tamu pantai salah ketuk guru terhormat adik lurah
selama tiga jam
merayu sambil menakut-nakuti
mencoba memaksakan kehendak
Nafasnya anyir bunga-bangkai lapar
Badannya busuk bau bangkai tikus wirog
yang hanyut bersama sampah kali Nongo
Mulutnya pembuangan sampah terakhir seluruh kota jogya
Selama tiga jam
perutku bergejolak gelombang laut selatan
dan aku muntah sambil membayangkan
berapa kali sehari
Endang-Cipluk-Surti-Marni
harus menelan muntahnya sendiri

Debur ombak sepanjang hari sepanjang malam
Onggokan pasir kering miskin kepanasan
mencari sentuhan air
menanti jilatan ombak
yang datang sampah kali nongo
Raung sepeda motor sepanjang hari sepanjang malam
Bau badan Pak Rambo
Bau badan laki-laki bermotor
Bau sampah kali Nongo
BAU!

Jogya, April 1988

Sumber: Horison (Februari, 1989)

Analisis Puisi:

Puisi "Sampah Kota" karya Saraswati Sunindyo adalah karya sastra yang kaya akan kritik sosial dan refleksi terhadap kondisi kemiskinan, ketidakadilan, serta ketegangan antara kelas sosial yang ada di masyarakat. Dalam puisi ini, Sunindyo menggambarkan kehidupan yang penuh dengan ketidakberdayaan dan kesepian, dengan gambaran alam yang keras dan simbolisme yang kuat. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung, sekaligus menunjukkan kontras yang mencolok antara dunia kota dan dunia desa yang terpinggirkan, serta peran perempuan dalam sistem sosial yang timpang.

Gambaran Desa dan Pantai yang Kering dan Miskin

Puisi ini dimulai dengan gambaran yang kuat tentang kehidupan di pantai Selatan yang kering dan miskin, dengan tumbuhannya hanya pandan dan kaktus tanpa bunga. Kerasnya alam ini bukan hanya menggambarkan kondisi fisik dari tempat tersebut, tetapi juga keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di sana. "Pantai Selatan kering miskin" menggambarkan sebuah tempat yang tandus, baik secara fisik maupun sosial, tempat yang hampir tidak memiliki harapan untuk tumbuh atau berkembang.

Kondisi ini diperburuk dengan gambaran "sampah kali Nongo" yang terlempar ke pantai bersama ombak. Sampah ini bisa diartikan sebagai simbol dari kehidupan yang terbuang, tidak terurus, dan penuh dengan permasalahan yang ditinggalkan oleh masyarakat kota. Debur ombak yang terus-menerus menggema sepanjang hari dan malam menggambarkan kesunyian dan kebosanan yang menghantui kehidupan masyarakat di pantai tersebut.

Perempuan Desa dan Perjuangan Mereka

Dalam puisi ini, terdapat beberapa nama perempuan: Endang, Cipluk, Surti, Marni, yang digambarkan sebagai sosok-sosok perempuan dari pelosok desa dan kampung-kampung kota, yang berjuang mencari nafkah di daerah pantai yang miskin dan kering. Mereka "mencari sentuhan air" dan "menanti jilatan ombak," yang bisa diartikan sebagai harapan akan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan mereka penuh dengan pengorbanan dan keterbatasan, berjuang di tempat yang penuh dengan ketidakpastian, dan berharap ada sesuatu yang lebih baik dari hidup yang mereka jalani.

Namun, dalam perjalanan mereka, perempuan-perempuan ini sering kali dipandang rendah oleh masyarakat sekitar. Mereka digambarkan "merayu nasib mengundang rupiah masuk desa," berusaha untuk meningkatkan kehidupan mereka dengan bekerja keras, meskipun sering kali tidak mendapatkan pengakuan yang layak.

Kehidupan di Kota: Ketidakpercayaan dan Penindasan

Gambaran tentang kehidupan di kota dan interaksi antara perempuan sarjana kota dengan masyarakat desa yang miskin mengungkapkan ketidakpercayaan dan penindasan yang terjadi antara dua dunia ini. Seorang perempuan sarjana kota, yang mungkin datang dengan niat baik untuk membantu atau tinggal di desa, tidak dipercayai oleh masyarakat setempat. Masyarakat desa yang dipimpin oleh figur seperti "Pak guru adik lurah" tidak mengerti mengapa seorang perempuan sarjana kota ingin tinggal di desa yang kotor dan miskin, tempat yang penuh dengan "sampah."

Kejadian dalam puisi ini memperlihatkan betapa kuatnya stigma dan stereotip terhadap perempuan yang berasal dari kota, serta ketidakpahaman terhadap mereka yang ingin melakukan perubahan. Perempuan sarjana ini, meskipun berpendidikan tinggi, tetap dipandang rendah dan diperlakukan tidak adil oleh masyarakat desa yang lebih sederhana.

Pak Rambo dan Simbol Kekuasaan yang Menindas

Pak Rambo, seorang lelaki yang menggambarkan kekuasaan di desa tersebut, menjadi simbol penindasan dan ketidakadilan yang lebih besar. Dalam puisi ini, ia menggambarkan sosok laki-laki yang merendahkan dan memaksa kehendak perempuan yang lebih lemah. Kehadirannya adalah bentuk kekuasaan yang mencoba untuk mengontrol dan menindas, dengan harapan bahwa ia bisa mendapatkan sesuatu dari perempuan yang tidak ia percayai. Pak Rambo menggambarkan seorang lelaki yang memiliki wewenang dan kekuasaan, namun sering kali menyalahgunakan posisinya untuk menekan orang lain.

Selama tiga jam, ia mencoba untuk merayu dan menakut-nakuti, memaksakan kehendaknya dengan harapan perempuan tersebut mau menyerah. Suasana ini semakin menegaskan betapa kuatnya pengaruh kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat, di mana perempuan sering kali menjadi objek yang bisa diperlakukan sesuka hati.

Kontras Antara Kehidupan Kota dan Desa

Saraswati Sunindyo dengan cerdas menggambarkan kontras yang tajam antara kehidupan di kota dan desa. Meskipun kota dipenuhi dengan kemajuan dan kenyamanan, kehidupan di desa masih dihantui oleh kemiskinan dan ketidakadilan. Perempuan-perempuan yang berasal dari desa digambarkan berjuang untuk mengubah nasib mereka, namun sering kali dianggap rendah dan dihina. Di sisi lain, perempuan sarjana kota yang datang dengan niat baik pun tidak diterima, bahkan dipandang sebagai sesuatu yang asing atau tidak wajar.

Simbolisme Sampah dan Bau yang Menghantui

Sampah yang terlempar ke pantai, dan bau yang tercipta dari tubuh Pak Rambo, menggambarkan betapa kotor dan busuknya sistem sosial yang ada. Sampah kali Nongo menjadi simbol dari masyarakat yang terbuang dan terlupakan, sementara bau busuk Pak Rambo menggambarkan ketidakadilan dan penindasan yang menghantui kehidupan sehari-hari. "Bau badan Pak Rambo" dan "Bau badan laki-laki bermotor" juga mengingatkan kita akan bau kehidupan yang penuh dengan korupsi, kemiskinan, dan penderitaan, yang tak terhindarkan.

Puisi "Sampah Kota" karya Saraswati Sunindyo adalah karya yang menggugah dan penuh dengan kritik sosial terhadap ketidakadilan, kemiskinan, dan keterasingan. Melalui gambaran kehidupan di desa pantai yang miskin, interaksi antara perempuan sarjana kota dan masyarakat desa, serta kekuasaan yang menindas, puisi ini membawa pembaca untuk merenung tentang keadaan sosial yang ada di sekitar kita. Sampah yang terlempar ke pantai menjadi simbol dari kehidupan yang terlupakan, sementara bau busuk menggambarkan betapa kotor dan rusaknya sistem yang ada dalam masyarakat.

Melalui puisi ini, Saraswati Sunindyo mengajak kita untuk melihat dan menyadari ketidakadilan yang terjadi, serta pentingnya perubahan dalam masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.

Saraswati Sunindyo
Puisi: Sampah Kota
Karya: Saraswati Sunindyo

Biodata Saraswati Sunindyo:
  • Saraswati Sunindyo lahir pada tanggal 4 Mei 1954 di Madiun, Jawa Timur, Indonesia
© Sepenuhnya. All rights reserved.