Sajak Ibu
ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar
ibu akan marah besar
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami
ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang
ketabahan ibuku
mengubah rasa sayur murah
jadi sedap
ibu menangis ketika aku mendapat susah
ibu menangis ketika aku bahagia
ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
ibu menangis ketika adikku keluar penjara
ibu adalah hati yang rela menerima
selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun
kasih sayang ibu
adalah kilau sinar kegaiban tuhan
membangkitkan haru insan
dengan kebajikan
ibu mengenalkan aku kepada tuhan
Solo, 1986
Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)
Analisis Puisi:
Puisi "Sajak Ibu" karya Wiji Thukul adalah sebuah karya yang mengandung pesan mendalam tentang sosok ibu sebagai simbol kasih sayang, pengorbanan, dan ketabahan. Wiji Thukul, yang dikenal sebagai penyair dengan karya-karya yang menyuarakan keadilan dan kemanusiaan, dalam puisi ini memperlihatkan dimensi personal yang sangat menyentuh, menggambarkan hubungan seorang anak dengan ibunya.
Ibu sebagai Pengajar Keadilan dengan Kasih Sayang
Bait awal puisi ini menggambarkan ibu sebagai sosok yang mendidik anak-anaknya dengan tegas namun penuh cinta. Ketika disebutkan "ibu akan marah besar bila kami merebut jatah makan yang bukan hak kami", Wiji Thukul menunjukkan bagaimana seorang ibu mengajarkan nilai keadilan dan menghormati hak orang lain sejak dini.
Keadilan yang diajarkan ibu tidak datang dalam bentuk hukuman yang keras, melainkan melalui kasih sayang yang mendalam. Hal ini mencerminkan peran ibu sebagai pengasuh sekaligus guru moral pertama bagi anak-anaknya.
Ketabahan Ibu: Simbol Ketulusan dan Kesederhanaan
Frasa "ketabahan ibuku mengubah rasa sayur murah jadi sedap" adalah salah satu penggalan yang paling kuat dalam puisi ini. Kalimat ini menggambarkan bagaimana ibu mampu menghadapi kesulitan hidup dengan penuh ketabahan, bahkan dalam kondisi ekonomi yang sulit.
Wiji Thukul berhasil menangkap keajaiban seorang ibu yang dapat menciptakan kebahagiaan dan rasa cukup dalam keadaan apa pun. Ini adalah bentuk pengorbanan yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang dengan cinta tanpa pamrih.
Ibu sebagai Simbol Penerimaan Tanpa Batas
Pada bait-bait berikutnya, Wiji Thukul menggambarkan ibu sebagai hati yang rela menerima apa pun yang terjadi pada anak-anaknya, baik dalam keadaan bahagia maupun susah. Ketika ia menulis, "ibu menangis ketika aku mendapat susah, ibu menangis ketika aku bahagia", hal ini menunjukkan betapa dalamnya keterikatan emosional seorang ibu kepada anak-anaknya.
Tangisan ibu bukan sekadar ekspresi kesedihan, tetapi juga rasa empati yang mendalam. Bahkan, ketika anak-anaknya berbuat salah, seperti adiknya yang mencuri sepeda, ibu tetap memberikan maaf dan penerimaan tanpa syarat.
Ibu sebagai Perwujudan Kasih Tuhan
Wiji Thukul dengan indah menyatakan bahwa "kasih sayang ibu adalah kilau sinar kegaiban Tuhan". Dalam kalimat ini, ibu digambarkan sebagai perwujudan cinta ilahi yang tak terbatas, penuh pengampunan, dan selalu memelihara.
Penggunaan istilah "kilau sinar kegaiban Tuhan" memperlihatkan bagaimana Wiji Thukul memandang ibu sebagai figur spiritual yang mendekatkan anak-anaknya kepada kebaikan dan moralitas. Kasih ibu tidak hanya bersifat duniawi, tetapi juga mengandung nilai-nilai ilahi.
Pesan tentang Pengorbanan dan Kepedihan yang Terpendam
Sosok ibu dalam puisi ini juga digambarkan sebagai pribadi yang sering kali menanggung kepedihan dalam diam. "Ibu adalah hati yang rela menerima, selalu disakiti oleh anak-anaknya" menunjukkan realitas hubungan antara anak dan ibu yang tidak selalu mulus.
Namun, ibu tetap memberikan cinta tanpa syarat. Pengorbanan ini adalah bentuk cinta yang paling murni, di mana seorang ibu rela memberikan segalanya untuk kebahagiaan anak-anaknya, bahkan jika itu berarti ia harus menderita.
Gaya Bahasa yang Sederhana dan Mendalam
Puisi "Sajak Ibu" menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, tetapi sarat dengan makna yang mendalam. Wiji Thukul memilih kata-kata yang akrab bagi pembaca, menciptakan kesan yang intim dan personal.
Keindahan puisi ini terletak pada kemampuan penyair untuk menggambarkan emosi yang kompleks dengan cara yang langsung dan jujur. Ini membuat pembaca merasa dekat dengan pengalaman yang digambarkan dalam puisi.
Relevansi Puisi dalam Kehidupan Modern
Puisi ini tetap relevan hingga kini, terutama dalam menggambarkan peran ibu di tengah berbagai tantangan kehidupan modern. Dalam masyarakat yang sering kali mengabaikan nilai-nilai tradisional seperti penghormatan kepada orang tua, puisi ini menjadi pengingat akan pentingnya menghargai dan memahami pengorbanan seorang ibu.
Pesan universal tentang kasih sayang, pengorbanan, dan penerimaan tanpa syarat yang disampaikan dalam puisi ini dapat menyentuh siapa saja, terlepas dari latar belakang budaya atau sosial.
Ode untuk Kasih Ibu
Puisi "Sajak Ibu" karya Wiji Thukul adalah sebuah ode untuk kasih ibu yang abadi dan tanpa syarat. Puisi ini menyoroti bagaimana ibu menjadi sumber cinta, keadilan, dan spiritualitas dalam kehidupan anak-anaknya.
Dengan menggambarkan ibu sebagai figur yang tabah, penuh kasih, dan rela berkorban, Wiji Thukul berhasil menciptakan karya yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga penuh makna. Puisi ini adalah pengingat bagi kita semua untuk selalu menghargai dan mencintai sosok ibu yang telah memberikan segalanya demi kebahagiaan kita.
Melalui puisi ini, Wiji Thukul mengajarkan bahwa di balik kesederhanaan seorang ibu, terdapat kekuatan luar biasa yang mampu membimbing, melindungi, dan menginspirasi kehidupan kita.
Karya: Wiji Thukul
Biodata Wiji Thukul:
- Wiji Thukul lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Agustus 1963.
- Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo.
- Wiji Thukul menghilang sejak tahun 1998 dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer).