Puisi: Sajak Akhir Desember (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Sajak Akhir Desember" karya Gunoto Saparie mengingatkan kita untuk lebih menghargai setiap detik yang kita miliki dan merenung tentang ...
Sajak Akhir Desember

akhir desember basah
karena berkah hujan
tercurah pada tetumbuhan
pada kalbu yang gelisah

dengan payung hitam
aku pun menyeberang jalan
derai air mendesah bersama angin
ada rindu masa kanak bermunculan

akhir tahun segera berganti
tahun baru segera tiba
hidup bukan senda gurau cuma
hidup bukan hanya bernyanyi sunyi

2021

Analisis Puisi:

Puisi "Sajak Akhir Desember" karya Gunoto Saparie menghadirkan sebuah gambaran tentang pergantian tahun, keheningan yang datang dengan hujan, dan refleksi tentang kehidupan yang terus berjalan. Dengan gaya yang sederhana namun mendalam, puisi ini menyoroti nuansa nostalgia dan perenungan tentang perjalanan waktu yang tak dapat dihindari. Gunoto menggunakan simbol-simbol alam seperti hujan, angin, dan payung hitam untuk menggambarkan perasaan batin manusia yang menghadapi pergantian tahun dan kondisi emosional yang mengikuti.

Akhir Desember dan Hujan: Simbol Keheningan dan Perubahan

Puisi ini dimulai dengan: "akhir desember basah karena berkah hujan". Desember, bulan terakhir dalam kalender, sering kali dihubungkan dengan refleksi atas perjalanan waktu dan perasaan nostalgia. Gunoto Saparie menggambarkan Desember sebagai bulan yang "basah" oleh hujan. Hujan, dalam banyak puisi, melambangkan pembersihan, kesedihan, atau proses perubahan yang tak terhindarkan.

Berkah hujan yang “tercurah pada tetumbuhan” menggambarkan proses pertumbuhan dan penyembuhan, baik bagi alam maupun batin manusia. Hujan sebagai berkah juga bisa diartikan sebagai simbol kehidupan yang memberi kesempatan baru, meski datang dengan perasaan gelisah. Hujan ini tidak hanya membasahi bumi, tetapi juga "kalbu yang gelisah", menciptakan hubungan emosional antara alam dan manusia, yang dalam hal ini merasa terpengaruh oleh perubahan waktu.

Payung Hitam: Simbol Perlindungan dan Kesendirian

Di baris berikutnya, sang penyair menyebutkan: "dengan payung hitam aku pun menyeberang jalan". Payung hitam dalam puisi ini bisa dipahami sebagai simbol perlindungan, tempat berlindung dari hujan atau perasaan yang mengguncang. Warna hitam, yang sering diasosiasikan dengan kegelapan dan misteri, menciptakan kontras dengan hujan yang membawa "berkah", sehingga memberi kesan bahwa perlindungan dalam hidup tidak selalu datang dengan cara yang terang atau jelas.

Payung juga bisa mewakili jarak emosional yang coba dijaga oleh individu saat menghadapi dunia luar yang penuh ketidakpastian dan perubahan. Dalam hal ini, penyair merasa perlu untuk berlindung dari cuaca buruk yang menggambarkan perasaan batin yang juga sedang diliputi oleh kebingungan atau keraguan.

Rindu Masa Kanak-Kanak: Nostalgia dan Keinginan untuk Kembali ke Masa Lalu

Selanjutnya, puisi ini mengungkapkan perasaan yang sangat manusiawi: "ada rindu masa kanak bermunculan". Dalam pergantian tahun, sering kali kita merasa teringat akan masa lalu, ketika hidup terasa lebih sederhana dan bebas dari beban yang ada di masa kini. Rindu akan masa kanak-kanak adalah ungkapan dari kerinduan terhadap kebahagiaan dan ketulusan yang lebih alami, tanpa kepalsuan atau tanggung jawab yang datang dengan kedewasaan.

Rasa rindu ini menciptakan sebuah ruang bagi pembaca untuk merenung, mengingat kembali bagaimana waktu berlalu, dan bagaimana perasaan kita terhadap perubahan yang terjadi dalam hidup kita. Rindu ini membawa pembaca ke dalam ruang batin yang penuh dengan nostalgia, sekaligus menyoroti perasaan keterikatan yang mendalam dengan masa lalu.

Perubahan Tahun: Kehidupan yang Terus Bergerak

Puisi ini mencapai klimaksnya dengan menggambarkan pergantian tahun: "akhir tahun segera berganti, tahun baru segera tiba". Desember adalah bulan yang identik dengan perayaan akhir tahun, refleksi atas apa yang telah terjadi, dan harapan baru untuk tahun yang akan datang. Penggunaan frasa “tahun baru segera tiba” mengindikasikan bahwa waktu terus bergerak maju tanpa henti, memberi kita sedikit ruang untuk merenung sebelum kembali terjun ke dalam rutinitas dan kehidupan yang terus berlanjut.

Namun, dengan pergantian tahun, ada juga pengingat bahwa hidup "bukan senda gurau cuma", yang mengandung makna bahwa hidup bukan hanya tentang hiburan atau kesenangan sesaat. Ada tantangan dan perjuangan yang harus dihadapi. Kehidupan adalah sesuatu yang lebih kompleks dari sekadar perayaan atau kegembiraan yang datang dan pergi. Dengan kata lain, puisi ini menyiratkan bahwa setiap detik dalam hidup kita sangat berarti, dan kita harus siap untuk menghadapi tantangan-tantangan yang akan datang.

Kesunyian dan Keheningan: Refleksi tentang Hidup

Di akhir puisi, Gunoto mengingatkan kita bahwa hidup juga bukan hanya "bernyanyi sunyi". Ada makna dalam kesunyian, dan sering kali hidup itu lebih tentang keheningan, perenungan, dan perjuangan yang tak selalu terlihat oleh orang lain. Puisi ini mengajak pembaca untuk berpikir lebih dalam tentang kehidupan, tentang bagaimana kita menjalani hari-hari kita, dan bagaimana kita memaknai waktu yang terus berjalan.

Keheningan atau sunyi ini mungkin menggambarkan refleksi pribadi penyair terhadap apa yang telah terjadi sepanjang tahun dan apa yang masih harus dihadapi di masa depan. Meskipun ada banyak suara di dunia ini, ada kalanya kita harus menemukan keheningan dalam diri kita untuk benar-benar memahami makna hidup.

Puisi "Sajak Akhir Desember" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menyentuh tentang pergantian waktu, perasaan nostalgia, dan refleksi tentang kehidupan. Hujan, payung, dan rindu masa kanak-kanak adalah simbol-simbol yang memperkaya puisi ini dengan makna tentang bagaimana kita memandang waktu yang berlalu dan perubahan yang datang dalam hidup. Melalui kesan melankolis dan introspektif, puisi ini mengingatkan kita untuk lebih menghargai setiap detik yang kita miliki dan merenung tentang kehidupan yang lebih dari sekadar kegembiraan atau kesedihan sementara.

Di tengah hujan dan kesunyian akhir tahun, puisi ini mengajak kita untuk merenung, mengingat masa lalu, dan bersiap menghadapi tahun baru dengan kesadaran bahwa hidup itu penuh dengan dinamika, tantangan, dan kesempatan baru yang harus dijalani dengan penuh makna.

Gunoto Saparie
Puisi: Sajak Akhir Desember
Karya: Gunoto Saparie

BIODATA GUNOTO SAPARIE

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.

Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Selain di bidang pers, ia pernah bekerja di bidang pendidikan, yaitu guru di SMP Yasbumi Cepiring, SMP PGRI Patebon, SMP Muhammadiyah Kendal, dan SMA Al-Farabi Pegandon. Ia pernah pula bekerja di CV Sido Luhur Kendal dan PT Aryacipta Adibrata Semarang.

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.

Gunoto Saparie juga sering diundang sebagai pembicara dalam kongres, simposium, dan seminar kesastraan. Ia pun sering membaca puisi di berbagai tempat dan juri lomba literasi yang diadakan lembaga pemerintah maupun swasta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.