Puisi: Sajadah Salat (Karya Alizar Tanjung)

Puisi "Sajadah Salat" menggambarkan kompleksitas emosi yang muncul dari tragedi dan kehilangan, sambil menyoroti keterhubungan spiritual yang ...
Sajadah Salat

Aku tak berani berkata, ayah
tentang sajadah dekat pintu. Kenapa
bukan di lemari. aku tanyakan ibu,
ibu masih membaca ayat al Qur’an
beliau menangis dan sujud
di bumi minang si malalak telah runtuh
dan malaikat memilih ruh,
di tanggul seorang bayi mati menangis.
malaikat tersedu mencabut ruhnya.
di tanah, air jadi anyir.
tangis jadi badai di dada.
sedih jadi luka menganga
di ranah minang
tanah ulayat bersimbah darah.
kemaren juga mamak bocor
disambet kemenakan, kepalanya.
ibu berhenti mengaji di bilik kamar
biarkan ia di sana nak

di luar sana sajadah sudah bosan
dalam lemari.
dan di sini sajadah telah pula menangis
Tuhan juga bersedih hati memperingatkan kita nak

Padang, 2009

Analisis Puisi:

Puisi "Sajadah Salat" karya Alizar Tanjung membawa pembaca ke dalam pengalaman yang penuh emosi tentang kehilangan, kesedihan, dan keterhubungan spiritual. Melalui gambaran sajadah, ibadah, dan tragedi yang melanda Minangkabau, puisi ini menggambarkan suatu pemahaman mendalam tentang kehidupan dan iman.

Pembukaan yang Penuh Keberanian dan Kehormatan pada Ayah: Puisi "Sajadah Salat" dimulai dengan pernyataan penuh keberanian dari pembicara yang mengungkapkan bahwa ia tidak berani berkata-kata kepada ayahnya tentang sajadah yang diletakkan dekat pintu. Ini menciptakan ketegangan dan rasa hormat terhadap figur ayah dalam konteks keagamaan.

Pertanyaan Kritis tentang Posisi Sajadah: Pertanyaan "Kenapa bukan di lemari?" menunjukkan keraguan dan kebingungan pembicara terhadap posisi sajadah. Hal ini menciptakan perasaan kebingungan dan kecurigaan terhadap tindakan yang dilakukan.

Penggambaran Ibu yang Sedang Membaca Ayat Al Qur'an: Penggambaran ibu yang masih terus membaca ayat Al Qur'an, sambil menangis dan sujud, menunjukkan ketabahan spiritual dan pengabdian terhadap kepercayaan agama. Ibu menjadi simbol keimanan dan ketabahan di tengah cobaan.

Tragedi di Minangkabau dan Penderitaan yang Melanda: Deskripsi tentang malalak yang runtuh, bayi yang mati menangis, dan mamak yang bocor menciptakan gambaran tragedi dan penderitaan yang melanda Minangkabau. Puisi ini menjadi medium untuk meratapi dan meresapi rasa kehilangan yang mendalam.

Simbolisme Sajadah yang Bosan dalam Lemari: Sajadah yang "sudah bosan dalam lemari" mungkin mencerminkan ketidakaktifan dalam melaksanakan ibadah atau mungkin pula perasaan terkucil. Ini bisa menjadi simbol dari hubungan yang terabaikan dengan keimanan dan ibadah.

Luka dan Sedih yang Mewarnai Ranah Minang: Luka yang "menganga di ranah Minang" menjadi metafora bagi penderitaan yang dalam dan perasaan ditinggalkan. Ranah Minang menjadi simbol dari kehidupan masyarakat yang merasakan luka dan duka yang mendalam.

Kepulangan kepada Tuhan yang Bersedih: Kesedihan yang diungkapkan oleh Tuhan dalam baris terakhir menciptakan kesan bahwa Tuhan juga turut merasakan dan bersedih atas penderitaan dan tragedi yang melanda umat manusia.

Bahasa yang Kuat dan Penuh Emosi: Puisi ini menggunakan bahasa yang kuat dan penuh emosi untuk mengekspresikan perasaan kehilangan, penderitaan, dan keterhubungan spiritual. Penggunaan kata-kata yang mendalam dan gambaran yang kuat menimbulkan kesan mendalam pada pembaca.

Puisi "Sajadah Salat" adalah sebuah karya yang menciptakan gambaran yang kuat dan mendalam tentang pengalaman kehidupan dan spiritualitas. Alizar Tanjung berhasil menggambarkan kompleksitas emosi yang muncul dari tragedi dan kehilangan, sambil menyoroti keterhubungan spiritual yang mendalam. Puisi ini bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga suatu bentuk refleksi dan meratapi atas keadaan hidup yang sulit dipahami.

Alizar Tanjung
Puisi: Sajadah Salat
Karya: Alizar Tanjung

Biodata Alizar Tanjung:
  • Alizar Tanjung lahir pada tanggal 10 April 1987 di Solok.
© Sepenuhnya. All rights reserved.