Puisi: Rindu yang Dingin di Bulan Mei (Karya Alizar Tanjung)

Puisi "Rindu yang Dingin di Bulan Mei" menggambarkan pergulatan batin seorang individu dengan rasa rindu yang terpendam, serta dampak dari perasaan ..
Rindu yang Dingin di Bulan Mei

di suatu siang yang panas di bulan mei
batu-batu berbicara kepada aspal,
aspal berbicara kepada angin,
angin berbicara kepada siang,
siang berbicara kepada malam,
malam berbicara kepada sepi,
sepi berbicara kepada perih,
perih berbicara kepada rindu,
rindu berbicara kepada peluru
yang keluar dari moncong senapan.

"darah ini terasa sudah dingin
semenjak rindu mengeluarkannya
dari urat nadi yang berdenyut
dalam setiap hembusan nafas
terakhir, kedipan kelopak tak
berpulang ke bola mata,
panas tak berpulang ke badan,
detak tak berpulang ke jantung."

Padang, 2015

Analisis Puisi:

Puisi "Rindu yang Dingin di Bulan Mei" karya Alizar Tanjung adalah karya yang menggugah dengan penggunaan simbol dan metafora yang kuat, menggambarkan pergulatan batin seorang individu dengan rasa rindu yang terpendam, serta dampak dari perasaan tersebut terhadap tubuh dan kehidupan. Dalam puisi ini, rindu digambarkan sebagai kekuatan yang begitu besar hingga bisa mempengaruhi seluruh aspek hidup, bahkan menyebabkan kehampaan yang menggigit dan kehilangan yang tak terelakkan.

Suasana Panas yang Membingkai Keheningan Rindu

Puisi ini dimulai dengan gambaran suasana yang tampaknya tidak sesuai dengan apa yang akan datang, yaitu cuaca panas yang terjadi pada bulan Mei. Namun, cuaca yang terik ini justru menjadi latar yang kuat bagi segala perasaan yang mengalir dalam puisi ini. Di bawah teriknya matahari, batu-batu, aspal, angin, siang, malam, hingga sepi, semuanya berbicara satu sama lain, membentuk sebuah dialog metaforis yang menggambarkan transisi dari ketenangan menuju ketegangan emosional yang dalam.

"di suatu siang yang panas di bulan mei / batu-batu berbicara kepada aspal, / aspal berbicara kepada angin, / angin berbicara kepada siang,"

Batu-batu yang berbicara kepada aspal bisa dipahami sebagai simbol dari hal-hal yang keras, kokoh, atau terpendam dalam hidup. Sementara itu, aspal yang berbicara kepada angin mengindikasikan bahwa meskipun ada perasaan atau hal yang keras, ada sesuatu yang lebih lembut—seperti angin—yang berusaha untuk membawa perubahan atau pergerakan. Semua elemen ini, yang tampaknya tidak berhubungan, sebenarnya saling terhubung dalam rangkaian percakapan yang mendalam, menggambarkan suatu proses emosional yang terjadi di dalam diri seseorang.

Rindu: Sebuah Kekuatan yang Menghancurkan

Setelah rangkaian percakapan antara elemen-elemen alam tersebut, akhirnya semua berbicara kepada perih, yang mengarah pada rindu. Rindu yang muncul, seolah-olah adalah inti dari semua perasaan tersebut. Dalam puisi ini, rindu bukan hanya sekedar perasaan, tetapi juga menjadi sebuah kekuatan yang mengalir dalam darah, mengubah segalanya.

"rindu berbicara kepada peluru / yang keluar dari moncong senapan."

Penyair menggunakan simbol peluru yang keluar dari moncong senapan untuk menggambarkan betapa besar dan berbahayanya dampak dari rindu ini. Rindu bukan lagi sekedar perasaan yang biasa, tetapi sebuah kekuatan yang bisa menembus tubuh dan menembus waktu, melukai dan memisahkan. Peluru, yang memiliki daya rusak, di sini berfungsi sebagai gambaran dari bagaimana rindu dapat merusak kehidupan seseorang, menyebabkannya merasakan kehilangan yang tajam dan mendalam.

Darah yang Dingin: Dampak dari Rindu yang Membeku

Pada bagian berikutnya, puisi ini mengungkapkan dampak langsung dari rindu yang terus menerus menggerogoti perasaan: darah yang terasa dingin. Perasaan dingin ini bukan hanya metafora dari kekosongan emosional, tetapi juga mencerminkan keadaan fisik yang telah terpengaruh oleh perasaan tersebut. Ketika rindu menguasai, segala sesuatu yang sebelumnya penuh hidup—seperti darah yang mengalir dalam tubuh—akan terasa dingin, seolah berhenti atau membeku. Ini mencerminkan kehilangan energi atau semangat yang datang akibat kesedihan atau kerinduan yang tak terbalas.

"darah ini terasa sudah dingin / semenjak rindu mengeluarkannya / dari urat nadi yang berdenyut / dalam setiap hembusan nafas / terakhir, kedipan kelopak tak / berpulang ke bola mata,"

Di sini, penyair menggambarkan perasaan bahwa tubuh seolah tidak lagi terhubung dengan dunia di sekitarnya. Segala sesuatu yang terkait dengan hidup—denyut nadi, nafas, kedipan kelopak mata—menjadi lambat, tidak berarti, atau bahkan berhenti sama sekali. Kehidupan, yang biasa dipenuhi oleh denyutan dan aktivitas, kini terhenti di tengah-tengah perasaan rindu yang mendalam.

Rindu yang Menghentikan Kehidupan

Kondisi tubuh yang tidak lagi merespon dunia ini mencapai puncaknya dalam kalimat berikutnya, di mana panas, nafas, dan detak jantung—elemen-elemen dasar kehidupan—terhenti. Puisi ini menggambarkan kehilangan yang total, di mana rasa rindu telah membekukan segala sesuatu yang ada di dalam diri, bahkan membekukan kehidupan itu sendiri.

"panas tak berpulang ke badan, / detak tak berpulang ke jantung."

Rindu di sini menjadi simbol dari suatu kekosongan emosional yang tak terobati, yang menjalar hingga ke tubuh fisik. Ketika rindu merasuki hati seseorang, perasaan ini bisa begitu mendalam hingga mengguncang seluruh sistem tubuh, membuat tubuh kehilangan arah dan kekuatan.

Puisi "Rindu yang Dingin di Bulan Mei" adalah sebuah karya yang sangat kuat dalam menggambarkan dampak dari rasa rindu yang mendalam, yang mengubah segalanya—baik dalam aspek emosional maupun fisik. Melalui simbol-simbol seperti percakapan antara batu-batu dan aspal, peluru yang keluar dari senapan, dan darah yang terasa dingin, penyair mengajak pembaca untuk merasakan betapa kuatnya perasaan rindu yang bisa merusak dan mempengaruhi tubuh serta kehidupan.

Rindu dalam puisi ini bukan hanya sebuah perasaan yang sederhana, melainkan sebuah kekuatan yang membekukan hidup, menghentikan detak jantung, dan menghapus semua kehangatan yang sebelumnya ada. Dalam kesunyian dan kekosongan ini, puisi ini mengajarkan kita tentang betapa besarnya dampak dari kehilangan, keterputusan, dan penantian yang tidak pernah terbalaskan.

Alizar Tanjung
Puisi: Rindu yang Dingin di Bulan Mei
Karya: Alizar Tanjung

Biodata Alizar Tanjung:
  • Alizar Tanjung lahir pada tanggal 10 April 1987 di Solok.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.